Research Square Hapus Publikasi Studi Ivermectin

Publikasi terhadap studi besar mengenai ivermectin dihapus dari Research Square.

EPA
Obat ivermectin. Publikasi studi besar tentang ivermectin telah dicabut dari platform pracetak Research Square, Kamis.
Rep: rizky suryarandika Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Studi terbesar yang menunjukkan bahwa ivermectin efektif untuk mencegah dan mengobati Covid-19 telah dihapus dari platform pracetak Research Square karena masalah etika, Kamis (15/7). Hanya saja, Research Square tidak menjelaskan alasan di balik pencabutan publikasi hasil studi itu.

Studi tentang khasiat ivermectin untuk Covid-19 itu dipimpin oleh Dr Ahmed Elgazzar dari Universitas Benha di Mesir. Hasil studinya dipublikasikan di Research Square pada November 2020. 

Studi ini diklaim sebagai uji coba kontrol acak, yaitu jenis studi penting dalam kedokteran karena dianggap memberikan bukti yang paling dapat diandalkan tentang efektivitas suatu intervensi. Studi tersebut menemukan bahwa pasien Covid-19 yang dirawat di rumah sakit yang "menerima ivermectin lebih awal melaporkan pemulihan yang substansial".
 
Selain itu, ada "peningkatan dan pengurangan substansial dalam tingkat kematian pada kelompok yang diobati dengan ivermectin" sebesar 90 persen. Akan tetapi, potensi ivermectin sebagai obat untuk infeksi SARS-CoV-2, virus penyebab Covid-19, itu diragukan setelah studi Elgazzar ditarik dari situs web Research Square.
 
Tangkapan layar laman Research Square yang menunjukkan publikasi studi besar soal ivermectin telah dihapus dari platform pracetak tersebut. - (Tangkapan layar)
 
Seorang mahasiswa kedokteran di London, Inggris bernama Jack Lawrence merupakan salah satu dari orang pertama yang mengidentifikasi masalah serius tentang kesahihan makalah tersebut hingga kemudian mengarah pada pencabutan. Lawrence pertama kali mengetahui studi Elgazzar ketika mendapat tugas kuliah dari dosennya.
 
Lawrence yang tengah menempuh pendidikan untuk meraih gelar master menemukan bagian pendahuluan dari makalah itu tampaknya hampir seluruhnya hasil jiplakan. Ia menduga, penulis telah menyalin seluruh paragraf dari siaran pers dan situs web tentang ivermectin dan Covid-19 lalu memakai tesaurus demi mengubah kata kunci. 
 
"Lucunya, mereka malah mengubah 'sindrom pernapasan akut yang parah' menjadi 'sindrom pernapasan yang sangat intens' pada satu kesempatan," kata Lawrence, dilansir The Guardian pada Sabtu (17/7).
 
Data yang ditampilkan Elgazzar juga tampak mencurigakan bagi Lawrence. Ia mendapati data mentah tampaknya bertentangan dengan protokol penelitian pada beberapa bagian. 
 
"Para penulis mengklaim telah melakukan penelitian hanya pada usia 18-80 tahun, tetapi setidaknya ada tiga pasien dalam kumpulan data berusia di bawah 18 tahun," ujar Lawrence.

Lawrence mengungkapkan, penulis studi mengklaim mereka melakukan penelitian antara 8 Juni hingga 20 September 2020. Padahal, menurut data mentah, sebagian besar pasien yang meninggal dirawat di rumah sakit dan mengembuskan napas terakhir sebelum 8 Juni. 
 
"Data juga diformat dengan sangat buruk, termasuk menyertakan satu pasien yang meninggalkan rumah sakit pada 31 Juni 2020, tanggal yang tidak ada (karena bulan Juni cuma sampai tanggal 30, red.)," ucap Lawrence.
 
Lawrence juga mengungkap hal lain yang menjadi perhatiannya. Salah satunya, dalam makalah mereka, penulis studi mengklaim bahwa empat dari 100 pasien meninggal dalam kelompok perawatan standar untuk Covid-19 gejala ringan dan sedang.
 
"Menurut data asli, jumlahnya 0, sama dengan kelompok perlakuan ivermectin," kata Lawrence.
 
Lantas, dalam kelompok pengobatan ivermectin mereka untuk Covid-19 yang parah, penulis mengklaim dua pasien meninggal. Sementara itu, jumlah dalam data mentah mereka adalah empat.

Lawrence dan Guardian telah mengirimkan daftar pertanyaan lengkap tentang data kepada Elgazzar, tetapi tidak menerima jawaban. Kantor pers universitasnya juga tidak menanggapi.

Lawrence kemudian mengontak ahli epidemiologi penyakit kronis dari University of Wollongong di Australia, Gideon Meyerowitz-Katz, untuk membantu menganalisis data dan hasil studi secara lebih teliti. Ia juga melibatkan seorang analis data yang berafiliasi dengan Linnaeus University di Swedia untuk meninjau kesalahan pada makalah ilmiah tersebut.

Baca Juga

Menurut Brown, kesalahan utamanya ada pada setidaknya 79 catatan pasien yang merupakan hasil kloning dari catatan lain. Ia menilai, ini tentu temuan yang paling sulit untuk dijelaskan sebagai kesalahan yang tidak disengaja, terutama karena klonnya bahkan bukan salinan murni.

"Ada tanda-tanda bahwa mereka telah mencoba mengubah satu atau dua bidang agar terlihat lebih wajar," kata Brown.

Studi lain tentang ivermectin masih berlangsung. Di Inggris, University of Oxford sedang menguji kemungkinan ivermectin berkhasiat mencegah orang positif Covid-19 berakhir di rumah sakit.

Di Indonesia, uji klinis ivermectin untuk perawatan pasien Covid-19 juga tengah berlangsung di delapan rumah sakit. Berdasarkan Peraturan Kepala BPOM tentang Perluasan Akses untuk Obat Uji, ivermectin dapat diresepkan oleh dokter dengan dosis mengikuti panduan uji klinis.

Studi Elgazzar adalah salah satu yang terbesar dan paling menjanjikan yang menunjukkan ivermectin dapat membantu pasien Covid-19. Studiya paling sering dikutip oleh para pendukung obat sebagai bukti keefektifannya.

Infografis Fakta Seputar Ivermectin - (republika.co.id)

Sebaliknya, makalah yang sudah ditinjau sejawat yang diterbitkan dalam jurnal Clinical Infectious Diseases pada bulan Juni justru menemukan bahwa ivermectin "bukan pilihan yang layak untuk mengobati pasien Covid-19".

Pada Maret, Organisasi Kesehatan Dunia memberikan peringatan untuk tidak menggunakan ivermectin di luar uji klinis yang terancang dengan baik. Ivermectin merupakan obat murah yang telah mendapat izin edar di Indonesia untuk melawan parasit, seperti cacing dan kutu rambut.

 
Berita Terpopuler