Peneliti Ungkap Penyebab Diabetesi Kena Covid-19 Parah

Diabetes tipe 2 merupakan salah satu faktor risiko utama keparahan Covid-19.

Pixabay
Pemeriksaan gula darah secara mandiri oleh pengidap diabetes. Diabetesi cenderung jatuh sakit parah ketika positif Covid-19.
Rep: Idealisa Masyrafina Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Sebuah studi terbaru dari tim peneliti klinis internasional mengungkapkan mekanisme di balik badai sitokin saat orang mengalami infeksi virus corona tipe baru (SARS-CoV-2), penyebab Covid-19. Selama pandemi Covid-19, dokter telah mencatat bahwa pasien tertentu berisiko sangat tinggi terkena penyakit parah atau meninggal akibat penyakit wabah tersebut.

Diabetes tipe 2, suatu kondisi yang memengaruhi lebih dari 10 persen populasi AS, adalah salah satu faktor risiko utama penyakit Covid-19 yang parah. Penelitian baru dari UM mengungkap faktor pencetus sekaligus menawarkan harapan untuk terapi potensial, dilansir di Times Now News, Senin (13/9).

Enzim yang disebut SETDB2 tampak berperan dalam keparahan Covid-19 pada pengidap penyakit kencing manis. Enzim yang sama ini telah terlibat dalam luka inflamasi yang tak sembuh pada diabetesi.

Katherine Gallagher, MD dari Michigan Medicine Departments of Surgery and Microbiology and Immunology, peneliti W. James Melvin, MD, dan rekan-rekannya memutuskan untuk menyelidiki kemungkinan hubungan antara enzim dan peradangan tak terkendali yang mereka saksikan secara langsung pada pasien Covid-19 di unit perawatan intensif (ICU) rumah sakit. Mereka melibatkan tikus laboratorium yang diinfeksi dengan SARS-CoV-2.

Baca Juga

Di lab, mereka menemukan bahwa SETDB2 menurun pada sel-sel kekebalan yang terlibat dalam respons inflamasi, yang disebut makrofag, pada tikus terinfeksi SARS-CoV-2 yang juga diabetes. Mereka kemudian melihat hal yang sama pada makrofag monosit dalam darah dari pengidap diabetes dan Covid-19 yang parah.

"Kami pikir kami memiliki alasan mengapa pasien ini mengembangkan badai sitokin," kata Melvin.

Pada model tikus dan manusia, Melvin dan Gallagher mencatat, saat SETDB2 turun, peradangan meningkat. Selain itu, mereka mengungkapkan bahwa jalur yang dikenal sebagai JAK1/STAT3 mengatur SETDB2 dalam makrofag selama infeksi virus corona.

Secara bersama-sama, hasilnya menunjukkan jalur terapi potensial. Temuan sebelumnya dari laboratorium menunjukkan bahwa interferon, sitokin yang penting untuk kekebalan virus, meningkatkan SETDB2 sebagai respons terhadap penyembuhan luka.

Dalam studi barunya, mereka menemukan serum darah dari pasien di ICU dengan diabetes dan Covid-19 yang parah telah mengurangi tingkat interferon-beta dibandingkan dengan pasien tanpa diabetes. Interferon telah dipelajari selama pandemi sebagai terapi potensial, dengan upaya bolak-balik antara mencoba meningkatkan atau menurunkan kadar interferon.

"Perasaan saya adalah bahwa kemanjurannya sebagai terapi akan menjadi pasien dan waktu yang spesifik," kata Gallagher.

Untuk menguji ini, tim peneliti memberikan interferon beta pada tikus diabetes yang terinfeksi virus corona. Mereka melihat bahwa interferon mampu meningkatkan SETDB2 dan menurunkan sitokin inflamasi.

"Kami mencoba memahami apa yang mengontrol SETDB2, yang merupakan semacam pengatur utama dari banyak sitokin inflamasi yang Anda dengar meningkat pada kasus Covid-19, seperti IL-1B, TNFalpha, dan IL- 6," jelas Gallagher.

Menurut Gallagher, melihat ke hulu pada apa yang mengendalikan SETDB2, interferon berada di ujung atas, dengan JaK1 dan STAT3 di tengah. Interferon meningkatkan keduanya, yang meningkatkan SETDB2 dalam semacam kaskade.

Gallagher menyebut, ini penting karena mengidentifikasi jalur menghadirkan cara potensial lain untuk menargetkan enzim. Melvin dan Gallagher berharap temuan penelitian ini akan menginformasikan uji klinis interferon yang sedang berlangsung atau komponen hilir jalur lainnya, termasuk target epigenetik, untuk Covid-19.

Pekerjaan mereka juga menyoroti kebutuhan untuk memahami waktu dan kekhususan sel terapi dan untuk menyesuaikan penerapannya pada kondisi mendasar pasien, terutama pasien dengan diabetes.

"Penelitian kami menunjukkan bahwa mungkin jika kami dapat memberikan interferon pasien diabetes, terutama pada awal infeksi Covid-19, itu sebenarnya dapat membuat perbedaan besar," kata Melvin.

 
Berita Terpopuler