Peringatan Keras Hamas: Masjid Al Aqsa adalah Garis Merah

Hamas memperingatkan balasan keras terhadap setiap upaya serangan terhadap Al Aqsa

Anadolu Agency
Beberapa jam setelah gencatan senjata yang mengakhiri 11 hari serangan Israel di Gaza mulai berlaku bulan lalu, polisi Israel menyerbu kompleks Masjid Al-Aqsa.
Rep: Kiki Sakinah Red: Agung Sasongko

IHRAM.CO.ID, YERUSALEM -- Kelompok militan Palestina Hamas memperingatkan balasan keras terhadap setiap upaya serangan terhadap Masjid Al Aqsa di Yerusalem Timur. Pernyataan tersebut dikeluarkan Hamas pada kesempatan peringatan 52 tahun serangan pembakaran di Al Aqsa pada Sabtu (21/8).

Baca Juga

Hamas menjanjikan perlawanan terhadap setiap potensi serangan terhadap masjid Al-Aqsa, yang merupakan situs ketiga tersuci di dunia bagi umat Islam.

"Masjid Al-Aqsa adalah garis merah, dan setiap serangan terhadapnya akan menghadapi perlawanan heroik rakyat Palestina, dan mereka tidak akan membiarkan api mencapai masjid ini lagi," demikian dilaporkan Pusat Informasi Palestina mengutip pernyataan yang dibuat Hamas, dilansir di Sputnik, Ahad (22/8).

Pada 21 Agustus 1969, seorang warga negara Australia yang juga Kristen membakar masjid Al-Aqsa. Dia mengklaim melakukannya untuk memungkinkan orang-orang Yahudi membangun Kuil Ketiga yang hipotetis dan mempercepat kedatangan Yesus Kristus yang ke-2.

Dalam pernyataan itu disebutkan, bahwa serangan pembakaran masjid tersebut pada 1969 adalah awal dari skema perluasan Yudaisasi,  pemindahan dan pembongkaran yang dilakukan oleh pemerintah Zionis yang bertujuan untuk mendirikan kuil yang diduga sebagai pengganti Masjid Suci ini.

 

 

Tidak hanya itu, Hamas juga mendesak orang-orang Arab dan Muslim di seluruh dunia agar mempertahankan Masjid Al-Aqsa. Hamas juga meminta pemerintah mereka untuk mengakhiri semua perjanjian yang ditandatangani dengan Israel.

Bentrokan sering terjadi antara pasukan Palestina dan Israel di Yerusalem Timur. Pada Mei 2021, pengadilan Israel memutuskan untuk mengusir beberapa keluarga Palestina dari lingkungan Yerusalem. Hal itu kemudian memicu kerusuhan publik yang akhirnya meningkat menjadi permusuhan bersenjata yang berlangsung selama 11 hari.

 

Warga Palestina berharap dapat mendirikan negara mereka sendiri di Tepi Barat dan Jalur Gaza, dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya. Sementara Israel memusuhi gagasan memulihkan perbatasan sebelumnya dan bahkan lebih menentang gagasan berbagi Yerusalem, yang dianggapnya sebagai ibu kota abadi dan tak terpisahkan. 

 
Berita Terpopuler