Masjid Agung Djenne, Megah Berbahan Lumpur di Mali

Struktur asli masjid ini diyakini telah dibangun sekitar abad ke-13.

Wikipedia
Masjid Agung Djenne, Megah Berbahan Lumpur di Mali. Masjid Agung Djenne di Mali. Masjid bersejarah ini terbuat dari lumpur.
Rep: Kiki Sakinah Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, DJENNE -- Jejak peradaban Islam dapat ditemui di tanah Afrika. Salah satu wilayah di Afrika yang pernah menjadi saksi kejayaan peradaban Islam adalah kota Djenne, salah satu kota tertua yang dikenal di sub-Sahara Afrika.

Baca Juga

Kota yang berasal dari abad 250 SM itu berkembang sebagai mata rantai penting dalam perdagangan emas trans-Sahara dan kerap digambarkan sebagai 'kota kembar' Timbuktu kuno. Terletak di tepi sungai Bani dan Niger di Mali, masa lalu Djenne mengukir diri dalam sejarah Islam.

Kota yang terletak di wilayah Pedalaman Delta Niger di Mali tengah ini merupakan pusat penyebaran Islam di Afrika pada abad ke-15 dan ke-16, dan masih menjadi penggambaran arsitektur Islam yang luar biasa di sub-Sahara Afrika.

Dilansir di Middle East Monitor, karakter kota kuno Afrika Barat di kota Djenne ini dibentuk oleh penggunaan tanah yang spektakuler dan rumit dalam arsitekturnya. Kota ini adalah rumah bagi sejumlah besar rumah tanah liat yang menawan yang menyatu dengan alam sekitarnya.

Kota Djenne terkenal dengan arsitektur berlumpurnya, terutama Masjid Raya Djenne, yang menjadi bangunan berbahan tanah lumpur terbesar di dunia. Setiap musim semi, festival yang berlangsung satu hari menyatukan seluruh penduduk kota dalam salah satu pertunjukan paling unik dari perpaduan sosial dan perayaan komunal dari keyakinan dan warisan sejarah.

 

Festival tahunan itu dikenal dengan nama 'Crepissage de La Grand Mosquee' atau bermakna plesteran. Dalam tradisi ini, penduduk Djenne bekerja sama memperbaiki atau melakukan pelapisan ulang Masjid Raya Djenne. Masjid ini dibangun dengan struktur dinding lumpur tanah yang dilapisi dengan plester batu bata.  

Karena hanya menggunakan lumpur sebagai pelapisnya, kondisi masjid ini kerap menurun dari waktu ke waktu. Karena itulah, masyarakat Muslim setempat berinisiatif memperbaiki masjid ini setahun sekali dengan lumpur melalui tradisi Crepissage tersebut.

Masjid Raya Djenne adalah sebuah contoh bangunan megah dari arsitektur Sudano-Sahelian. Struktur asli masjid ini diyakini telah dibangun sekitar abad ke-13, ketika Raja Koi Konboro, penguasa ke-26 Djenne dan sultan Muslim pertamanya, memutuskan membangun tempat ibadah Muslim di kota ini menggunakan bahan bangunan lokal.

Namun, masjid raya Djenne telah dibangun kembali setidaknya dua kali sejak itu, yakni pada 1220 dan 1907. Struktur masjid saat ini telah berusia sekitar satu abad.

Penyekatan alami yang disediakan oleh penggunaan lumpur dan tanah liat pada bangunan masjid ini membuatnya tetap sejuk di dalam bahkan selama hari-hari musim panas yang terik. Aula masjid yang merupakan Situs Warisan Dunia UNESCO tersebut menjulang setinggi hampir 20 meter.

Masjid Raya Djenne dilengkapi dengan tiga menara yang khas dan ratusan batang pohon palem yang disebut 'toron' yang menancap dan menonjol dari fasadnya. Toron tersebut berguna untuk menopang dan membuat plesteran ulang lebih mudah.

 

Selama bertahun-tahun, Masjid Agung Djenne telah menjadi pusat kehidupan agama dan budaya Mali serta simbol warisan arsitektur dan identitas budaya Djenne. Masjid ini juga menciptakan rasa komunitas dan komitmen terhadap pelestarian bangunannya.

Pada malam menjelang Crepissage, penduduk Djenne turun ke jalan dalam karnaval yang dikenal sebagai 'La Nuit de Veille', atau 'Malam yang Terjaga', di mana mereka bernyanyi dan menari hingga dini hari.

Saat peluit berbunyi sekitar pukul 05.00 pada hari Crepissage, tim pria muda berlomba di fasad masjid dengan membawa keranjang tanah liat basah untuk dioleskan ke dinding dengan pengawasan sesepuh tukang batu. Sementara wanita membawa air yang dibutuhkan untuk mencampurkan dengan tanah liat dari sungai.

Anak-anak juga ikut ambil bagian. Mereka tidak hanya bermain dan menari di lumpur.

Mereka juga mengangkut keranjang tanah liat untuk membantu para pemuda tersebut. Proses pelapisan ulang ini berlangsung selama hampir lima jam dan selesai selangkah di depan matahari tengah hari yang terik di Gurun Sahara.

Tradisi mereparasi masjid ini dirancang untuk melindungi dinding tanah berbahan lumpur dari masjid itu dari keretakan dan keruntuhan, di samping untuk memastikan bangunan masjid ini bertahan dari musim hujan dan musim panas. 

https://www.middleeastmonitor.com/20210704-discover-the-great-mosque-of-djenne-mali/

 
Berita Terpopuler