Efek Serangan 9/11 ke Muslim, Kisah Lawan Stereotip Teroris

Umat Islam di Amerika Serikat justru terimbas serangan 9/11

EPA-EFE/BETH A. KEISER
Umat Islam di Amerika Serikat justru terimbas setelah serangan 9/11. Ilustrasi tragede 11 September 2001.
Rep: Kiki Sakinah Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sabtu (11/9), memperingati 20 tahun serangan teroris di World Trade Center, Amerika Serikat (AS). Setidaknya, hampir 3.000 orang kehilangan nyawa pada peristiwa 9/11 tersebut. 

Baca Juga

Tragedi 11 September 2001 itu begitu membenak di hati masyarakat AS pada umumnya, termasuk komunitas Muslim Amerika Serikat yang terdampak akibat peristiwa tersebut. Salah seorang Muslim AS, Abdul El-Sayed, menuliskan pengalaman pribadinya dari tragedi 9/11 dalam bukunya Healing Politics.

Dalam artikelnya di laman Detroit Metro Times, dilansir Sabtu (11/9), El-Sayed mengungkapkan bagaimana dia menyaksikan teroris, atau nama apapun yang sepadan, menyerang Amerika atas nama agamanya.

Baginya, serangan teror di New York, Washington DC, dan Pennsylvania itu telah menghancurkannya. "Bagi saya, sebagai seorang Muslim Amerika, trauma hari itu diperparah dengan nama dan keyakinan saya menjadi sasaran," tulis El-Sayed dalam artikel tersebut. 

Dalam beberapa jam setelah serangan, ibunya meneleponnya untuk memberi tahu bahwa dia akan menjemput saudara laki-lakinya dari sekolah, yang bernama Osama. 

Ketika itu, El-Sayed memilih untuk menunggu karena dia khawatir jadi target ejekan. Dia sudah mulai mendengar julukan berdengung yang mengatakan 'Muslim sialan' di sekitarnya. 

Di sekolahnya yang memiliki sekitar 1000 siswa, ada sekitar 50 Muslim. Namun, meski jumlah Muslim di sana lebih banyak ketimbang di kebanyakan sekolah menengah umum, Muslim seolah-olah tidak memiliki keberadaan. 

Pasca- 9/11, dia mendengar banyak ujaran kebencian baru mengiringinya. Untuk pertama kalinya sepekan kemudian, hal itu terjadi di lapangan sepakbola. Dia merasakan bagaimana dia didiskriminasi rekan-rekan di sekolahnya. 

Di sisi pertahanan, dia kerap mendapatkan tim ganda agar dia tidak bisa bermain atau mencegahnya turun ke lapangan. Ketika dia mendapatkan tim ganda di seluruh permainan, dan ketika wasit tidak melihat, para pemain di sisi lain akan meninju dan menendangnya. 

Mereka juga memanggilnya dengan nama seperti 'sandnigger' (nigger gurun pasir) atau 'towelhead' (kepala handuk). Pada satu kesempatan, ketika seorang wasit melihat ke arah mereka, dia tidak melakukan apapun.  

 

Ketika itu, El-Sayed mengaku mulai frustasi. Rekan permainannya bahkan ada yang meneriakkan kata "Pulanglah, Osama!" kepadanya. Merasa cemas karena nama saudaranya disebut, El-Sayed memukul balik orang tersebut. 

Wasit yang melihat hal itu segera mengibarkan bendera kuning, yang berakibat dia ditarik dari permainan. Namun koordinator pertahanannya seolah menyalahkannya dan ingin membelanya. El-Sayed merasa hal itu tidak adil baginya. 

Namun, dia kerap merenungkan pelajaran hidup yang dialaminya tersebut. Dia mengingat kata-kata sang koordinator ketika mengatakan, "Anda akan menjadi Abdul El-Sayed selama sisa hidup Anda. Anda bisa menggunakannya sebagai alasan atau Anda bisa menggunakannya sebagai motivasi." 

Dua puluh tahun kemudian pasca 9/11, El-Sayed mengatakan bahwa mereka, sebagai sebuah negara, masih berjuang untuk mendefinisikan 'motivasi apa, tepatnya', seperti yang diutarakan koordinatornya dahulu. 

Dalam pandangan El-Sayed, para teroris yang menyerang Amerika Serikat pada 9/11 hanya mengeksploitasi Islam sebagai dalih untuk tindakan kekerasan yang berakar pada dendam kesukuan dan hanya menginginkan kekacauan. 

Menurutnya, serangan-serangan tersebut mengirim Amerika Serikat ke dalam gejolak kemarahan yang menggeliat. Hal itu terbukti dari adanya perang di Afghanistan dan Irak, penipisan kebebasan sipil di Amerika Serikat, atau polarisasi masyarakat Amerika yang konsekuensinya masih dirasakan komunitas Muslim saat ini. 

Dia mengatakan, logika era pasca 9/11 telah mengorbankan kebebasan kolektif dasar mereka, terutama terhadap Muslim Amerika. Orang-orang Arab, Asia Selatan, dan Afrika mendapat sorotan tajam dan hidup dalam bayang-bayang ancaman keamanan. 

"Kita berjuang 20 tahun dari perang kolektif di mana kita melanggar hak-hak dasar jutaan non-pejuang untuk membuat rumah, hidup makmur, dan berkembang di tempat di mana mereka dilahirkan. Ratusan ribu kehilangan nyawa mereka. Ribuan anggota layanan dan kontraktor Amerika Serikat juga meninggal, kebanyakan dari mereka kembali ke rumah. Di antara para veteran perang ini, kematian karena bunuh diri empat kali lebih umum daripada kematian di medan perang," kata El-Sayed.    

El-Sayed menyoroti sejarah terburuk Amerika, termasuk penipisan penduduk asli Amerika, perdagangan budak transatlantik, segregasi Jim Crow, penguburan Jepang, yang dilakukan atas nama Amerika. 

Pada peristiwa 9/11, jutaan Muslim Amerika terpanggil untuk membelanya. Menurutnya, saat itu para pemimpin mereka memberi tahu Muslim akan tindakan terbaik, yakni menundukkan kepala, menyesuaikan diri dengan mengubah nama, memperbaiki aksen mereka, dan menyembunyikan warisan mereka.

Menurut El-Sayed tugas patriotik itu adalah dengan menyetujui implikasi bahwa mereka bersalah sampai terbukti tidak bersalah dan mengambil hukuman kolektif itu dengan senyuman. El-Sayed menyaksikan kebangkitan dari supremasi kulit putih dan ujaran kebencian yang muncul di platform media sosial. 

Dia juga melihatnya dalam kebangkitan politik Donald Trump, yang erat dengan ketegangan nativisme, supremasi kulit putih dan otoritarianisme perang melawan teror. 

"Kita yang terlalu muda untuk mengetahui realitas politik sebelum 9/11 akan memahami bahwa diam adalah keterlibatan. Kegagalan kita untuk membela diri kita sendiri adalah kegagalan untuk membela Amerika sendiri," ujar El-Sayed. 

Karena itulah, El-Sayed mengatakan Muslim kemudian membangun ikatan koalisi dan aliansi dengan saudara-saudara di komunitas yang telah lama menderita supremasi kulit putih dan xenofobia. Mereka, komunitas Muslim, lantas merangkul nama mereka, cerita, dan warisan mereka. 

Dia mengatakan, komunitas Muslim memutuskan bahwa cerita mereka adalah bagian dari cerita Amerika. Karena itu, Muslim kemudian membuka jalan dalam diskusi publik, di majalah dan surat kabar serta di layar televisi. 

Tidak hanya itu, ratusan Muslim juga mulai mencalonkan diri untuk jabatan publik. Komunitas Muslim di Amerika Serikat muncul ke permukaan dan memprotes larangan perjalanan Muslim, kekerasan senjata, termasuk ketidakadilan pada orang kulit hitam di negara itu. Sementara itu, jutaan Muslim lainnya memilih untuk pertama kalinya. 

Bagi El-Sayed, Amerika adalah dan selalu sebuah perjuangan. Dia merasa bangga dengan komunitasnya. Meskipun beberapa pihak ingin memberi tahu mereka bahwa Amerika adalah 'darah dan tanah'. Konsep sejarah mereka dimulai dengan nyaman setelah orang kulit putih dari Eropa memusnahkan penduduk asli yang darahnya telah menghuni tanah Amerika sejak sebelum mereka tiba. Visi mereka tentang Amerika mengecualikan atau menundukkan mereka yang tidak terlihat seperti mereka, beribadah seperti mereka, atau berbagi warisan mereka. 

"Tetapi kami percaya bahwa Amerika bisa lebih kuat dari sekadar sebuah tempat dan masyarakat, tetapi seperangkat cita-cita manusia yang harus merangkul siapa pun yang berkomitmen pada kesetaraan, keadilan, martabat manusia, dan kebebasan sejati. Membela Amerika seharusnya tidak pernah berarti menanggapi dendam kesukuan dengan dendam kesukuan seperti yang terjadi di era pasca 9/11. Melainkan seharusnya berarti merangkul cita-cita yang melampauinya," tandasnya. 

 

 

Sumber: metrotimes

 
Berita Terpopuler