KH Abdurrahman Syamsuri Sesepuh Pesantren Muhammadiyah (II)

KH Abdurrahman Syamsuri mubaligh yang menghafal 30 juz Alquran secara fasih.

Dok Istimewa
KH Abdurrahman Syamsuri
Rep: Muhyiddin Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID,  JAKARTA -- Setelah berkelana ke berbagai pesantren, Kiai Abdurrahman Syamsuri telah menguasai berbagai disiplin ilmu keagamaan. Di antaranya adalah nahwu, sharaf, dan ilmu al-arudl wa al-qowafi. Dalam bidang sastra, ia menggubah kitab Nazham Asma' al- Husna. Buku tersebut menjadi pembuktian kemampuannya dalam disiplin ilmu arudl yang dikaitkan dengan pemaknaan atas Asmaul Husna.

Baca Juga

Ia juga terkenal sebagai mubaligh yang dapat menghafal 30 juz Alquran secara fasih dan tartil. Tafsir Alquran pun dikuasainya. Begitu pula dengan ilmu hadis, terutama yang bersumber dari kitab-kitab otoritatif semisal Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Karena itu, dirinya dipandang layak untuk mendirikan sekaligus memimpin sebuah pondok pesantren.

Sejak tahun 1930, kakeknya yang bernama Kiai Idris telah membangun sebuah mushala, Langgar Dhuwur, di Paciran. Tempat inilah yang menjadi cikal bakal pesantren yang dirintis Kiai Abdurrahman. Sesuai amanah dari kakeknya, ia kemudian mengembangkan Langgar Dhuwur agar tidak hanya menjadi tempat anak-anak belajar membaca Alquran. Dalam visinya, langgar tersebut ingin diubahnya sebagai pusat kegiatan pondok pesantren.

Karena itu, yang diajarkan di sana meliputi banyak hal, semisal ilmu tafsir Alquran, hadis, dan tata bahasa Arab. Sebagai langkah awal, dirinya meminjam sebuah lahan luas milik Pak Hadir. Di atas tanah itu, tumbuh pepohonan asam yang cukup rindang. Melihat situasi itu, ia pun terinspirasi untuk menamakan lembaga yang akan didirikannya sebagai Pondok Pesantren Karangasem.

 

 

Pada 18 Oktober 1948, dibangunlah Asrama Santri al-Hijrah. Dalam prosesnya, Kiai Abdurrahman mendapatkan du kungan penuh masyarakat Paciran. Mereka bergotong-royong untuk membuat gota'an, sebuah bangunan kayu berbentuk persegi panjang yang kemudian dibaut kotak-kotak untuk memisahkan kamar-kamar santri. Bangunan tersebut menjadi tonggak awal Pondok Pesantren Karangasem Muhammadiyah, Paciran.

Pondok Pesantren Karangasem semakin berkembang. Keteguhan hati dan sikap Kiai Abdurrahman pun semakin kokoh sebagai pengasuh pondok pesantren. Setiap pagi hari sebelum shalat subuh, ia berkeliling pondok untuk melihat langsung keadaan para santrinya. Usai shalat subuh, para santri mengaji kitab tafsir Jalalain di hadapan sang kiai. Ulama ini pun menyimak dengan saksama bagaimana mereka membaca dan memaknai teks bahasa Arab.

 

 

Aktif Berorganisasi

Kiai Abdurrahman mungkin tidak seperti umumnya para pendiri atau pengasuh pondok pesantren di Jawa Timur yang cenderung bergabung dengan NU. Ia memilih aktif berkhidmat di Persyarikatan Muhammadiyah.

Dalam persyarikatan tersebut, dirinya pernah menjabat sebagai direktur Pendidikan Guru Agama (PGA) pada 1956. Selain itu, namanya tercatat selaku anggota Majelis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah sejak 1978, anggota Tanwir Muhammadiyah pada 1979-1984, dan ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Lamongan periode 1977-1982.

Meskipun memilih Muhammadiyah, hal itu tidak berarti bahwa dirinya bertungkus lumus di satu organisasi saja. Sebab, perannya juga sebagai penghubung banyak organisasi atau pergerakan dakwah Islam.

Sebagai contoh, ia menjalin hubungan yang akrab dengan Mohammad Natsir, tokoh Masyumi yang mendirikan Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia pasca runtuhnya Orde Lama. Menurutnya, kolaborasi antarelemen umat perlu dilakukan dalam rangka mencetak kaderkader Islam yang dapat menjadi dai di seluruh penjuru nusantara.

Kedekatan Kiai Abdurrahman dengan Pak Natsir bagaikan simbiosis mutualisme. Dewan Da'wah bergerak dalam bidang dakwah Islam yang jangkauannya hingga ke pelosok-pelosok negeri. Karena itu, mantan perdana menteri RI itu memerlukan banyak tenaga dai yang siap dikirim untuk mengabdi di tengah masyarakat. Sementara itu, pesantren asuhan Kiai Abdurrahman mencetak alumni yang selalu siap untuk mengamalkan ilmunya.

 

 

Kiai Abdurrahman dikenal sebagai seorang alim dengan pribadi yang santun dan lembut dalam bertutur kata. Dalam berdakwah, ia menggunakan metode persuasif dan kontekstual. Sebelum memberikan ceramah di suatu tempat, umpamanya, ia berdialog terlebih dahulu dengan pihak yang mengundangnya. Itu dilakukannya untuk mencari tahu persoalan-persoalan yang aktual yang sedang mereka hadapi.

 

KH Abdurrahman Syamsuri meninggal dunia pada Kamis, 27 Maret 1997 dalam usia 72 tahun. Ia me ngembuskan napas terakhir ketika sedang dirawat di Rumah Sakit Darmo, Surabaya, akibat penyakit gula yang dideritanya sejak lama. Keluarga, santri, dan ribuan orang ikut mengantar jenazah almarhum ke tempat peristirahatan terakhirnya di kompleks pemakaman umum Sluwuk Desa Paciran, Lamongan. 

 
Berita Terpopuler