Pendapatan Pasif dalam Pandangan Islam

Islam tidak mengenal istilah pendapatan pasif.

Pixabay
Pendapatan Pasif dalam Pandangan Islam
Rep: Umar Mukhtar Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dosen Hukum Ekonomi Syariah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, AH Azharuddin Lathif menyampaikan penjelasan soal pendapatan pasif. Istilah ini mungkin sudah tidak asing lagi bagi banyak orang, terutama mereka yang aktif dalam dunia investasi.

Baca Juga

Seseorang yang menanamkan uangnya pada salah satu instrumen investasi, tentu berharap mendapat keuntungan sehingga bisa menjadi pendapatan bagi dirinya. Apalagi jika investasi tersebut terus menunjukkan pertumbuhan yang baik, tentu pendapatannya pun ikut meningkat.

Lantas, bagaimana pandangan Islam terhadap pendapatan pasif? Azharuddin menyampaikan, Islam tidak mengenal istilah pendapatan pasif. Sebab, kompensasi atau pendapatan atau keuntungan itu harus setara dengan kesulitan yang dilakukan atau sesuatu yang dikerjakan.

"Seseorang diam lalu menerima keuntungan, itu tidak ada. Contoh ekstremnya, ada yang menyebutkan di surga itu nanti mendapat pendapatan pasif. Padahal sebenarnya bukan itu. Anda di surga karena sudah kerja habis-habisan di dunia, maka Allah memberikan kompensasinya di akhirat karena di dunia belum tentu mendapat kompensasi," ujar dia kepada Republika.co.id, Kamis (16/9).

Untuk memperoleh keuntungan, Azharuddin menerangkan, maka harus ada usaha yang dilakukan. Kalau hanya berdiam diri dan tidak melakukan apa-apa, tetapi mendapat kompensasi berupa keuntungan finansial, itu tidak sesuai dengan prinsip syariat.

 

Dalam Islam, ada kaidah fiqih yang bisa menjadi pijakan, yakni Al-Ghunmu bil-Ghurmi, yang berarti profit datang bersama risiko. Dengan kata lain, risiko juga menyertai manfaat.

Kaidah lainnya ialah Al-Kharaj bi Al-Dhaman, yang berarti hasil usaha itu muncul bersama biaya. Ini artinya, jika Anda ingin memperoleh keuntungan, maka harus siap juga menanggung kerugian.

"Perspektif syariah itu justru melawan paradigma pendapatan pasif karena membuat orang malas yang selalu inginnya menyalurkan investasi tetapi tidak mau rugi. Kalau kita mau untung, justru harus siap rugi. Itu prinsip syariah," jelasnya.

Misalnya, ketika seseorang menanamkan modal ke orang lain, kemudian memperoleh keuntungan dari sana, maka sebetulnya yang diperoleh oleh investor itu bukan pendapatan pasif. Karena, ketika menginvestasikan uangnya, berarti ada risiko kerugian yang harus siap ditanggung.

"Umpamanya, kalau saham lagi bagus, saya memang untung, tetapi kalau sahamnya lagi jelek, saya siap rugi. Ini sesuai dengan kaidah di dalam syariat. Jadi, dalam perspektif Islam, tidak ada investasi yang pasti menghasilkan keuntungan atau tidak pernah rugi," ujar Azharuddin.

Dia kembali mengambil contoh lain, yakni sukuk pendapatan tetap dan pendapatan tidak tetap. Keduanya memiliki potensi kerugian dan tidak bebas risiko. Jika kemudian mendapat keuntungan, maka keuntungan tersebut selaras dengan risiko yang dihadapi.

 

"Kalau Anda berinvestasi lalu hasil keuntungannya dianggap pendapatan pasif, menurut syariat itu tidak tepat. Karena prinsipnya, orang kalau mau mendapat untung ya harus siap menanggung rugi," kata Direktur Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) Institute itu.

Azharuddin mengakui, keuntungan memang selalu ada potensinya dan bisa diproyeksikan. Namun, pertanyaannya kemudian, apakah keuntungan yang telah diproyeksikan itu pasti terjadi dan kerugian pasti bisa dihindari? Gaya ekonomi kapitalis memang menghendaki demikian, yaitu kepastian memperoleh keuntungan dan tidak mau rugi.

"Kalau di syariah itu nggak bisa. Seseorang yang mendapat keuntungan maka harus siap menanggung risiko, termasuk dalam akad jual-beli. Meski harga sudah bisa dikalkulasikan, tetap saja ada risiko. Misalnya, siapa tahu barang yang kita jual itu jatuh. Ini menjadi tanggung jawab kita sebagai penjual," ujarnya.

Sekalipun sukuk negara, seperti Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), tetap saja ada risiko karena ada kemungkinan negara gagal bayar. Terlebih sukuk korporasi yakni sukuk yang diterbitkan perusahaan.

Contohnya lainnya adalah kondisi maskapai Garuda sekarang. Perusahaan pelat merah itu menerbitkan sukuk global dan tak sedikit investor asing yang memborong karena tidak pernah mengira Garuda akan berada dalam titik terendah seperti saat ini.

"Jadi, menurut syariah, tidak ada istilah pendapatan pasif dalam investasi karena setiap orang harus siap menanggung risiko meskipun risiko itu bisa dimitigasi dengan cara memilih portofolio yang relatif aman. Tetapi risiko itu harus siap diterima dalam kondisi terburuk," ujarnya.

 
Berita Terpopuler