KH Chudlori, Ulama Rendah Hati dan Bersahaja (II)

Pada 1940, KH Chudlori timbul keinginan dalam dirinya untuk mendirikan pesantren.

Tangkapan Layar
Pesantren API Tegalrejo
Rep: Muhyiddin Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID, Pada 1940, KH Chudlori timbul keinginan dalam dirinya untuk mendirikan pesantren sendiri. Sebab, ia ingin mengajarkan ilmu-ilmu agama di kampung halamannya sekaligus memperkuat geliat syiar Islam.

Baca Juga

Kiai Chudlori kerap melakukan mujahadah setiap malam Jumat. Di samping itu, ia juga menyampaikan keinginannya untuk mendirikan pesantren kepada mertuanya. Kiai Dal har ternyata setuju dan mendukung rencana tersebut.

Begitu kembali ke Tegalrejo, Kiai Chudlori mulai merealisasikan visinya. Akhirnya berdirilah Pondok Pesantren Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo, tepatnya pada 15 September 1944. Pada awalnya, santri yang menuntut ilmu di sana hanya delapan orang. Namun, seiring berjalannya waktu jumlah peserta didik terus bertambah hingga mencapai ribuan orang.

Kiai Chudlori pada awalnya mendirikan pesantren di Tegalrejo tanpa memberikan nama, sebagaimana layaknya pondok-pondok pesantren lain. Namun, setelah mendapatkan saran dan usulan dari rekan seperjuangannya, pada 1947 ditetapkanlah nama Asrama Perguruan Islam (API) itu.

Dengan pesantren ini, dirinya berharap agar para santri kelak dapat menjadi pencerah di tengah umat dan masyarakat. Harapannya, santri-santrinya itu bagaikan api yang menerangi kehidupan di tengah pelbagai tantangan zaman.

Salah satu latar pendirian pesantren tersebut adalah semangat jihad yang dimiliki Kiai Chudlori. Apalagi, kondisi masyarakat Tegalrejo pada saat itu masih diwarnai berbagai penyimpangan.

 

Tak sedikit warga setempat yang melakukan perbuatan-perbuatan syirik meskipun mendaku diri sebagai Muslimin. Hadirnya API Tegalrejo diharapkan dapat mengikis dan menghilangkan sama sekali tradisi yang bertentangan dengan syariat itu.

Memang awalnya masyarakat umum Tegalrejo bersikap acuh tak acuh atas pembangunan Pondok Pesantren API. Mereka yang menganut kejawen juga tak jarang membuat kericuhan. Bahkan, akibatnya kegiatan belajar-mengajar di pesantren tersebut acapkali terhenti.

Bagaimanapun, Kiai Chudlori tidak memakai cara-cara kekerasan, verbal maupun tindakan, terhadap mereka. Sebagai seorang mubaligh yang digembleng bertahun-tahun di berbagai pondok pesantren, ia tetap tegar dalam menghadapi tantangan.

Pada akhirnya, mayoritas warga menerima dengan tangan terbuka hadirnya Pesantren API Tegalrejo. Bahkan, semakin banyak anak-anak mereka yang dididik sang kiai di sana. Pembentukan kurikulum yang diterapkan di sana membutuhkan waktu tujuh tahun untuk menjadi lengkap.

Salah satu materi yang selalu diajarkan kepada para santri setempat ialah tasawuf, baik secara konsep maupun amalan-amalan. Bahkan, bisa dikatakan bahwa itulah inti kurikulum Pesantren API Tegalrejo. Alhasil, orang-orang mengenalnya sebagai salah satu pesantren tasawuf di Jawa Tengah.

 

 

Ketika Belanda melakukan agresi militer, pesantren tersebut juga turut serta dalam gelanggang perjuangan. Para kiai dan santrinya terjun langsung ke medan gerilya. Bahkan, Kiai Chodlori pun menjadi salah satu target buruan penjajah.

Sebagian bangunan pesantren itu kemudian dibakar habis tentara musuh. Sejumlah santri dan Kiai Chudlo ri sendiri serta keluarganya terpaksa mengungsi dari satu desa ke desa lain. Begitu Indonesia mendapatkan pengakuan kedaulatan dari Belanda pada 1949, kondisi kembali pulih. Sang kiai pun dapat kembali membangun pesantrennya.

Pembangunan itu dibantu masyarakat sekitar yang bersimpati terhadap perjuangannya. Maka, jumlah santri pun bertambah banyak. Pada 1977, tercatat sebanyak 1.500 orang menjadi santri di sana. Pesantren API merupakan hasil perjuangan dan warisan Kiai Chudori untuk kemajuan agama dan bangsa Indonesia.

Setelah puluhan tahun mengabdi, Kiai Chudori wafat pada 28 Agustus 1977. Ia dimakamkan di kompleks makam keluarga yang masih termasuk area Pesantren API. Dakwahnya kemudian dilanjutkan oleh putra-putranya. Pondok Pe santren API Tegalrejo kini dipimpin seorang putranya yang bernama KH Muhammad Yusuf Chudlori atau Gus Yusuf. 

 
Berita Terpopuler