BEM UI dan Bangsa yang Tertinggal

Presiden menilai kritik hal biasa, tetapi jangan melupakan sopan santun.

Dok BEM UI
Salah satu meme buatan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) kepada Presiden Jokowi.
Red: Karta Raharja Ucu

Oleh : Abdullah Sammy, Wartawan Republika

REPUBLIKA.CO.ID, Unggahan Jokowi 'King of Lip Service' yang diunggah BEM UI menimbulkan keriuhan. Keriuhan makin menjadi setelah Rektorat UI memanggil BEM atas posting-an tersebut. Diskursus langsung bermunculan, baik di internal civitas akademika maupun di ruang publik. Presiden Jokowi pun tak ketinggalan bersuara. Presiden menilai kritik hal yang biasa saja. Tapi, Presiden juga menggarisbawahi pentingnya tata krama dan sopan santun.

Saya ingin memandang keriuhan ini dari kacamata berbeda. Pandangan yang coba mengembalikan segala isu ke rel akademis.

Terbukti, posting-an BEM soal Jokowi lebih menjadi atensi serius dibandingkan isu jebloknya UI pada peringkat Times Higher Education (THE) tahun 2021. Faktanya pada awal bulan ini THE merilis daftar peringkat Kampus terbaik di Asia. Dari daftar peringkat itu, UI masih kalah jauh dibanding kampus lain di Asia Tenggara.

Sebagai gambaran, deretan kampus-kampus di Malaysia menempati peringkat yang jauh lebih baik dibanding Indonesia. University of Malaya, Malaysia, menempati peringkat 49, UTP (peringkat 111), Universiti Tunku Abdul Rahman (119), UPM (136), UKM (150), UTM (150), Universiti Utara Malysia (155), dan Universiti Sains Malaysia (163).

Perbandingan peringkat kampus Singapura dibanding UI malah bagai langit dan bumi. Singapura menempatkan dua kampusnya, NUS dan Nanyang, di peringkat lima besar Asia. Peringkat kampus Indonesia juga masih kalah dengan Filipina (University of The Philippines peringkat 8), Thailand (Mahidol University peringkat 130 dan Mae Fah Luang University peringkat 187), maupun Brunei Darussalam (Universiti Brunei Darussalam peringkat 60).

UI yang dibanggakan sebagai kampus terbaik di Indonesia hanya menduduki peringkat 194. Peringkat ini jeblok 32 peringkat dibanding tahun sebelumnya. Selain UI, ada ITB yang bertengger di peringkat antara 301-350, ITS (172), IPB (381), dan UGM (385). Intinya, peringkat kampus di Indonesia tertinggal jauh dibanding negara Asia Tenggara lain.

Saya mencoba mengamati secara sekilas terkait isu jebloknya peringkat akademis UI ini. Di Instagram BEM UI, saya belum menemukan adanya posting-an terkait isu peringkat akademis ini.

Baca Juga

Saya juga belum melihat adanya isu soal Jokowi yang dinilai tak sesuai antara janji dan perbuatan diulas secara ilmiah, entah itu lewat paper atau jurnal akademis. Jika memang BEM hanya menuangkan kritiknya lewat media sosial, mereka sejatinya lebih mempersiapkan diri sebagai the next Faldo Maldini, ketimbang the next Sri Mulyani.

Kritik yang sama berlaku untuk Rektorat UI. Jika dibandingkan reaksi rektorat merespons isu postingan BEM, rasanya isu soal jebloknya peringkat tak direspons secara begitu reaktifnya. Tak ada surat pemanggilan yang begitu cepat kepada organ mahasiswa untuk membahas jebloknya peringkat akademis.  

Saya pun jadi bertanya-tanya, apakah perspektif UI, baik rektorat maupun mahasiswa, sudah sangat begitu politisnya? Pertanyaan ini jadi semakin relevan mengingat di level dosen, UI pun ada oknum yang ternyata lebih produktif menjadi buzzer politik ketimbang pengajar.

Unggahan di media sosialnya terkait politik praktis lebih produktif ketimbang tulisan akademisnya. Soal kualitas akademis dan kualitas sebagai buzzer pun jadi sangat timpang.

Saya juga mau mengambil contoh rendahnya bobot akademis itu saat heboh soal gambar poster pendaftaran masuk UI. Heboh yang muncul sebulan lalu itu dipicu gambar poster resmi dari UI yang dinilai buruk secara desain visual. Namun, pihak Humas UI mengatakan bahwa poster tersebut sudah melalui kajian akademis yang panjang.

Statement ini jadi menarik untuk dikuliti karena disampaikan oleh institusi pendidikan. Kita pun menunggu agar pihak UI membuktikan transparansi soal kajian akademisnya tentang poster itu secara terbuka. Ini sebagai bahan untuk mencerdaskan publik.

Jika basis data kajian akademis itu tak dibuktikan, publik bisa saja menduga bahwa poster heboh UI itu hanya gimmick receh yang minim substansi dan hanya untuk mencuri atensi. Padahal, sebagai institusi pendidikan terkemuka, atensi hanya bisa diperoleh lewat kualitas akademik yang paripurna.

Perbandingan soal respons isu 'Jokowi King of Lip Service' versus isu jebloknya peringkat UI sejatinya menjadi salah satu cermin problematika bangsa secara umum. Bangsa ini terbukti masih terjebak pada isu yang sangat sempit. Sedangkan, isu yang lebih strategis dan substantif masih sangat dangkal untuk dibahas.

Tak heran, bangsa ini semakin ditinggalkan bangsa lain yang terus melaju. Kita masih jago berkelahi antarsesama anak bangsa, tapi memble saat bersatu melawan bangsa lain. Jadi, tak heran saat bangsa lain sudah berlomba untuk mendarat di Mars, kita malah memakai mesin waktu kembali bertikai membenturkan Pancasila dengan agama.

Tak heran, Bung Karno pernah berucap, "Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, perjuanganmu lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri."

Menyedihkan.....

 
Berita Terpopuler