Presiden Tunisia Perpanjang Pembekuan Parlemen

Presiden Tunisia juga memperpanjang penangguhan kekebalan hukum anggota parlemen

AP/Slim Abid/Tunisian Presidency
Presiden Tunisia Kais Saied mengacungkan tinjunya ke orang-orang yang melihat saat dia berjalan di sepanjang jalan Bourguiba di Tunis, Tunisia, Minggu, 1 Agustus 2021.
Rep: Lintar Satria Red: Nur Aini

REPUBLIKA.CO.ID, TUNIS -- Presiden Tunisia Kais Saied memperpanjang penangguhan parlemen sampai waktu yang belum ditentukan. Langkah itu ia lakukan setelah memecat perdana menteri dan memperkuat wewenangnya dalam lembaga eksekutif.

Baca Juga

Perpanjangan penangguhan parlemen itu diumumkan Kantor Kepresidenan Tunisia melalui media sosial Facebook pada Senin (23/8) tengah malam. Oposisi menilai langkah yang diambil bulan lalu itu sebagai kudeta.

Perpanjangan itu diumumkan saat periode masa darurat 30 hari yang diterapkan Saied berakhir. Ia juga mengatakan akan memperpanjang penangguhan kekebalan hukum anggota parlemen. Kantor Kepresidenan Tunisia mengatakan Saied akan menjabarkan detailnya melalui pidato yang disiarkan televisi dalam beberapa hari kedepan.

Pada Rabu (25/8), Middle East Eye melaporkan saat bertemu Menteri Perdagangan Selasa (24/8) kemarin Saied membela keputusannya memperpanjang penangguhan parlemen. Ia menggambarkan parlemen sebagai 'ancaman bagi negara.'

"Langkah-langkah luar biasa, telah diperpanjang karena bahaya yang dekat, ini bahaya yang terus-menerus, institusi politik yang ada, seperti yang telah digunakan sebelumnya, ancaman bagi negara, parlemen sendiri ancaman bagi negara," kata Saied seperti dikutip stasiun radio Mosaïque FM.

Pada bulan Mei lalu terungkap dokumen rahasia yang menyebar di Kantor Kepresidenan Tunisia. Dokumen itu menyarankan Saied untuk menggunakan Pasal 80 Konstitusi untuk merebut kekuasaan menggunakan wewenang darurat.

Pada Juli, ia melakukan apa yang disarankan dokumen tersebut. Ia mengatakan virus corona dan situasi ekonomi begitu buruk sehingga ia harus membekukan parlemen dan memecat pemerintah serta meluncurkan program anti-korupsi.

Sumber mengatakan mantan Perdana Menteri Hichem Mechichi yang dipecat telah ditahan dan dipukuli pasukan keamanan. Mechichi tidak pernah tampil di hadapan publik selama 10 hari setelah Saied memecatnya.

 

Pakar hukum mengatakan langkah Saied merebut kekuasaan tidak konstitusional. Sekutu-sekutu Barat khawatir dengan perebutan kekuasaan itu. Amerika Serikat mengatakan berharap Saeid mengembalikan demokrasi ke jalurnya.

Perkumpulan partai politik terbesar di Parlemen Eropa, Group of the European People's Party (EPP Group) mengecam perpanjangan penangguhan parlemen Tunisia. Dalam pernyataannya EPP Group menggambarkan langkah itu 'serangan terhadap jantung demokrasi Tunisia'.

"Komisi Uni Eropa harus segera memeriksa langkah yang mungkin dapat diambil untuk mengembalikan kehormatan konstitusi Tunisia," cicit EPP Group di Twitter, Selasa lalu.

Ketua Partai Buruh Tunisia Hamma Hammami salah satu politisi yang mengecam langkah Saied sebagai kudeta. Ia menekankan setelah dua tahun berkuasa, Saied bagian dari sistem yang ia lawan.

"Jenis populisme yang Presiden Kais Saied tunjukan adalah tradisionalis dan kosong pada program substantif yang serius, ini konservatif mengenai hak-hak perempuan dan menempatkan agama di masyarakat," kata Hammami dalam wawancara dengan Jadaliyya.

"Tidak memiliki program, prioritas yang konkret, hanya kecaman dan janji 'pembersihan negara' yang tidak jelas," ujarnya.

 
Berita Terpopuler