Kesetiaan Semu Pesepak Bola Bergaji Tinggi

Lebih banyak pemain pragmatis yang siap pindah klub demi karier dan gaji tinggi.

Facundo Arrizabalaga/Pool via AP
Penjaga gawang timnas Italia Gianluigi Donnarumma yang kini membela klub kaya Paris Saint-Germain (PSG).
Rep: Anggoro Pramudya Red: Endro Yuwanto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Uang membunuh loyalitas, menyulap barang bernama kesetiaan menjadi hal yang tabu. Setidaknya pada era sepak bola modern saat ini.

"Sepak bola adalah bisnis dan para pemain hanyalah angka, tidak ada loyalitas dan itu menyedihkan," kata Kevin-Prince Boateng kepada Diario AS menjelaskan belum lama ini.

Adagium itu seakan menggambarkan era industri sepak bola. Dalam kutipannya, eks pemain AC Milan dan Barcelona ini secara tegas mengkritisi pemain muda yang sudah diganjar upah besar, namun merasa kurang dengan menuntut bayaran yang lebih tinggi kepada klub.

Dalam safari bursa transfer musim panas 2021 kali ini, beberapa pemain yang sudah dianggap sebagai ikon sebuah klub terpaksa angkat koper dari klub lamanya. Di samping durasi kontrak yang habis, beberapa pemain memilih pergi lantaran tergiur dengan komisi melangit klub baru.

Ada nama Gianluigi Donnarumma yang memilih pisah dari AC Milan untuk bergabung ke klub kaya Paris Saint-Germain (PSG), bek tengah Bayern Muenchen David Alaba yang hijrah ke Real Madrid di antara tuntutan gaji tinggi, serta Declan Rice yang tak betah di West Ham United. Pun terpajang nama Marc Klok di sela-sela rivalitas sengit Persija Jakarta dan Persib Bandung.

Komponen gaji menjadi pengeluaran terbesar klub sepak bola. Apalagi di kondisi tak menentu seperti saat ini (pandemi Covid-19). Mayoritas klub lantas mengambil langkah dengan melakukan pemotongan gaji.

Banyak kesebelasan Eropa melakukan pemotongan gaji secara besar-besaran, seperti Barcelona, Arsenal, Juventus, dan AC Milan. Juventus yang musim lalu menganggarkan 294 juta euro untuk gaji, turun menjadi 236 juta euro per musim 2020/2021.

Sejumlah klub sedang melakukan penghematan. Pandemi Covid-19 menimbulkan krisis ekonomi. Sepak bola juga terdampak. Namun, ekspresi berbeda justru datang dari para pemain kulit bundar.

Mereka ramai-ramai meminta kenaikan gaji plus bonus dalam perannya membantu tim selama durasi masa kontrak. Itu seakan memeras sebuah kesebelasan yang di lain sisi tengah bertarung menghadapi badai pandemi Covid-19.

Sementara itu, kesenjangan gaji yang cukup luas di Serie A Liga Italia membuat klub terbagi menjadi dua, si kaya dan miskin. Di Ligue 1 Prancis, PSG adalah cerita berbeda dari banyaknya klub Eropa yang harus berhati-hati dengan aturan Financial Fair Play (FFP).

Secara tidak langsung, kemampuan klub kaya menggaji pemain papan atas dan mencomot bintang klub lain, akan membuat mereka makin kaya. Sebaliknya, klub pesaing tidak punya cukup kekuatan untuk mengabulkan permintaan sang pemain.

Disparitas atau ketimpangan gaji yang terjadi saat ini sudah juga jamak di kompetisi besar Eropa lain. Namun demikian, belum ada aturan baku yang secara khusus mengatur hal ini, termasuk melalui regulasi FFP.

Mantan pelatih Arsenal, Arsene Wenger, pernah berujar bahwa jika aturan main tidak diubah, maka sepak bola bisa jadi akan selalu seperti ini. "Klub kaya bertanding melawan klub kaya, sementara sisanya akan mati dengan sendirinya," kata pria yang kini menjabat sebagai FIFA Head of Global Development.

Di sisi lain, label 'one man team' layaknya Paolo Maldini, Francesco Totti, Ryan Giggs, Steven Gerrard, maupun Alessandro Del Piero tak dapat digolongkan dalam kategori pemain di atas. Nama-nama tersebut tidak hanya memberikan pengaruh yang besar pada sebuah klub. Namun, klub yang dibelanya telah menjadi identitas bagi dirinya pribadi.

"Orang-orang kesulitan memahami apa artinya jadi seorang profesional, yang harus siap untuk berganti seragam. Semakin sulit menemukan pemain yang memulai dan mengakhiri karier mereka di tim yang sama," kata Paolo Maldini.

Bukan kaleng-kaleng, cetusan Maldini jelas menohok ulu hati pemain mana pun yang kini lebih mementingkan besaran gaji ketimbang loyalitas terhadap klub. Meski klaim tersebut terlihat subjektif.

Pasalnya, selain memiliki ambisi yang kuat untuk berprestasi, para pesepak bola saat ini juga mengejar sisi materi sebagai alasannya pindah klub. Tidak ada yang salah dengan alasan seperti itu. Mengapa? Karena kehidupan yang harus mereka lanjutkan bisa saja hanya bergantung pada sepak bola.

Pada akhirnya, jangan pernah bertaruh kesetiaan dengan pemain sepak bola. Sebab, lebih banyak pemain pragmatis yang siap pindah klub sesering mungkin demi karier dan biaya hidup tinggi.

 
Berita Terpopuler