Sri Lanka Umumkan Krisis Pangan

Sri Lanka mengumumkan keadaan darurat ekonomi yang membuat krisis pangan

EPA-EFE/CHAMILA KARUNARATHNE
Orang-orang menunggu dalam antrian untuk tes Covid-19 di luar masjid di tengah pandemi virus corona di Kolombo, Sri Lanka, 21 Desember 2020.
Rep: Dwina Agustin Red: Nur Aini

REPUBLIKA.CO.ID, KOLOMBO -- Sri Lanka mengumumkan keadaan darurat ekonomi yang berdampak pada kekurangan pangan. Pemerintah menahan stok makanan pokok dan menetapkan harganya untuk menahan inflasi yang melonjak setelah devaluasi tajam mata uangnya akibat krisis valuta asing.

Baca Juga

Presiden Sri Lanka, Gotabaya Rajapaksa, mengumumkan keadaan darurat di bawah peraturan keamanan publik untuk menjaga pasokan bahan makanan seperti gula dan beras dengan harga yang wajar pada Senin (31/8). Keadaan darurat mulai berlaku sejak tengah malam.

"Petugas yang berwenang akan dapat mengambil langkah-langkah untuk menyediakan bahan makanan penting dengan harga murah kepada masyarakat dengan membeli stok bahan makanan penting termasuk padi, beras dan gula," menurut pernyataan pers yang dikeluarkan oleh divisi media Gotabaya.

Dikutip dari Aljazirah, pemerintah telah menunjuk seorang perwira tinggi Angkatan Darat sebagai Komisaris Jenderal Layanan Esensial. Dia akan memiliki kekuatan untuk mengambil alih stok makanan yang dimiliki oleh pedagang dan pengecer, menangkap orang yang menimbun bahan pangan pokok, dan mengatur harganya.

"Barang-barang tersebut akan diberikan dengan harga yang dijamin pemerintah atau berdasarkan nilai pabean barang impor untuk mencegah penyimpangan pasar," kata pernyataan itu.

Langkah itu menyusul kenaikan tajam harga gula, beras, bawang merah, dan kentang. Sementara antrean panjang terjadi di luar toko-toko karena kekurangan susu bubuk, minyak tanah, dan gas untuk memasak. Padahal negara itu berada di bawah jam malam selama 16 hari karena peningkatan kasus Covid-19.

 

Menteri Perdagangan Sri Lanka Bandula Gunawardena mengatakan beberapa pedagang menimbun stok. Kondisi itu mengakibatkan kelangkaan bahan pangan dan meresahkan masyarakat. Padahal, sebelumnya pemerintah telah meningkatkan hukuman untuk penimbunan makanan.

Departemen Sensus dan Statistik Sri Lanka mengatakan, kenaikan nilai tukar mata uang asing adalah salah satu alasan di balik kenaikan harga banyak barang penting selama 12 bulan terakhir. Inflasi per bulan pada Agustus naik menjadi 6 persen dari 5,7 persen pada Juli, terutama karena harga pangan yang tinggi.

Sedangkan, ekonomi menyusut dengan rekor 3,6 persen pada  2020 karena pandemi dan pada Maret tahun lalu. Pemerintah melarang impor kendaraan dan barang-barang lainnya, termasuk minyak nabati dan kunyit, bumbu penting dalam masakan lokal, dalam upaya untuk menghemat devisa. 

 
Berita Terpopuler