Anak Buah Injak Kepala Difabel Papua, Para Komandan Dicopot

Panglima TNI mengaku marah atas perlakuan anggotanya terhadap difabel di Merauke.

Istimewa
Insiden injak kepala yang dilakukan dua personel Lanud JA DImara, Kota Merauke, Provinsi Papua, Senin (26/7).
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ronggo Astungkoro, Ali Mansur, Mabruroh

Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU), Marsekal Fadjar Prasetyo, memutuskan akan mengganti Komandan Lanud Johanes Abraham (JA) Dimara dan Komandan Satuan Pomau Lanud JA Dimara. Para komandan itu diganti karena terjadinya tindak kekerasan oleh dua anggota Pomau Lanud JA Dimara terhadap warga di Merauke, Papua.

Baca Juga

“Setelah melakukan evaluasi dan pendalaman, saya akan mengganti Komandan Lanud JA Dimara beserta Komandan Satuan Polisi Militer Lanud JA Dimara,” ujar Fadjar lewat keterangan tertulis, (28/7).

Fadjar menjelaskan, pergantian itu merupakan pertanggungjawaban atas kejadian tindak kekerasan yang dilakukan oleh dua anggota Lanud JA Dimara tersebut. Menurut dia, semestinya komandan satuan bertanggung jawab dalam melakukan pembinaan anggota di bawagnya.

“Pergantian ini, adalah sebagai bentuk pertanggung jawaban atas kejadian tersebut. Komandan satuan bertanggung jawab membina anggotanya,” kata dia.

KSAU juga memastikan proses penanganan kasus itu dilakukan secara transparan dan sesuai aturan yang berlaku. Kini proses hukum terhadap kedua oknum TNI AU itu telah memasuki tahap penyidikan yang dilakukan oleh Satuan Pomau Lanud JA Dimara dan keduanya telah ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana.

"Serda A dan Prada V telah ditetapkan sebagai tersangka tindak kekerasan oleh penyidik, saat ini kedua tersangka menjalani penahanan sementara selama 20 hari, untuk kepentingan proses penyidikan selanjutnya," ujar Kepala Dinas Penerangan TNI AU, Marsma Indan Gilang Buldansyah.

Terkait dengan sanksi hukuman yang dapat dijatuhkan kepada kedua tersangka, Indan meminta semua pihak untuk menunggu proses hukum yang sedang berjalan. Proses hukum akan dijalani sesuai aturan hukum yang berlaku di lingkungan TNI.

"Saat ini masih proses penyidikan terhadap kedua tersangka, tim penyidik akan menyelesaikan BAP dan nantinya akan dilimpahkan ke Oditur Militer untuk proses hukum selanjutnya," ungkap Indan.

Aksi kekerasan oleh dua anggota Lanud JA Dimara terhadap seorang warga Papua di Merauke yang terjadi pada Senin (26/7) pagi diawali oleh keributan seorang warga yang menurut versi TNI AU, diduga dalam keadaan mabuk dengan seorang pemilik warung. Dua anggota Pomau Lanud JA Dimara kemudian datang dengan maksud melerai keributan yang terjadi tersebut.

Kejadian itu direkam oleh salah satu kamera ponsel warga yang ada di warung tersebut. Dalam video itu, kedua anggota Pomau tersebut menjatuhkan seorang warga yang diduga menyebabkan keributan. Ketika itu, satu anggota Pomau menahan badan warga sipil tersebut dengan lututnya. Sementara satu anggota Pomau lagi menginjak kepala warga sipil itu.

Dalam video yang beredar viral di media sosial itu, terdengar warga Papua yang diamankan dua anggota Pomau adalah seorang tunarungu. Aksi anggota Pomau pun kemudian menuai kecaman warganet, di mana kata 'rasis' sempat menjadi topik trending di Twitter.

Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, pada hari ini bereaksi keras dengan KSAU untuk Danlanud JA Dimara dan Danpomau Lanud JA Dimara. Dia meminta jabatan Komandan Lanud JA Dimara dan Komandan Satuan Pomau Lanud JA Dimara untuk diserahterimakan malam ini juga.

"Saya minta malam ini langsung serah terimakan (jabatan). Saya minta malam ini sudah ada keputusan itu," ujar Hadi kepada Republika, Rabu (28/7).

Hadi mengungkapkan, perintah tersebut dia berikan karena Komandan Lanud JA Dimara dan Komandan Satuan Pomau Lanud JA Dimara tidak bisa membina anggotanya dengan baik. Dia geram dan tak habis pikir dua prajurit TNI AU itu tidak peka dalam memperlakukan disabilitas seperti itu.

"(Perintah pencopotan diberikan) karena mereka tidak bisa membina anggotanya. Kenapa tidak peka memperlakukan disabilitas seperti itu. Itu yang membuat saya marah," ujar Hadi.

Pada Selasa (27/7) malam, KSAU Marsekal Fadjar Prasetyo, meminta maaf kepada korban dan masyarakat Papua atas kejadian penginjakkan kepala tersebut. Dia memastikan akan menindak tegas dua orang anggota yang bertugas di Lanud JA Dimara tersebut.

"Saya selaku KSAU ingin menyampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya kepada seluruh saudara-saudara kita di Papua khususnya warga di Merauke terkhusus lagi kepada korban dan keluarganya," ujar Fadjar lewat video singkat.

Fadjar mengatakan, hal itu terjadi semata-mata karena kesalahan dari anggotanya. Tidak ada niatan apa pun dan tak ada perintah kedinasan kepada keduanya untuk melakukan hal tersebut. Dia menyatakan akan mengevaluasi seluruh anggotanya di sana dan akan menindak secara tegas terhadap pelaku yang berbuat kesalahan.

"Sekali lagi saya ingin menyampaikan permohonan maaf yang Setinggi-tingginya. Mohon dibuka pintu maaf," kata dia.

Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua, Theo Hesegem, menyatakan, pihaknya merasa prihatin dengan tindakan penginjakkan kepala warga Merauke, Papua, oleh prajurit TNI Angkatan Udara. Dia mengatakan, tindakan yang tidak manusiawi itu sangat menyakiti keluarga korban dan warga masyarakat Papua pada umumnya.

"Kekerasan sangat menyakiti keluarga korban dan warga masyarakat Papua pada umumnya, karena dilihat dari kondisi korban sangat tidak normal, namun diperlakukan tidak manusiawi," kata Theo kepada Republika, Selasa (27/7).

Menurut Theo, tindakan kedua anggota Pomau tersebut merupakan tindakan yang sangat tidak manusiawi, tidak terdidik, dan tidak profesional. Tindakan itu juga ia nilai bertentangan denngan amanat delapan wajib TNI, yang mana di antaranya bersikap ramah tamah dan sopan santun kepada rakyat serta tidak sekali-kali menakuti dan menyakiti hati rakyat.

Berdasarkan dengan tindakan itu, maka pihaknya merekomendasikan beberapa hal. Pertama, kedua anggota tersebut segera diproses sesuai hukum yang berlaku dan dilaksanakan di pengadilan militer di Papua, jangan di luar Papua. "Kedua anggota yang dimaksud telah melanggar 8 Wajib TNI, untuk itu saya minta segera diperhentikan dan di pecat tanpa hormat," ungkap dia.

Senator asal Papua Barat, Filep Wamafma juga mengutuk keras tindakan dua oknum TNI AU yang melakukan penjemputan paksa dan tindakan kekerasan terhadap seorang warga sipil Papua di Merauke.

“Sebagai Senator dan anggota Komite I DPD RI mengutuk keras tindakan yang tidak berperikemanusiaan tersebut. Hal ini membuktikan bahwa masih ada oknum anggota TNI maupun aparat keamanan di tanah Papua yang belum memahami atau tidak memahami tentang wawasan kebangsaan, tentang berkehidupan dengan pemahaman empat pilar kebangsaan yang ditorehkan oleh founding father negara ini,” tegas Filep dalam keterangan tertulisnya, Rabu (28/7).

Menurut Filep Wamafma, perilaku dua oknum anggota TNI AU tersebut telah mencoreng institusi TNI di tanah Papua. Peristiwa tersebut dikhawatirkan akan semakin memupuk ketidakpercayaan rakyat terhadap institusi negara termasuk ketidakpercayaan rakyat terhadap komitmen pemerintah dan negara dalam penanganan persoalan Papua secara damai dan bijaksana.

“Kami sangat prihatin bahwa kehadiran atau perilaku-perilaku oknum TNI ini membuat semakin hari rakyat Papua semakin tidak percaya terhadap institusi pemerintah,” keluh Filep.

Selain itu Filep juga mengkritisi beberapa hal yang ganjil yang terjadi pada peristiwa tersebut. Karena itu ia mendesak pihak TNI AU maupun tim penyidik menelusuri secara mendalam dalam upaya penegakan hukum yang adil dan bermartabat. Pertama, bagaimana mungkin dua oknum dengan status sebagai Provos menjemput korban di rumah makan. Hal ini tidak masuk dalam logika manapun.

"Kami menilai bahwa hal ini tidak masuk di akal, apa sesungguhnya tugas dan fungsi Provos jika hanya kasus seperti itu, hanya soal makan seperti itu dan hanya soal perdebatan seperti itu di rumah makan tapi kemudian melakukan penjemputan paksa dan tindakan main hakim sendiri oleh dua oknum tersebut kepada warga sipil, hal ini sekali lagi tidak masuk dalam logika," kata Filep.

Kedua, lanjut Filep, tempat kejadian perkara adalah di warung makan. Tentunya dalam penanganan peristiwa yang berkaitan dengan tindak pidana umum maupun tindak pidana tertentu diatur dalam undang-undang dan yang diberikan wewenang adalah kepolisian. Tetapi dalam peristiwa yang terjadi oleh dua oknum ini seolah-olah warung makan tersebut adalah warung makan, “milik pemilik TNI angkatan Udara”.

Filep juga menilai, sebagus apa pun kebijakan pemerintah berikan kepada Papua tapi sepanjang cara pandang pemerintah, TNI dan Polri terhadap orang Papua semacam itu tentu akan mencederai kebijakan-kebijakan yang telah dibuat. Maka ia meminta adanya proses penegakan hukum segera dengan keputusan hukum yang adil tanpa tebang pilih.

"Berharap semua institusi TNI maupun Polri di tanah Papua tidak kembali melakukan tindakan-tindakan rasis dan tidak berperikemanusiaan kepada orang asli Papua," harap Filep.

Pengamat Hukum dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar juga menyesalkan aksi tindak kekerasan yang dilakukan oknum Polisi Militer TNI Angkatan Udara terhadap warga sipil difabel di Merauke, Papua. Menurut Fickar, apa yang dilakukan oknum POM AU adalah pelanggaran HAM.

"Dalam konteks peristiwa itu, dari tampilan pelaku maka nampak bahwa orang tersebut menderita gangguan jiwa, oleh karenanya perlakuan dua aparatur itu selain berlebihan, perbuatannya juga telah melanggar HAM," kata Fickar dalam pesan teks, Rabu (28/7).

Selain itu, Fickar menilai apabila berkaitan dengan kekerasan terhadap warga sipil maka harus menyerahkan kasus tersebut juga kepada kepolisian.

"Karena itu selain dihukum secara administratif berkaitan dengan kepangkatannya juga harus diproses pidana (karena) telah melakukan kekerasan. Tidak ada legitimasi apapun yang membenarkan seorang TNI melakukan kekerasan, jika berkaitan dengan kejahatan seharusnya diserahkan kepada penyidik kepolisian, dan penyidik pun tidak dibenarkan melakukan kekerasan," terangnya.

Apalagi kekerasan tersebut dilakukan terhadap orang dengan keterbelakangan mental, menurutnya hal ini tidak bisa dibenarkan. Hukum Pidana kata dia, juga mengenal apa yang disebut dengan pertanggung jawaban kejiwaan.

"Apa pun tindakan seseorang, tidak boleh ada kekerasan pisik apalagi terhadap orang yang menderita keterbelakangan. Hukum pidana pun mengenal apa yang disebut dengan 'pertanggung jawaban kejiwaan' artinya jika ada seorang yang melakukan tindak pidana, maka selain membuktikan adanya kejahatan dan kesalahannya (lalai atau sengaja) juga harus ada unsur dapat dipertanggungjawabkan jiwanya (anak-anak atau orang gila tidak dalat dipertanggung jawabkan perbuatannya) dan adanya alasan pemaaf," jelas Fickar.

 

Skenario Pemekaran Papua - (Infografis Republika.co.id)

 
Berita Terpopuler