Anak Jadi Yatim Piatu Sebelum Wafatnya Ayah dan Ibu

Banyak anak jadi yatim piatu karena ayah dan ibunya sibuk dan tak memberi perhatian.

Antara/ Feny Selly
Berbagi dengan anak yatim (ilustrasi).
Red: Karta Raharja Ucu

Oleh : Karta Raharja Ucu, Jurnalis Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Hari ini bertepatan dengan 10 Muharram. Selain dikenal sebagai Hari Asyura, 10 Muharram disebut sebagai hari Lebaran Anak Yatim. Mengapa? Alasannya banyak majelis taklim dan masjid di Indonesia memberikan santunan kepada anak yatim pada 10 Muharram berbarengan dengan perayaan tahun baru Islam, sehingga kegiatan santunan itu menjadi tradisi. Namun, sebenarnya ada yang lebih menderita dari anak-anak yatim dan piatu yang mendapatkan bantuan itu, yakni anak-anak yang sudah menjadi yatim piatu sebelum ayah dan ibunya meninggal dunia.

Kita mengenal anak yatim adalah anak yang sudah ditinggal meninggal dunia bapaknya. Sementara anak piatu adalah anak yang ditinggal wafat ibunya. Kehilangan ayah, ibu, apalagi kehilangan keduanya, tentu memberikan dampak serius dalam kehidupan seorang anak.

Dalam Surah al-Kahfi ayat 82, disebutkan kata 'yatiimaini' yang bermakna dua orang anak yatim. Dalam ayat tersebut, dikisahkan Nabi Khaidir alaihi salam membangun tembok yang hampir roboh agar harta yang terpendam di bawahnya yang menjadi milik anak yatim itu tetap terlindungi.

Sejumlah anak yatim piatu yang mendapatkan bantuan di bulan Ramadhan (ilustrasi). - (Republika/Agung Supriyanto)

 

 

 

 

Pakar tafsir Alquran dari Pusat Studi Alquran (PSQ) Jakarta, KH Muchlis M Hanafi mengatakan, kata yatim disebut dalam konteks anak-anak yang harus dilindungi dan diperlakukan secara baik. Penggunaan kata yatim umumnya banyak terdapat pada ayat-ayat Makkiyah (yang turun di Makkah). Anak yatim, kata KH Muchlis, sangat diperhatikan dalam Alquran sebab ayah merupakan tulang punggung keluarga, terutama dalam bidang ekonomi. Karenanya, ketika sang ayah meninggal itu diumpamakan seakan-akan rumah yang hampir roboh.

Anak yatim disebut sebagai anak yang kehilangan sandaran dalam kehidupannya. Karena itu anak yang dalam situasi tersebut tidak boleh diberi kesusahan lagi, salah satunya dengan cara tidak berkata kasar terhadapnya.

Baca juga : Jubir JK Luruskan Kabar Bohong yang Dibuat Warganet

Kehilangan ayah yang sebagai penjemput rezeki, di banyak keluarga menjadi persoalan utama. Apalagi jika sang ibu tidak memiliki pekerjaan di luar statusnya sebagai ibu rumah tangga. Sedangkan jika ditinggal meninggal ibu, seorang anak akan kehilangan sandaran hidup, lenyapnya kehangatan, dan kasih sayang.

Karena itu, seorang anak yatim, anak piatu, atau anak yatim piatu, tidak hanya membutuhkan bantuan finansial atau biaya pendidikan serta kehidupan sehari-hari. Bukan sekadar uang, mereka butuh perhatian, kasih sayang, seseorang yang memuji, membela, hingga tempat berbagi cerita.

Seorang anak yang ditinggal wafat ayahnya akan kehilangan sosok panutan. Ia tidak memiliki panutan dalam pembinaan dirinya sebagai pemangku tanggung jawab. Sifat kelaki-lakiannya pun bisa terganggu jika tidak ada sosok panutan dalam keluarga yang mengambil tanggung jawab itu.

Kita bisa belajar dari kisah hidup baginda Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Ketika ditinggal wafat sang ayah saat masih di dalam kandungan, sedari lahir Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak kehilangan panutan sebagai seorang laki-laki. Kakek dan paman Rasulullah menjadi penjaga sekaligus roles model Rasulullah menjadi seorang pemimpin. Ketika kehilangan ibunda Aminah, kasih sayang seorang ibu tetap didapatkan Rasulullah dari bibi-bibinya.

Psikolog anak Endang Widyorini menilai, anak yatim telah kehilangan sosok panutan mereka. Dalam konteks ini adalah figur ayah atau ibu atau bahkan keduanya, harus ada menggantikan peran mereka.

Baca juga : Hutama Karya Bantah Angkat Ricky Harun Sebagai Komisaris

"Mereka harus dididik dengan kasih sayang dari orang-orang di sekitarnya. Usahakan ada figur ibu yang penuh kasih dan figur ayah yang mengajarkan tentang cara berjuang untuk hidup," ujarnya saat diwawancara Republika beberapa waktu lalu.

Lantas bagaimana bisa seorang anak menjadi yatim piatu walau bapak dan ibunya masih hidup?

Lantas bagaimana bisa seorang anak menjadi yatim piatu walau bapak dan ibunya masih hidup? Alasannya karena anak itu tidak mendapatkan perhatian dari kedua orang tuanya yang terlalu sibuk dengan urusan dunia.

Kita mungkin akan tersindir jika membaca syair dari seorang pujangga Mesir, Ahmad Syauqi. Ia menyebut anak yatim bukanlah anak yang ditinggal mati kedua orang tuanya, tetapi karena kedua orang tuanya sibuk dan tidak mengurusi anak-anaknya.

"Bukanlah anak yatim yang kedua orang tuanya telah tiada; (Telah tiada) dari kehidupan dunia, lalu meninggalkan anak tersebut dalam keadaan hina; Akan tetapi, anak yatim adalah anak yang kau dapati; Ibunya tidak mempedulikannya atau ayahnya sibuk tidak mau mengurusnya," tulis pujangga berjuluk Amir al-Syu’ara’ (si raja penyair) itu.

Tidak sedikit anak yang di rumahnya kehilangan sosok ayah sebagai panutan karena sang ayah tidak memiliki waktu bahkan untuk sekadar mendengarkan cerita anaknya. Ayah dan ibu terpenjara dengan godaan dunia. Ayah sibuk bekerja di depan laptop dan HP, sibuk dengan hobinya seperti sepedahan, memancing, futsalan, sampai lihat-lihat foto di media sosial. Sementara ibu sibuk arisan, belanja di toko online, nonton drama Korea, drama Jepang, atau film India. Sementara pekerjaan rumah dan urusan anak-anak diserahkan kepada asisten rumah tangga.

Situasi yang jauh lebih pelik terkadang dihadapi anak-anak yang orang tuanya mengalami perceraian. Apalagi jika dalam perpisahan tersebut terjadi perselisihan, sehingga menimbulkan trauma dan mengganggu pertumbuhan hidup anak tersebut. Kesibukan membuat anak-anak kehilangan figur ibu yang penuh kasih serta figur ayah yang mengajarkan tentang bagaimana caranya berjuang untuk hidup.

Sejumlah anak yatim piatu yang mendapatkan bantuan di bulan Ramadhan (ilustrasi). - (Republika/Agung Supriyanto)

 

 



Dari sederet risiko yang ditimbulkan karena anak kehilangan sosok orang tua adalah anak akan mencari sumber pengakuan bagi dirinya di tempat yang salah. Anak juga tidak akan dapat mengimitasi sosok laki-laki melalui ayahnya. Sehingga anak laki-laki tidak akan tahu bagaimana caranya menjadi laki-laki, dan anak perempuan akan kehilangan panutan bagaimana cara menjadi seorang ibu yang lemah lembut.

Studi penelitian BL Hoeg dan teman-temannya yang diterbitkan di Journal of Health Psychology 2016 menunjukkan anak-anak yang kehilangan figur orang tua cenderung mudah depresi, cemas, suka menyiksa diri, menyalahgunakan obat-obatan, hingga makan berlebihan. Penelitian lainnya oleh Kirk Patrick di Journal of Personality and Social Psychology menyebutkan anak-anak yang ditinggal orang tua ketika masih kecil bisa jadi sukses secara sosial, finansial, menikmati hidup berkualitas, sehat secara fisik. Namun tidak sehat secara mental.

Maka jangan buru-buru misuh-misuh ketika kita menemukan anak-anak, baik teman anak kita, atau mungkin kita memiliki teman semasa sekolah yang banyak tingkah di luar rumahnya hanya agar menjadi populer di kalangan teman-temannya. Bisa jadi mereka tidak mendapatkan perhatian dari orang tuanya yang hanya punya sedikit waktu ketika bertemu anak di rumah.

Karena itu, ketika mendapatkan kerabat atau keluarga yang kehilangan sosok orang tua, ada baiknya kita sedikitnya ikut merangkul anak tersebut. Jangan sampai situasi tersebut mengganggu tumbuh kembang anak tersebut. Namun, hal terpenting dalam momentum lebaran anak yatim hari ini adalah jangan sampai kita sebagai orang tua menjadikan anak-anak kita jadi yatim piatu sebelum kita meninggal dunia.

Jangan pula lupakan anak-anak yatim piatu di sekitar kita. Kerabat, tetangga, atau bahkan keponakan jika ada. Jangan hanya memberi santunan, tapi juga berikan kasih sayang.

Selama pandemi Covid-19, Kementerian Sosial mencatat 11.405 anak-anak menjadi yatim piatu akibat orangtuanya meninggal dunia. Menjadi anak yatim di kala normal saja sudah sulit, apalagi ketika pandemi.

Saya yang menjadi anak yatim ketika usia belasan tahun, tahu betul bagaimana rasanya kehilangan sosok seorang ayah. Selepas saya kuliah, ibu cerita kalau beliau sedih ketika saya mendapatkan santunan. Perekonomian keluarga saya yang cukup ketika itu membuat ibu sedih, karena merasa "dikasihani". Saat itu ibu masih bekerja sebagai guru, dan kakak-kakak saya juga sudah bekerja, sehingga ibu memilih mengembalikan uang santunan untuk saya dan meminta mengirimkan ke anak-anak yatim piatu lain yang keluarganya lebih membutuhkan.

Menjadi anak yatim memang bukan hanya mengganggu secara finansial, tetapi juga akan menerpa mental. Pengalaman itulah yang membuat ibu mengajarkan anak-anaknya untuk tidak melupakan anak-anak yatim.

Gali lagi empati kita, jangan pula mempertontonkan kebahagiaan di depan anak-anak yatim, seperti mengundang anak-anak yatim atau datang ke yayasan anak yatim untuk merayakan ulang tahun anak kita (merayakan ulang tahun juga tidak ada di dalam ajaran Islam). Di balik niat baik tersebut bisa jadi ada anak yatim yang hatinya menjadi sedih dan teringat orang tuanya karena menonton kebahagiaan keluarga orang lain.

Jangan biarkan air mata mereka mengalir terlalu sering. Jangan biarkan kesedihan merangkul mereka terlalu lama. Mari kita bersama-sama menjadi penghapus air mata, menjadi selimut saat mereka dirundung duka. Sedikit rejeki yang kita hadiahkan untuk mereka semoga mampu menjaga nyala api semangat ketika mereka sebatang kara kehilangan orang tua.

Seperti sabda Rasulullah, "Barang siapa mengusap kepala anak yatim (dengan penuh kasih sayang) karena semata-mata mengharap ridha Allah, maka setiap rambut yang diusap berpahala sekian kebaikan, dan barang siapa memelihara/mengasuh anak yatim, maka kedudukannya di surga berada di sisiku seperti halnya jari telunjuk dan jari tengah."

 
Berita Terpopuler