Final Euro 2020: Ada Sejarah Tirani di Balik Sepak Bola?

Menonton final Euro ternyata bukan sederhana hanya melihat menang dan kalah saja.

Google.com
Diktator Spanyol Jendral Franco menggunakan Real Madrid sebagai alat politik untuk menunjukkan kekuatan Spanyol kepada dunia. Franco sebenarnya adalah penggemar Atletico Madrid yang kemudian ikut-ikutan menjadi Los Blancos.
Red: Muhammad Subarkah

IHRAM.CO.ID, Akhir pekan jelang final Euro 2020 memang asyik. Di kala menunggu pertandingan itu ada tayangan baru film dokumenter baru di Netflix. Judulnya keren: How to Become A Trynt (Bagaimana Menjadi Seorang Tiran).

Kisahnya bersisi gambar dokumentasi dan aneka komentar analisa mengenai mengapa seseorang menjadi tiran dan mengapa sebuah negara tiba-tiba menjadi otoriter. Mereka mencontohkan kisah dari kemunculan para diktator dalam dunia moderen dari berbagai belahan dunia. Dari Mussolini, Hitler, Idi Amin, Sadam Husein, Muamar Khadafi, Kim Jong-Un, dan lainnya.

Musollini mislanya, meskipun ada persepsi umum bahwa dia pendukung bahwa klub Lazio, dia sebenarnya mendukung Bologna, Bahkan, setelah berkuasa di Italia pada tahun 1922, dia menikmati rentetan gelar klub itu yang gemilang pada tahun 1925, 1929, 1936, 1939 dan 1941.

Dia memproklamirkan stadion Bologna dengan menyebut sebagai "contoh cemerlang dari apa yang dapat dilakukan dengan kemauan dan keuletan ala fasisme.

Musollini adalah salah satu diktator modern pertama yang mengakui kekuatan olahraga dalam menggembleng rakyatnya menuju tujuan bersama. Ia pun berhasil mengamankan hak tuan rumah untuk Piala Dunia 1934 untuk Italia dan tim Azzurri. Maka Italia kemudian mendapat banyak manfaat dari beberapa keputusan pertandingan yang sangat meragukan. Inilah kemudian yang pada waktu itu bisa mengantarakan perjalanan memenangkan piala dunia.

Hal yang sama juga terjadi pada diktator masa kini Korea Utara, Kim Jong-Un. Semua tahu dia adalah penggemar berar Wyne Ronnie dan Manchster United.

 

 
  

 

Dan, Diktator Korea Utara Kim Jong-Un ini tidak hanya menjadi penggemar Manchester United yang biasa saja. Dengan kekuasaan mutlak di tangan, dia pernah meminta agar semua pertandingan klub Inggris itu disiarkan di saluran televisi pemerintah Korea Utara. 

Perilaku Jong-Un juga mirip mendiang diktator Libya, Muammar Gaddafi. Dia adalah penggemar berat Liverpool dan Juventus. Namun memang Gaddafi, tidak secara langsung berpengaruh dalam nasib kedua klub itu.

Namun, mantan pemimpin Libya Muammar Gaddafi ditemukan memiliki cangkir Liverpool di antara beberapa barang pribadinya ketika ia ditemukan bersembunyi selama jatuhnya rezimnya. Kenyataan ini jelas membingungkan beberapa penggemar sepak bola karena telah lama dikabarkan bahwa ia mendukung rival Merseyside Liverpool, Everton, setelah tur mereka di Libya pada 1979.

 

 
 
Keterangan foto: Moamar Gadaffi pengemar berat Juventus. Bahkan anaknya Saad Ali sempat berusaha mempengaruhi sejumlah uang milik ayahnya kepada pengurus Jeventus untuk menginzinkannya menjadi pemain Juventus. - (Google.com)

 

Bila pun ada koneksi dengan Juventus itu bukan dari Gadaffi. Itu hanya muncul melalui putranya Al-Saadi Gaddafi, yang menganggap dirinya sebagai pesepakbola profesional. Saat itu Saadi, telah sempat melewati masa percobaan yang gagal untuk ikut menjadi penggawa di beberapa klub top. Ia kemudian diketahui berusaha menggunakan uang ayahnya untuk membeli dirinya sendiri di dewan Juventus.

 

 

 

 

Dan pada tayangan Netflix itu, juga kemudian tergambar apa yang menjadi penyebab mereka muncul. dan semua itu dilihat dari sisi pribadi atau  kondisi sebuah negara misalnya.

Di sana disebutkan kalau dari sisi personal, kemunculan seorang tiran itu memang atas kehendak sejarah. Permintaan alam atau kehendak zaman. Bayangkan saja ada seorang seniman tanggung dan prajurit mungil dengan kemampuan tempur biasa saja yang bernama Adolf Hitler mendadak pada satu era dia bisa muncul jadi seorang tirani yang sangat berperngaruh.

Situasi jelas membuat terperangah. Apalagi dalam pandangan kekuasaan Jawa di mana seorang pemimpin yang baik itu laksana pangeran Ratu Adil yang tampan sekaligus pintar (satria pinilih). Bila ada pemimpin yang tak tampan mereka diejek layaknya 'Petruk Jadi Raja'. Dan bila ada sosok seperti itu maka orang Jawa beranggapan itu sebagai pertanda datangnya zaman 'goro-goro', munculnya 'pageblug' dan 'bala'.

Petruk - (Google.com)

 

Dan meski Hitler jauh dari gambaran ideal itu, saat itu ternyata dia mampu bawa Jerman ke puncak kejayaan. Posisinya Jerman sama dengan kecemerlangan masa kini kala dipimpin Angela Merkel. Jerman sama-sama menjadi 'penguasa' Eropa. Hitler menyembunyikan segala kekurangan penampilannya diantaranya melalui pakaian jazz yang gagah dan melalui mesin propaganda yang sangat efektif.

Lalu apa yang menjadikan Hitler menjadi bisa seperti itu? Di sana terjawab selain ada bawaan kepercayaan diri yang sangat besar atau Megalomania, Hitler juga punya pengalaman yang bisa disebut gaib. Uniknya ini terjadi ketika Hitler berada di dalam lubang parit perlindungan kala Perang Dunia I, sekitar tahun 1918.

Menurut kisahnya, Hitler seolah mendengar bisikan dari langit. Di tengah gemuruh perang tiba-tiba telinga seolah mendengar bisikan bila dia ditunjuk sebuah kekuatan gaib untuk mengembalikan kejayaan ras aryanya atau Jermannya. Di sebtkan saat itu mata Hitler seolah langsung bercahaya. Sejak itu dia yakin bahwa dirinya akan menjadi penyelemat negara.

Dan memang perjalanan waktu kemudian membawa Hitler ke puncak. Usai pandemi Flu Spanyol pada tahun awal 1920-an hingga datangnya Krisis Ekonomi Besar Dunia 1930, Hitler bisa menapaki tangga puncak. Awalnya hanya sebagai politisi bisa, tapi tak lama kemudian menjadi presiden bahkan sekitar tahun 1935 menjadi seorang Kaisar (fruher) Jerman.

Dan di tengah tuturan cara Hitler sampai ke posisi puncak di sana terselip sebuah pemandangan stadion sepakbola. Tempat itu oleh juru penerangan Joseph Gobell selain dipakai sebagai pertandingan sepakbola juga dipakai sebagai ajang rapat abar kampanye raksasa. Di tempat itulah indoktrinasi kebesaran Jerman dibangkitkan. Berbagai Yel-yel, slogan, hingga tepuk tangan membahana seperti dalam sebuah pertandingan besar sepakbola digelorakan kepada publik.

Bahkan, pertandingan ajang pertandingan sepakbola pun oleh rezim Hitler dipakai sebagai ajang menunjukan kebesaran Jerman. Pertandingan bola tercampur dengan politik. Dan ternyata tak hanya Hitler para diktator lain seperti Musollini di Italia pun mengunakannya.

Tapi tak hanya itu saja di belahan Amerika Latin pun begitu. Para diktator di sana juga menggunakan sepakbola untuk mengeksiskan legitimasi kekuasannya. Ini terjadi di Brasil di eras rezim diktator militer pada zaman keemasan Pelle pada dekade 1960-70-an. Atau pada zaman si gondrong legendaris Argentina Mario Kempes ketika timnya merebut trophy piala dunia 1978. Diktator pelanjut dari Isabel Peron, Jorge Rafael Videla Redondo  memakainya untuk mengesiskan imaji kebesaran negaranya untuk sejenak melupakan dari derita kemiskinan.

Lalu apa hasilnya dan buktinya bila perasaan dan pengalaman sebuah bangsa menjadi diktator berpengaruh besar bagi prestasi tim sebuah negara. Ini bisa dilihat dari asal usul para pemenang Piala Dunia Sepakbola. Dari sejarahnya ternyata dari negara itulah kebanyakan pemenangnya kalau disebut mutlak bahkan. Ini misalnya negara Prancis, Inggris, Italia, Argentina, Brasil, Spanyol, atau negara Eropa timur. Semua pernah merasakan hidup dibawah kekuasaan yang mutlak.

 
Keterangan foto: Mario Kempes dan Diktator Argentina,  Jorge Rafael Videla Redondo (Google.com)

Inggris misalnya pernah merasakan bagaimana hidup dalam kekuasaan raja absolut sebelum diluluhlantakkan melalui perang saudara yang melahirkan Piagam Magna Carta atau Revolusi Industri di abad 18.

Begitu juga Prancis pernah hidup di era absolut dimana 'Raja adalah negara' dan kemudian kepalanya mati dipenggal melalui goulitine di masa Revolusi Prancis. Spanyol pernah hidup dalam era tirani Jendral Franco (Francisco Paulino Hermenegildo Teodulo Franco Bahamonde, lengkapnya) pada tahun 1940-an kala berkecamuk perang dunia II.

Di Eropa timur, tepatnya Rumania juga pernah begitu. Pada era 1980 ada sosok diktator Nicolae Ceausescu. Dia penggemar berat klub Steaua Bukares.

Tak beda dengan Franco di Spanyol dan Mussolini di Italia, Ceausescu, juga beperan pada keberhasilan klub tersebut. Bahan, tidak ada keraguan tentang pengaruh diktator Rumania ini terhadap nasib Steaua Bucharest. 

Bayangkan, d bawah kediktatorannya, klub yang juga berjuluk, Army Club, mencatat rekor 104 pertandingan tak terkalahkan di Eropa. Dia memenangkan enam gelar liga berturut-turut pada 1980-an dan merebut Piala Eropa 1986.

 
Keterangan foto: Diktator Rumania, Nicolae Ceausescu: Di bawah kediktatorannya, Army Club mencatat rekor 104 pertandingan tak terkalahkan di Eropa, memenangkan enam gelar liga berturut-turut pada 1980-an dan merebut Piala Eropa 1986. Ceausescu memiliki bantuan di tangan dalam kesuksesan mereka meskipun saat ia memaksa melalui transfer bintang-bintang top seperti Gheorghe Hagi dan Gheorghe Popescu . - (Google.com)

 

Peran Ceausescu terlihat karena dia memiliki bantuan di dalam kesuksesan mereka meskipun. Ini dia lakuan dengan memaksa melalui transfer bintang-bintang top seperti Gheorghe Hagi dan Gheorghe Popescu. Dan dia jua berperan dalam menjual dan membeli para pemainnya tanpa persetujuan dari klub yang menjual atau para pemain itu sendiri. 

Bahkan, Ceausescu juga terindikasi banyak beperan dalam keputusan wasit yang terang-terangan sangat menguntungkan Steaua pada waktu itu. Sayangnya, nasib dia naas. Kepala Ceausescu dalam sebuah kerusuhan revolusi kepala dia ditemukan terpenggal dari badannya pada sebuah wilayah di pinggiran ibu kota Rumania. Kepalanya menggelinding seperti bola di jalanan.

-

Kisah Timnas Inggris yang terjebak dalam kediktatoran 

Dalam soal sepakbola dipakai sebagai alat politik --bahkan untuk mengesksisan seroang tiran, terdapat dalam kisah dari seorang penulis Oscar film dengan penghargaan Oscar, Trevor Fisher.

Trevor menulis buku: A Fatal Passion (Gairah yang Fatal). Isi buku ini tentang kaitan Sepak Bola dan Fasisme: Football and Fascism. Dia berkisah mengenai peristiwa yang terjadi kala tim sepak bola Inggris mengunjungi Jerman pada Mei 1938. Di sana timnya harus mentaati protokol diplomatik membuat tim Inggris harus memberi hormat ala Nazi.

Trevor Fisher bercerita begini:

Politik dan sepak bola adalah kombinasi yang berbahaya. Namun sepak bola kini sebagian besar berhasil telah terhindar dari campur tangan politik yang berlebihan.

Di masa lalu, ada perintah dari Diktator Mussolini ke tim Piala Dunia Italia tahun 1938 untuk memenangkan trofi. Dia memerintahkan memerintah timnas Italia dengan melecut: Kalian tidak perlu repot-repot kembali ke pulang rumah di Italia kalau menang. Dan pernyataan Mussolini yang tidak biasa ini bisa melecut timnas Italia memenangkan kejuaraan piala dunia

Campur tangan politik rezim juga terjadi di timnas Inggris. Kala itu, yakni pada Mei 1938, tim sepak bola Inggris mengunjungi Berlin, Mereka di sana bermain di hadapan lebih dari 100.000 penonton. Dan sebelum melakuan pertandingan mereka memberi hormat ala Nazi. Gema dari kejadian itu masih bergaung sampai sekarang.

Seperti komentar James Corbett dalam bukunya England Expects (De Coubertin, 2010): 'Tidak ada satu insiden dalam sejarah olahraga Inggris yang menyebabkan kekhawatiran dan kontroversi peristiwa salam ala Nazi itu.

Apalagi, pada tahun 1938, sepak bola internasional dibayangi oleh momok konflik bersenjata. Dan pertandingan sepakbola antar negara di Eropa kala itu lazim pula dilakukan. Sebelum Perang Dunia Pertama, Inggris telah melakukan tur ke pusat sepak bola Eropa tengah, yakni ke wilayah Kekaisaran Austro-Hungaria lama. Mereka melakuan dengan dua tur asing, yang pertama pada tahun 1908 untuk melawan Austria, Hungaria dan Bohemia. Ini berbeda dengan tim Jerman yang kala tidak punya rencana perjalanan antarnegara.

Uniknya, ketika perdamaian terjadi kembali di Eropa setelah 1918, Inggris mulai bermain persahabatan dengan sekutu masa perangnya, Prancis dan Belgia, kemudian Swedia, Luksemburg, Spanyol. Bahkan mereka bertanding denan musuh masa perangnya, yakni Austria dan Jerman.

Austria terbukti lawan yang sulit. Inggris kalah tipis 3-2 pada tahun 1932. Sebelumnya, selama Republik Weimar (negara sebelum Jerman), pertandingan melawan timnas Inggris melawan Jerman yang berlangsung di Berlin pada 10 Mei 1930, berakhir imbang 3-3.

 
Keterangan foto: Timnas Inggris memberikan salam Nazi pada pertandingan melawan Jerman di tahun 1938 - (Google.com)

 

Sementara dalam kunjungan pertandingan timnas Jerman ke London pada bulan Desember 1935, setelah pengambilalihan Nazi, Inggris berhasil menang 3-0. Tapi pertandina ni menimbulkan sedikit kontroversi dan hanya menjadi skor lain untuk dimasukkan ke dalam buku rekor.

Pada Mei 1938, iklim politik dunia telah berubah. Agresivitas Nazi Jerman menjadi semakin nyata. Hanya dalam beberapa minggu saja  Hitler telah mencaplok Austria di Anschluss.

Celakanya, sebagian besar pesepakbola Inggris apolitis. Mereka nyaris tidak menyadari hilangnya musuh olahraga paling kuat mereka. Tetapi ketika mereka bertandang bermain di Berlin, mereka baru sadar bahwa pertandingan kali ini bukan pertandingan biasa.

Mengingat apa yang terjadi, yakni enam tahun setelah peristiwa itu, kapten Inggris, Eddie Hapgood, baru sadar dengan menyarankan bahwa tim Olimpiade Inggris telah membuat pelanggaran terhadap tuan rumah Jerman mereka pada tahun 1936 ketika mereka tidak memberi hormat Nazi maupun gerakan Olimpiade (lengan kanan terlempar ke samping daripada ke atas dengan cara Nazi). Saat itu  dia diam saja karena pihak berwenang pun yang ada di timnya ingin menghindari lebih banyak kontroversi.

Otoritas mana yang dimaksud Hapgood tidak pernah sepenuhnya ditetapkan. Namun, secara umum dimengertti bahwa Duta Besar Inggris di Berlin, Sir Nevile Henderson, saat itu adalah seorang pendukung setia peredaan ketegangan. Dia diyakni pasti diajak berkonsultasi, tetapi apakah dia memerintahkan penghormatan itu sampai kini masih diperdebatkan.

Menurut Hapgood, dua pejabat Inggris yang bertanggung jawab, Charles Wreford-Smith dan Sekretaris FA baru Stanley Rous. Mereka mengunjungi Henderson secara sukarela karena mereka tidak yakin dengan protokolnya. Hapgood menyarankan Rous yang mengusulkan agar tim memberi hormat. Langkah juga didukung Henderson.

Pejabat FA (Asosiasi sepakbola Inggris) kemudian memberi tahu Hapgood yang akan menolak melakukan apa pun selain membela lagu kebangsaan Jerman. Namun, dia tidak punya banyak pilihan dan dia kemudian memberi tahu tim. Sikapnya ini menyebabkan 'banyak gumaman di jajaran timnya', seperti yang dia jelaskan dalam bukunya Football Ambassador.

Wreford Brown kemudian memberi tahu tim bahwa: "Ada arus bawah yang kami tidak tahu apa-apa serta itu hampir di luar kendalinya. Dan sebenarnya itu menjadi urusan politisi daripada para olahragawan."

Dua peserta lain telah memberikan pandangan mereka. Rous, dalam otobiografinya, Football Worlds (Faber, 1978), mengklaim bahwa dia memang pergi menemui Henderson, yang mengatakan kepadanya bahwa penghormatan itu memiliki sedikit makna politik tetapi tidak memberi perintah untuk memberikannya. Dia bahkan melihatnya hanya sebagai sekedar rasa hormat belaka.

Rous mengklaim dia menempatkan pandangan itu kepada para pemain  dengan menyerahkan pilihan kepada mereka. Dia hanya menjelaskan bahwa apa pun keputusan mereka dapat memengaruhi atmosfer di stadion.

Dia menulis bahwa semua pemain setuju memberi penghormatan ala Nazi. Bahkan mereka merasa tidak keberatan, dan tidak diragukan lagi melihatnya sebagai sedikit kesenangan'. Tapi peristiwa ini bukan seperti  pengalaman pemain sayap bintang Inggris Stanley Matthews mengingatnya.

Dalam The Way It Was (Headline, 2001), Matthews melaporkan bahwa, ketika seorang ofisial FA masuk ke ruang ganti untuk memberi tahu tim agar memberi hormat, maka suasana ruang ganti seperti hendak meledak. "Semua pemain Inggris marah dan benar-benar menentang ini, termasuk saya sendiri,'' ujarnya.

Eddie Hapgood juga mengatakan kepadanya apa yang bisa dia lakukan dengan memberikan 'salam Nazi'. Bahkan dia mengatakan itu  layaknya sebuah peristiwa suram seperti sebuah tempat yang tidak terkena sinar matahari. Ofisial, menurut Matthews, pergi dan kembali mengatakan dia mendapat 'perintah langsung dari Sir Nevile Henderson  bahwa 'salut kepada Nazi'  telah disahkan oleh Sekretaris FA, Stanley Rous.

Dan saat itu situasi politik antara Inggris dan Jerman memang sangat sensitif sehingga laksana hanya perlu dengan satu percikan api saja untuk 'menyalakan' Eropa.

Akhirnya, menghadapi ultimatum virtual ini, tim Inggris kemudian sepakat memberikan salut ala Nazi. Dan ini kemudian berjalan lancar dengan tidak adanya perselisihan tentang apa yang terjadi ketika tim Inggris turun ke lapangan.

 

 

Tapi bagi timnas Inggris, sebenanrya kala itu mereka baru tiba dua hari sebelumnya setelah melakukan perjalanan panjang dengan kapal dan kereta api ke Berlin. Sebaliknya Jerman telah menghabiskan dua minggu pelatihan di 'Hutan Hitam' dan rezim Hitler mengharapkan kemenangannya itu sebagai propaganda.

Hitler sendiri kemudian tidak hadir di pertandingan tersebut. Tetapi petinggu Nazi lain seperti Hess, Ribbentrop dan Goering duduk di samping Henderson di arena sekitar tempat biasanya duduk sang Führer saat tim turun ke lapangan. Tim Inggris memiliki dua pemain profesional yakni Hapgood dan Cliff Bastin dari Arsenal.

Namun sisanya Inggris tidak memiliki pemain berpengalaman. Bahkan, sembilan pemain sisanya, yakni Frank Broome dari Aston Villa dan Donald Welsh dari Charlton, ia malah baru memainkan pertandingan internasional pertama mereka. Jadi pertandingan itu  akan menjadi arena pembaptisan bagi mereka.

Inggris kemudian menang 6-3. Kala itu dianggap merupakan kemenangan moral atas manuver politik yang awalnya bertujuan untuk meredakan kontroversi atas kejadian penghormatan ala Nazi kepada Hitler oleh tim Inggris.

 
 
Keterangan foto: Hitler di tengah lautan masa pada sebuah stadion sepakbola di Berlin. - (Google.com)

 

Namun, ketika perang akhirnya menjadi kenyataan pada 14 bulan kemudian, pertandingan itu dilihat dari perspektif lain. Matthews menceritakan bahwa sehari sebelum pertandingan, dia dan full-back Bert Sproston pergi berjalan-jalan dan melihat iring-iringan Hitler lewat di Berlin. Orang-orang yang berada di tepi jalan memberi hormat kepada Führer.

Melihat itu, Sproston menoleh ke Matthews dan berkata: "Stan, saya hanya seorang pekerja dari Leeds. Aku tahu sekarang tentang politik dan sejenisnya. Yang saya tahu hanyalah sepak bola. Tapi bagaimana saya melihatnya 'yon  Itler feller'(ledekan kepada Hitler,red) adalah bajingan kecil yang jahat."

Sproston dengan kasar mengungkan perasaannya dengan cerdik tentang apa yang dikemudian hari kelak akan menjadi vonis sejarah.

Akhirnya kata siapa pertandingan bola tak ada andil sejarah politik di sana? Ternyata dibalik keriuhan 22 orang berebut dan menendang bola ada peristiwa dan ide besar dibelakangnya. Bahkan ada semangat keunggulan laksana seorang tiran.

Jadi melihat final Euro 2020 tak sesederhana melihat angka skor pertandingan. Di sana ada sejarah besar perjalanan umat manusia! 

 

 
Berita Terpopuler