Peran Penting Wakaf di Ekosistem Ekonomi Syariah Indonesia

Saat ekosistem ekonomi syariah dapat terwujud dalam waktu yang tidak lama lagi.

Foto : MgRol112
Ilustrasi Wakaf
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Bobby P. Manullang, Ketua Forum Wakaf Produktif GM Fundraising Wakaf Dompet Dhuafa

JAKARTA -- Wakaf sejatinya merupakan sebuah pesan untuk ekonomi produktif. Setidaknya ini sesuai dengan tonggak sejarah wakaf yakni saat Sayyidina Umar Bin Khattab datang kepada Rasulullah SAW untuk menyerahkan tanahnya di Khaibar. Tanah itu diserahkan untuk disedekahkan di jalan Allah kepada Baginda Rasulullah.

Namun Ketika itu Rasulullah menolak dan memberikannya kembali kepada Umar seraya berpesan agar terus mengelola lahan tersebut. Rasulullah berpesan agar yang tumbuh di atas tersebut dialirkan kepada para mawkuf alaihi, para pengelola, dan keluarga Umar yang masih membutuhkan. Jadi jelaslah inti dari pesan sejarah ini bahwa wakaf hendaklah dikelola secara produktif dan berkesinambungan.

Seperti yang kita ketahui, World Giving Index menyatakan tingkat kedermawanan orang Indonesia adalah tertinggi di dunia (the most generous people in the world). Ini menandakan passion orang Indonesia dalam dunia filatropi cukuplah tinggi.

Namun sangat disayangkan kedermawanan ini tidak diiringi oleh tingkat literasi soal wakaf yang memadai. Tentu saja pada akhirnya kondisi ini berujung kepada rendahnya tingkat partisipasi masyarakat dalam berwakaf.

A. Menciptakan Pasar Wakaf dan Pengembangan Literasi Wakaf
Saat ini, kita masih melihat masih lebarnya kesenjangan antara potensi wakaf sebesar Rp 180 triliun yang baru bisa dicapai sebanyak Rp 500 miliar dalam satu tahun (Rilis Badan Wakaf Indonesia 2020). Artinya capaian real hingga sejauh ini masih sekitar 0,3 persen dari potensi yang ada. Maka kondisi ini membawa kita pada suatu kesimpulan teoritis bahwa “Menciptakan Pasar Wakaf dengan Cara Menaikkan Tingkat Literasi Masyarakat tentang Wakaf”. Tentunya postulat ini membawa kita kepada sebuah tiga misi dalam mengubah pola pikir masyarakat:

1. Mengubah mindset bahwa Wakaf adalah ibadahnya orang kaya (the haves) saja;
2. Mengubah mindset bahwa wakaf hanya lazim ditunaikan dalam bilangan-bilangan besar (sehingga orang finansial yang terbatas belum dianjurkan berwakaf);
3. Mengubah mindset bahwa wakaf tak perlu segera ditunaikan (ini yang paling urgent untuk diubah);

Tiga perubahan tersebut akan sangat mungkin terjadi apabila kita konsisten dalam memberikan edukasi publik dan juga berkelanjutan dalam mengembangkan literasi tentang wakaf. Seperti kita tahu, cara mengedukasi paling efektif adalah memberikan contoh dan menunjukkan success story atas apa yang sedang kita kerjakan. Begitu pula dengan wakaf, di mana peran nadzir untuk melakukan edukasi diharapkan berlangsung dengan efektif tatkala mereka mampu memaparkan contoh positif dan keberhasilan pengelolaan aset wakafnya.

B. Peran Utama Nazhir di Indonesia
Maka dari itu, tugas seorang nazhir adalah bagaimana dia dapat memberikan edukasi kepada masyarakat dengan memberikan informasi secara luas atas keberhasilannya dalam mengelola aset wakaf. Sehingga secara umum, empat aspek utama yang harus dapat dilakukannya adalah:

1. Bagaimana optimalisasi edukasi wakaf?
Apa yang perlu dilakukan dalam edukasi wakaf, yakni kontinuitas edukasi wakaf kepada seluruh segmen masyarakat di Indonesia. Selain itu, dalam edukasi wakaf penting juga penguasaan saluran komunikasi, baik itu media luar ruang, broadcast maupun sosial media.

2. Bagaimana optimalisasi fundraising wakaf ?
Sebuah upaya strategis dalam Menyusun rencana untuk pengembangan sistem dan jaringan penghimpunan wakaf sebagai sumber utama pengelolaan aset wakaf. Terkait hal ini, nazhir juga harus mampu membangun kolaborasi strategis dan membuka kanal-kanal penghimpunan wakaf semisal kerja sama dengan perbankan, industri keuangan non perbankan dan juga kemitraan corporate social responsibility (CSR).

3. Menciptakan income generator wakaf?
Sebuah upaya dalam mendaya gunakan aset wakaf yang dimiliki nazhir agar terkelola dengan baik sehingga mampu menjadi sumber penghasilan dengan memberikan surplus usaha/wakaf. Karena itu nazhir harus mampu mengelola asset sesuai dengan prinsip kewirausahaan yang berorientasi kepada profit center. Mengapa? Karena dari profit itulah nazhir dapat mengalirkan manfaat kepada para mawkuf alaih, mendapatkan benefit operasional nazhir dan juga sumber pemeliharaan dan pengembangan aset wakaf.

4. Bagaimana optimalisasi surplus aset wakaf?
Sebuah tugas yang harus dijalankan nazhir dalam kaitannya membuat sebuah model penyaluran atas surplus wakaf yang diraihnya. Termasuk ketika akan memulai sebuah usaha pengelolaan asset wakaf, nazhir harus memiliki target surplus yang bertujuan untuk; 1) Berapa besar manfaat mawkuf alaih yang bisa disalurkan, 2) Berapa nilai dana reinvestasi untuk pengembangan usaha yang bisa diperoleh dari surplus wakaf, 3) berapa besar hak operasional nazhir yang bisa digunakan sebagai insentif pengelola.

Apabila seorang nazhir mampu mendefinisikan fungsi dan peran seperti itu, maka target capaian dan indikator keberhasilan dari pengelolaan aset wakaf akan sangat terukur dan dapat terjamin keberlangsungannya.

C. Peran nazhir sesuai prinsip Waqf Core Principles
Bank Indonesia (BI) Bersama Badan Wakaf Indonesia (BWI) telah mengambil inisiatif untuk membuat panduan dasar bagi nazhir wakaf di Indonesia. Panduan dengan nama Waqf Core Principles (WCP) merupakan sebuah upaya untuk meletakkan dasar acuan kinerja bagi para nazhir dalam menjalankan fungsi pengelolaan asset wakaf. Beberapa prinsip yang terkandung dalam WCP ini antara lain:
1. Dasar hukum perwakafan (Legal Foundation)
2. Kepatutan pengelolaan wakaf (Waqf Governance)
3. Kepatutan Syariah (Sharia Governance)
4. Manajemen Risiko (Risk Management)

Empat prinsip utama ini merupakan dasar bagi seorang nazhir agar pengelolaan aset wakaf dapat terkelola dengan asas kepatutan yang diharapkan dapat menjamin kinerja nazhir dan produktivitas asset wakaf secara berkelanjutan.

D. Wakaf dalam Ekosistem Ekonomi Syariah
Memahami wakaf tidak boleh lagi sebatas pengelolaan asset yang utilitas sebatas untuk keperluan sosial ibadah. Aset wakaf harus memiliki manfaat produktif yang punya efek penyejahteraan ekonomi ummat.

Untuk itu, sejalan dengan prinsip dasar yang tertuang dalam Waqf Core Principes, nazhir harus bisa menempatkan diri sebagai bagian dari ekosistem ekonomi syariah. Nazhir harus mampu membangun kinerja yang membuat institusi dan profil aset wakaf yang dikelolanya layak untuk berinterkoneksi dengan aktivitas stakeholder lain dalam ekosistem ekonomi syariah. Sebagai contoh :
1. Nazhir harus mampu membuat program kerja pendayagunaan aset wakaf yang memiliki manfaat langsung terhadap kaum dhuafa (pemberdayaan ekonomi dhuafa, layanan kesehatan, pendidikan, dan lain-lain).
2. Nazhir harus bisa membuat program yang secara substansi menjadi sumber permodalan ekonomi produktif (pengelolaan wakaf uang yang dikelola sebagai stimulus permodalan produktif untuk usaha mikro)
3. Nazhir harus memiliki program/proyek yang memiliki daya tarik untuk dikerja samakan dengan mitra individu, korporasi dan Lembaga (perbankan syariah dan perusahaan baik itu kerja sama usaha maupun social corporate responsibility) dengan tujuan menciptakan income generator usaha yang bertujuan kepada penciptaan revenue stream agar menjadi sumber berkelanjutan untuk mauwkuf alaih.
4. Nazhir harus memiliki proyeksi usaha/bisnis yang dapat memberikan gambaran prospectus yang jelas agar dapat dipertimbangkan sebagai objek usaha produktif yang layak untuk dibiayai dan dikerjasamakan.

Dengan begitu, maka nazhir dapat memainkan peran sangat penting untuk membangun profil aset wakaf yang dikelolanya, ditambah dengan menjadikan WCP sebagai prosedur standar operasionalnya, maka tentu saja nazhir bisa dikatakan sebagai salah satu stakeholder penting dalam ekosistem eksyar ini.

E. Wakaf dan Keuangan Inklusif
Salah satu agenda penting dalam ekosistem ekonomi syariah Indonesia adalah menciptakan pasar keuangan inklusif yang lebih luas kepada masyarakat. Wakaf dalam pasar ekonomi inklusif sebetulnya bisa berposisi dalam dua peran, yakni:

1. Wakaf dapat menjadi sumber keuangan inklusif. Yaitu ketika wakaf tunai yang dikelola nazhir dapat diakses publik sebagai sumber permodalan usaha yang harus diperlakukan sebagai pinjaman modal berkelanjutan (revolving fund).

2. Aset wakaf yang dikelola nazhir dapat dijadikan prospectus usaha yang digunakan untuk mengakses sumber permodalan lembaga keuangan kepada nazhir yang mengelolanya. Sayangnya sejauh ini akses permodalan untuk pelaku usaha dari sumber wakaf uang masih sangat terbatas. Hal ini disebabkan karena memang masih minimnya peroleh wakaf uang yang dicapai nazhir wakaf di Indonesia.

Begitu pula kondisi yang sama di lembaga perbankan. Saat ini perbankan masih belum melihat nazhir wakaf sebagai pelaku usaha yang bankable. Dengan kepatutan syariah yang tidak memboleh asset wakaf dijadikan jaminan (collateral) menyebabkan aktivitas keuangan terhadap aset wakaf belum terlalu dinamis. Namun demikian, nazhir dan aset wakaf juga belum dinilai layak untuk dibiayai karena masih rendahnya tingkat capacity dan character usahanya.

Sehingga membangun ekosistem menuntut willingness yang sama dari seluruh stakeholder. Nazhir harus meningkatkan kapasitasnya agar lebih bankable perbankan juga diharapkan membuka diri dan membuat terobosan struktur pembiayaan yang memungkinkan sumber daya keuangannya diakses nazhir untuk permodalan pengelolaan aset wakaf.

F. Memenuhi Kebutuhan Sendiri Melalui Blended Finance ZISWAF
Belum dinamis dan kondusifnya keuangan inklusif yang related dengan perwakafan, menyebabkan nazhir memerlukan waktu yang cukup lama untuk memulai operate pengelolaan asset wakaf. Mengapa? Karena untuk mencukupi kebutuhan pembangunan asset wakaf kebanyakan nazhir memerlukan waktu dalam kurun waktu tiga tahun penghimpunan (fundraising), sementara proyek pembangunan diharapkan dibangun dalam satu tahun. Sehingga terdapat gap dua tahun yang sebetulnya dapat dipenuhi dari bridging pinjaman permodalan perbankan.

Sementara perbankan belum mengakomodir kebutuhan pembiayaan ini, maka nazhir melakukan langkah blended finance, dengan menggunakan bridging (talangan) dari dana zakat dan infak dana zakat dan infak digunakan sebagai talangan yang akan dikembalikan secara bertahap sesuai surplus wakaf yang akan diperoleh.

Contoh, nazhir ingin membangun sekolah berbasis wakaf, biasanya memerlukan fundraising selama 3 tahun. Jika perbanan berkenan memberikan bridging fund makan sebetulnya bisa saja pembangunan tersebut diwujudkan dalam satu tahun, dan nazhir dapat melunasi setelah fundraising selesai di tiga tahun berikutnya.

Selain itu, pola blended finance juga dilakukan untuk meningkatkan layanan mustahik/dhuafa yang menggunakan asset wakaf. Contoh rumah sakit yang dibangun berbasis dana wakaf, operasional layanan kesehatannya kepada mustahik menggunakan dana infak dan sedekah. Sehingga dapat beroperasi meskipun memberikan layanan secara gratis.

Penutup
Pada akhirnya, kita semua tentu berharap bahwa suatu saat ekosistem ekonomi syariah dapat terwujud dalam waktu yang tidak lama lagi. Pada pada saat itu terjadi, kita pun semua berharap wakaf bisa menjadi bagian penting sebagai instremen penggerak ekonomi umat.

Dengan terus memperhatikan perkembangan dinamis wakaf maka sejalan dengan itu, nazhir juga harus terus meningkatkan kapasitasnya agar betul-betul mampu menjadi pengelola aset wakaf yang andal dan dapat memberikan kepastian keberlanjutan manfaat atas aset yang dikelolanya.

 
Berita Terpopuler