Sudah Rindu Bioskop Belum?

Bioskop bisa menjadi pelepas penat di masa pandemi.

AP/Achmad Ibrahim
Masyarakat memakai masker sebagai antisipasi terhadap virus corona saat tiba di bioskop KCM Cinemas Bekasi, Jawa Barat, Kamis, 5 November 2020.
Red: Joko Sadewo

REPUBLIKA.CO.ID, Mendengar kata bioskop, memori saya langsung berjalan mundur ke tahun 2002. Itu pertama kalinya saya yang masih SMP berani ke bioskop bersama teman-teman (tanpa orang tua).

Kala itu, saya dan tiga orang dari Tebet menuju Menteng, tepatnya ke bioskop Megaria (saat ini bernama Metropole XXI). Lokasinya berada di sudut Jalan Pegangsaan dan Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Kami berniat menonton film 'Ada Apa dengan Cinta?' (AADC) yang sangat booming waktu itu.
 
Memasuki lobi, orang-orang menoleh ke arah kami. Awalnya saya bingung apa arti pandangan mereka, tapi belakangan saya mengerti arti tatapan itu.
 
Lobi Megaria saat itu penuh sesak dengan anak-anak muda yang juga ingin menonton film AADC. Saking penuhnya, mereka lesehan di lantai. Kondisi serupa tampak di sepanjang koridor bioskop. Pemandangan orang-orang lesehatan di lantai bioskop tak lagi kita jumpai saat ini, sebab pengelola bioskop melarangnya.
 
Saya dan kawan-kawan sempat kesulitan menuju loket pembelian tiket nonton karena banyaknya orang yang duduk di lantai. Setelah berhasil melewati mereka, sayang, kami kurang mujur. Tiket nonton film AADC ludes sedari siang.
 
Akhirnya saya paham, arti pandangan orang-orang saat pertama kami masuk lobi. Di benak mereka mungkin menganggap kami kurang kerjaan, berani-beraninya baru datang malam hari membeli tiket film, sementara mereka sudah “berebut” sejak siang. Tapi tak apa, toh saya berhasil menontonnya di lain kesempatan, dengan persiapan yang lebih matang.
 
Sedikit cerita tentang bioskop Megaria. Kondisi bioskop yang saya datangi 19 tahun lalu tidak seperti sekarang. Struktur utama bangunan memang masih sama. Status Metropole yang ditetapkan pada 1993 sebagai cagar budaya kelas A tak memungkinkan bangunan tersebut dirombak. Bangunan bergaya Art Deco masih tetap dipertahankan oleh bioskop pertama di Jakarta ini.
 
Namun, kondisi lobi jauh berbeda. Dulu, masih tampak ala kadarnya. Kini, bioskop yang berubah namanya menjadi Metropole XXI sejak 2008 itu menjelma menjadi cantik. Kesan klasik masih sangat dipertahankan. Tetapi, ada tambahan ornamen yang membuat penonton betah. Ada pilar kayu, lampu gantung, dan pintu berwarna putih dengan perpaduan gaya lawas dan modern.
 
Mungkin bagi sebagian orang yang datang ke Metropole XXI akan menganggap kondisi tersebut biasa saja, tak ada bedanya dengan bioskop lain di Jakarta. Namun bagi saya, perubahan ini membahagiakan. Senang rasanya melihat bioskop yang dulu saya datangi sangat sumpek, kini menjadi sangat nyaman dan bagus.
 
Kondisi penuh sesak bioskop oleh penonton tak hanya saya alami di Jakarta. Ketika berkuliah di Semarang pada 2006 hingga 2010, saya juga sering mengalaminya. Maklum, saat itu hanya ada dua bioskop di Kota Atlas tersebut yakni di Mal Ciputra dan E-Plaza.
 
Setiap film blockbuster dirilis, muda-mudi sudah antre sejak pukul 10.00 WIB, bersamaan dengan jam mal dibuka. Di bioskop 21 Mal Ciputra, antrean mengular jauh melewati pintu masuk bioskop. Seingat saya, antrean itu terjadi saat penayangan film 'Iron Man', 'The Dark Knight', 'Transformers', 'Harry Potter', 'Twilight', 'Fast & Furious', dan 'Ayat-Ayat Cinta'. Meski mengantre sejak pagi, banyak juga yang hanya kebagian jadwal nonton malam.
 
Dari sana terlihat kecintaan orang-orang pada film maupun bioskop sangat besar. Bisa jadi juga karena saat itu layanan film streaming belum banyak seperti sekarang sehingga mereka mengandalkan bioskop sebagai alternatif hiburan.
 
Saat ini, antrean gila-gilaan di bioskop jarang ditemui. Mungkin karena sudah ada layanan pembelian tiket secara daring yang membuat penonton tak perlu antre bermenit-menit atau berjam-jam untuk menikmati film favorit mereka. Ditambah lagi jumlah bioskop bertambah sehingga orang-orang bisa menyebar, tidak terkonsentrasi di lokasi yang sama.
 
Apapun cara pembelian tiket, di mana pun orang memilih bioskop, bioskop selalu ramai, terutama di lobi beberapa menit menjelang pemutaran film. Ada yang sembari antre membeli camilan untuk nanti di dalam studio, ataupun sekadar mengobrol bersama teman nonton.
 

 

Sayangnya, potret keramaian di bioskop tak lagi terlihat sejak penutupan bioskop pertama kali dilakukan selama pandemi Covid-19. Dalam aturan mengenai pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di sejumlah daerah di Indonesia untuk menekan penyebaran Covid-19, bioskop menjadi salah satu sektor yang terkena dampak. Di Jakarta, semua jaringan bioskop baik itu XXI, CGV, maupun Cinepolis, harus menghentikan sementara kegiatan operasionalnya sejak Maret 2020.
 
Bioskop diizinkan buka kembali mulai Oktober 2020. Hal itu tak disia-siakan oleh CGV. Sejak 21 Oktober 2021, CGV kembali membuka jaringan bioskopnya di Jakarta, dimulai dengan empat lokasi terlebih dahulu yakni CGV Grand Indonesia, CGV AEON Mall Jakarta Garden City, CGV Green Pramuka Mall, dan CGV Transmart Cempaka Putih. Namun keputusan berbeda diambil XXI yang memutuskan menunda membuka kegiatan operasionalnya di DKI Jakarta dengan alasan terbatasnya jumlah film yang akan ditayangkan.
 
Pandemi menjadi pukulan hebat bagi para banyak pihak. Tak hanya bagi pengusaha bioskop, tapi juga para pelaku industri film Tanah Air. Rumah-rumah produksi berhenti membuat film sementara karena terlalu berisiko. Padahal di balik produksi sebuah film, ada ratusan bahkan ribuan orang terlibat.
 
Nihilnya produksi membuat mereka kehilangan pendapatan. Saya tidak hanya membicarakan soal aktor dan aktris, tetapi lebih dari itu. Ada para kru di balik layar, seperti di departemen penyutradaraan, artistik, kamera, suara, kostum, tata rias, hingga pascaproduksi.
 
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), Sandiaga Uno, pernah mengatakan tahun 2019 adalah masa keemasan industri perfilman Indonesia. Tercatat lebih dari 50 juta kunjungan ke bioskop dan itu dianggap sebagai sinyal kebangkitan film Indonesia. Pada tahun tersebut, terdapat 129 judul film nasional yang dirilis di bioskop dengan total 52 juta kunjungan untuk film nasional. Jika dirata-rata, satu judul film ditonton oleh kurang lebih 400 ribu penonton.
 
Sebelum pandemi, industri perfilman Indonesia menduduki peringkat 10 dunia sebagai pasar film terbesar di dunia dengan nilai sebesar 500 juta dolar AS pada akhir 2019. Namun, pandemi yang terjadi pada 2020 memaksa kemajuan industri film Indonesia melakukan pemrograman ulang.
 
Industri perfilman Tanah Air menderita penurunan sebesar 97 persen di kala pandemi sepanjang 2020. Selama pandemi, data per akhir Februari 2021 menunjukkan terdapat sembilan judul film nasional yang dirilis di bioskop dengan total penonton hanya sekitar 400 ribu orang.
 
Ketua Umum Gabungan Pengelola Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) Djonny Syafruddin menyatakan, bioskop sedang berada dalam masa sulit. Jumlah penonton selama pandemi sangat minim. Untuk ukuran bioskop independen, penghasilan per hari dari tiket hanya sekitar Rp 1,5 juta. Angka tersebut jauh lebih kecil dibandingkan kondisi normal sebesar Rp 30 juta. Padahal, kata dia, kebutuhan biasa listrik untuk bioskop Rp 70 juta per bulan. Belum lagi untuk membayar karyawan bioskop.
 
GPBSI sempat melontarkan harapan yang tak muluk kepada pemerintah. Pengelola bioskop hanya berharap agar ada keringanan terkait tagihan listrik bioskop. Ada sekitar 428 bioskop dengan 2.050 layar di Indonesia yang menghadapi problem tersebut.
 
Asa serupa mengalir dari para pelaku industri film untuk menyelamatkan industri film dari hulu sampai hilir yang terkena dampak pandemi Covid-19. Mereka menyampaikan harapan tersebut kepada Presiden Joko Widodo. Presiden pun lantas menerima dan menyambut positif permintaan tersebut.
 
Pada Maret 2021, Jokowi menyatakan akan berkoordinasi dengan kementerian-kementerian terkait untuk menyusun ....

Pada Maret 2021, Jokowi menyatakan akan berkoordinasi dengan kementerian-kementerian terkait untuk menyusun paket stimulus seraya terus berkomunikasi dengan pelaku industri seiring dengan usaha penanggulangan Covid-19, vaksinasi, dan pemulihan ekonomi nasional. Sementara itu, Kemenparekraf akan melakukan sertifikasi CHSE (Cleanliness, Health, Safety, dan Environmental Sustainability untuk bioskop untuk meyakinkan penonton tak ragu kembali ke bioskop.
 
Sayangnya, belum juga harapan tersebut terwujud sepenuhnya, bioskop kembali harus menutup layarnya. Sejak 3 Juli 2021 saat PPKM Darurat diberlakukan, operasional bioskop lagi-lagi berhenti sementara.
 
Pembukaan bioskop memang tidak se-urgent pembukaan sekolah atau kelonggaran di sektor UMKM. Namun, bioskop menjadi sarana hiburan sederhana bagi penikmat film, sekaligus pelepas stres dan penat di tengah pandemi. 
 
Saya beberapa kali pergi ke bioskop selama pandemi (sebelum PPKM Darurat diberlakukan). Ada beberapa judul film yang saya tonton, di antaranya 'Kursk', 'Wonder Woman 1994', 'Godzilla vs. Kong', 'Mortal Kombat', 'The Conjuring', 'A Quiet Place', dan 'Cruella'. Tidak adanya film Indonesia yang saya tonton bukan karena saya tidak mencintai karya sineas Tanah Air. Hanya saja, film Indonesia yang tayang di bioskop selama pandemi super minim. Sebagian rumah produksi memilih merilis karyanya di platform streaming.
 
Sepengalaman saya menonton ketika pandemi, pihak bioskop betul-betul menerapkan protokol kesehatan (prokes) pencegahan Covid-19. Bermula sebelum masuk ke bioskop, penonton diminta meminta mengisi data diri secara digital untuk keperluan tracing bila mana dibutuhkan. Pembelian tiket hanya bisa dilakukan dengan non-tunai. Saya sendiri memilih membeli tiket via aplikasi daring.
 
Saat menanti di lobi, petugas dengan tegas namun sopan menegur orang yang duduk di bangku yang diberi tanda “X”. Begitu pun di dalam teater. Penonton yang satu dengan yang lain dijeda satu kursi. Pernah saya melihat ada yang melanggar (pindah tempat duduk), tak lama kemudian petugas masuk dan meminta penonton pindah kembali ke posisi semula. Saya yakin petugas bioskop mengawasi dari CCTV untuk memastikan semua sesuai prokes, demi kenyamanan dan keselamatan bersama.
 
Ketika itu, senang rasanya bisa kembali ke bioskop. Hanya saja, suasana bioskop saat itu sangat berbeda dengan sebelum pandemi. Sepi. Meski saat ini banyak layanan streaming menawarkan ragam film, tetap saja pengalaman menonton bioskop dengan segala keriuhannya tak tergantikan.
 
Saya bukan mau mencari mana yang lebih baik antara menonton film di bioskop atau di layanan streaming. Ini hanya soal selera saja, dan selera saya jatuh pada pilihan menikmati karya para sineas di layar lebar. Saya pribadi berharap pandemi segera berakhir sehingga atmosfer bioskop bisa kembali normal.
 
Bukan hanya soal film, hal-hal kecil di bioskop juga membuat saya tak sabar pergi ke sana, misalnya, lobi bioskop yang dipenuhi aroma popcorn yang baru matang hingga suara renyah milik Maria Ontoe yang menandakan ruang bioskop sudah bisa ditempati: “Pintu teater 1 telah dibuka. Bagi Anda yang telah memiliki karcis, silakan memasuki ruangan teater”. Saya sudah rindu bioskop dengan segala keriuhannya. Bagaimana denganmu?

 
Berita Terpopuler