PPKM Darurat dan Pembatasan Masjid dalam Tinjauan Fikih

PPKM Darurat berangkat dari argumentasi syariat yang kuat

FAUZAN/ANTARA
Kendaraan melintas di dekat papan informasi penutupan jalan yang terpasang di kawasan Masjid Istiqlal, Jakarta, Jumat (22/1/2021). Penutupan Jalan Katedral mulai diterapkan dari tanggal 20 Januari hinggal 31 Maret 2021 akibat adanya pembangunan Terowongan Silaturahmi yang menghubungkan Masjid Istiqlal dengan Gereja Katedral.
Red: Nashih Nashrullah

Oleh : KH Dr Aguk Irawan, Khadim Pondok Pesantren Baitul Kilmah, Bantul Yogyakarta

REPUBLIKA.CO.ID, — Umat Islam sangat beruntung mendapat warisan dari Rasulullah SAW berupa Alquran dan hadits. Dua pedoman ini adalah sumber utama hukum Islam. Permasalahannya, pemahaman terhadap sumber hukum ini, yang disebut fikih, selalu diwarnai keragaman pendapat.  

Baca Juga

Ketika pemerintah membuat kebijakan Penerapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat, nomor 15 tahun 2021, kontroversi pun muncul. Begitu Kementerian Agama (Kemenag) memutuskan meniadakan pelaksanaan sholat Idul Adha di masjid maupun lapangan terbuka, karena dikhawatirkan menyebabkan kerumunan, pro kontra juga lahir. 

Kemenag mengeluarkan Surat Edaran Menteri Agama Nomor 13 tahun 2021 tentang Pembatasan Pelaksanaan Kegiatan Keagamaan di Rumah Ibadah. Disebutkan bahwa kegiatan keagamaan di daerah zona merah ditiadakan sementarasampai dinyatakan aman dari Covid-19 berdasarkan penetapan Pemerintah daerah setempat.  

Selain itu, kegiatan sosial keagamaan dan kemasyarakatan, seperti pengajian umum, pertemuan, pesta pernikahan, dan sejenisnya di ruang serba guna di lingkungan rumah ibadat dihentikan sementara di daerah zona merah dan oranye sampai dengan kondisi memungkinkan. Padahal, semua peraturan ini adalah produk hukum fikih Islam berbasis saintifik-medis.  

Sebagai produk fikih Islam, Surat Edaran 13/2021 Kemenag ini didasarkan pada kaidah ushul fiqh: la dharara wa la dhirara (لا ضرر ولا ضرار). Kaidah ini berasal dari sabda Rasulullah SAW. Artinya, produk hukum yang dibuat fuqaha tidak boleh menimbulkan kemudharatan bagi umat, dan manusia sendiri juga tidak boleh bertindak yang menyebabkan mudharat bagi dirinya sendiri.

Menjalankan Surat Edaran 13/2021 Kemenag ini sebagai produk fikih adalah wajib. Karena bertujuan mencegah persebaran pandemi. Muhammad Yahya al-Wilati mengatakan:

أن العمل بالخبر الواحد جاء وجوبا إجماعا في الأمور الدنيوية كاتخاذ الأدوية لمعالجة المرضى... ونحوها كارتكاب سفر في طريق الى بلدة

"Mengamalkan informasi tunggal adalah wajib secara ijma' bila menyangkut urusan duniawi, seperti menggunakan obat untuk mengobati orang sakit... atau sejenisnya seperti bepergian di jalan menuju satu negara tertentu." (Muhammad Yahya al-Wilati, Fathul Wadud 'ala Maraqis Su'ud, Kairo: Maktabah Ibni Taimiyah, 1992: 130).   

 

Keputusan Kemenag bukan lagi informasi tunggal. Pemerintah juga menerapkan PPKM. Lebih-lebih lembaga kesehatan dunia (WHO) melarang kerumunan.

Selain itu, Surat Edaran 13/2021 Kemenag juga berlandaskan pada kaidah fikih yang berbunyi: al-masyaqqah tajlibut taysir (المشقة تجلب التيسير). Jika ada sebuah situasi dan kondisi yang menimbulkan kemudharatan maka produk hukum diarahkan membawa kemudahan. Dengan kata lain, produk hukum fikih harus memberikan kemudahan selama ada masyaqqat yang mendahuluinya. 

PPKM Darurat dan Surat Edaran 13/2021 Kemenag, dalam konteks ilmu fikih, adalah produk hukum yang berorientasi menaati kaidah Ushululfiqh maupun kaidah fikih, yang salah satunya sejalan dengan pandangan World Health Organization (WHO) bahwa salah satu cara mencegah persebaran pandemi Covid-19 adalah menghindari kerumunan. 

PPKM Darurat dan Surat Edaran Kemenag juga bisa dinilai segi "politik". Terkait kebijakan politik pemerintah, kaidah fikih memberikan ruang kajian khusus. Salah satunya kaidah yang berbunyi: tasharruful imam 'alar ra'yah manuthun bil mashlahati (تصرف الامام علي الرعية منوط بالمصلحة). Artinya, kebijakan politik pemerintah terhadap rakyatnya dilandaskan pada pertimbangan kemaslahatan rakyat. 

Sayangnya, di alam demokrasi kontemporer, kebebasan berpendapat tidak bisa dibendung. Misalnya, ketika pemerintah menyerukan kebijakan PPKM Darurat dan peniadaan pelaksanaan Sholat Idul Adha1442 H di masjid maupun lapangan terbuka, ada ulama-ulama muslim yang kontra. Salah satu dalil mereka adalah kutipan sabda Rasulullah SAW yang berbunyi:  

إِنَّ اللهَ تَعَالَى إِذَا أَنْزَلَ عَاهَةً مِنَ السَّمَاءِ عَلَى أَهْلِ الأرْضِ صُرِفَتْ عَنْ عُمَّارِ الْمَسَاجِدِ. 

"Sesungguhnya apabila Allah ta'ala menurunkan penyakit dari langit kepada penduduk bumi maka Allah menjauhkan penyakit itu dari orang-orang yang meramaikan (memakmurkan) masjid." Hadits ini derajatnya adalah munkar, termasuk jenis hadits dhaif.  

Terlepas dari dalil-dalil yang dipakai para ulama yang kontra pemerintah berupa hadits dhaif/munkar, pandangan para ulama ini juga tidak mengatasi masalah, yang sejatinya jauh lebih penting ketimbang boleh atau tidaknya pergi ke masjid untuk sholat Idul Adha. Hal penting tersebut adalah hipotesa (zhann) yang dibangun WHO bahwa pandemi Covid-19 adalah berbahaya, yang mudah menyebar berkat kerumunan massa. 

WHO membangun hipotesis ini berdasarkan parameter sains medis, yang kemudian menjadi pertimbangan pemerintah Indonesia dalam melihat aspek mudharat sebelum mengeluarkan kebijakan PPKM Darurat maupun peniadaan sholat Idul Adha tahun ini.

 

Berlandaskan pada kaidah medis, maka kebijakan pemerintah menjadi produk hukum fikih saintifik-medis yang sah. Hal ini berdasarkan pada kaidah fikih yang menjadi landasannya adalah: ar-ridha bis syai ridha bi ma yatawalladu minhu (الرضا بالشيء رضا بما يتولد منه). Mengamini satu perkara berarti mengamini apa yang menjadi turunannya.

Para ulama yang kontra pemerintah tidak cukup mendasarkan pertimbangan fikih mereka hanya pada literasi teks keagamaan. Sebab, pemerintah juga mendasarkannya pada teks suci yang sama. Misalnya:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ أَنَّ عُمَرَ خَرَجَ إِلَى الشَّامِ فَلَمَّا جَاءَ سَرْغَ بَلَغَهُ أَنَّ الْوَبَاءَ قَدْ وَقَعَ بِالشَّامِ فَأَخْبَرَهُ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا سَمِعْتُمْ بِهِ بِأَرْضٍ فَلَا تَقْدَمُوا عَلَيْهِ وَإِذَا وَقَعَ بِأَرْضٍ وَأَنْتُمْ بِهَا فَلَا تَخْرُجُوا فِرَارًا مِنْهُ فَرَجَعَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ مِنْ سَرْغَ 

“Dari Abdullah bin Amir bin Rabi‘ah, Umar bin Khattab RA menempuh perjalanan menuju Syam. Ketika sampai di Sargh, Umar mendapat kabar bahwa wabah sedang menimpa wilayah Syam. Abdurrahman bin Auf mengatakan kepada Umar bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, ‘Bila kamu mendengar wabah di suatu daerah, maka kalian jangan memasukinya. Tetapi jika wabah terjadi wabah di daerah kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu.’ Lalu Umar bin Khattab berbalik arah meninggalkan Sargh.” (HR Bukhari dan Muslim). 

Para ulama yang kontra pemerintah dengan mengajak berkerumun di masjid maupun lapangan terbuka untuk mengerjakan sholat sunnah Idul Adha, cenderung pada pertimbangan teologis semata, yang kebenarannya adalah ranah keimanan. Ranah keimanan adalah ranah berbeda dari ranah medis.  

Jika teologi dan medis ini dipisahkan maka akan ada split atau keterbelahan. Dunia medis akan memandang rendah keyakinan teologi sebagai irrasional. Sebaliknya, teologi yang sempit akan merendahkan pengetahuan Sains medis. Jika dipaksakan begitu maka akan lahir dimensi ketiga, yakni keraguan massif publik. 

Menciptakan keraguan di ruang publik bukan tindakan yang dibenarkan oleh fikih. Sebab, keraguan publik dapat disarangkan pada kebijakan pemerintah sekaligus pada ajaran teologi sebagian kecil fuqaha.  

 

Untuk itu, sebagai penutup tulisan, penulis ingin menyampaikan bahwa kedudukan pandemi Covid-19 dalam tinjauan ilmu fikih ini sebagai pra kondisi bagi hukum. Selain itu, wewenang sains medis jauh lebih otoritatif dibanding disiplin ilmu lain, semisal teologi. Karenanya, ilmu fikih harus didahulukan berpijak pada pertimbangan sains dari pada teologi. Wallahu a'lam bishawab. 

 
Berita Terpopuler