Jakarta Contohlah Lebanon Kembangkan Budaya Bersepeda?

Budaya bersepeda mulai berkembang di Lebanon saat bahan bakar mulai menipis

Al Jazeera.com
Warga Beirut kembangkaq budaya berseda. Warga antusias kembangkaq kebiadaan
Rep: AL Jazeera Red: Muhammad Subarkah

IHRAM.CO.ID, BEIRUT -- Berbeda dengan Jakarta yang kini ada pihak yang getol akan menghilangkan jalur sepeda, di Beirut dan kota-kota di Lebanon lainnya, masyarakatnya malah antusias kembangkan budaya bersepeda. 

Apalagi, semua tahu suasana lalu lintas di Lebanon yang disebut sebagai 'Parisnya Timur Tengah' memang kacau dan macet. Dan kini makin ruwet karena terjadinya krisis bahan bakar. Maka di sana muncul pemandangan menyedihkan. Tiba-tiba muncul muka kuyu yang kurang tidur karena harus begadangan antri mengisi bahan bakar di area pengisian bahan bakar. Antrean mobil yang akan mengisi bahan bakar menjadi pemandangan yang lazim.

Akibatnya, muncul pemandangan ironis. Karena banyak warga yang kepayakan antri bahan bahan bakar, maka kecelakaan lalu lintas pun bermunculan. Dan ini membuat pemandangan kota semakin membingungkan dan merasa semakin ruwet saja.

Keterangan foto: Seorang pria tertidur di mobilnya saat dia menunggu antrian panjang untuk mengisi bahan bakar di sebuah pompa bensin di Beirut pada 14 Juni [Mohamed Azakir/Reuters]

 

Adanya situasi harian yang penuh perjuangan tersebut telah mendorong banyak orang ke jurang keputusasaan. Ini pun banyak membuat orang  berusaha mencari solusi alternatif untuk menyelamatkan perjalanan sehari-hari mereka di dalam menjalankan aktivitasnya. Saat itulah mengendarai sepeda mulai jadi alternatif.

“Kini saya menerima setidaknya tiga panggilan sehari dari teman dan kenalan yang menanyakan apakah saya tahu tempat yang menjual sepeda murah,” kata Natheer Halawani, seorang pengusaha sepeda 'Bicycle Mayor of Tripoli.'

Dia mengatakan terjadinya krisis bahan bakar baru-baru ini telah menambah orang yang mencari cara yang lebih murah dan tidak terlalu menguras tenaga untuk mengitari kota dalam melewati perjalanan sehari-hari. Bahkan mereka yang selama ini tidak pernah mempertimbangkan transportasi sepeda di Lebanon, sekarang yakin akan manfaatnya.

“Budaya bersepeda berkembang pesat di Lebanon,” kata Mohamad Hawi dari ibu kota Lebanon, Beirut. "Saya pribadi, yang dianggap sebagai pria malas, akan menlakukannya,'' ujar Melissa Khattar, yang mengawasi rekonstruksi rumah-rumah di Beirut. Dia berpendapat bahwa sepeda elektronik ideal untuk menjelajahi kota.

“Saya sering harus pergi dari satu tempat ke tempat lain, mengawasi tempat atau kadang-kadang bahkan membeli barang tertentu yang dibutuhkan untuk konstruksi,” kata Khattar.

Saat tinggal di luar Beirut, Khattar mengendarai mobilnya ke kota lalu beralih ke sepeda elektronik 'Wave' untuk hari itu, lalu pulang ke rumah dengan mobilnya. Karena, e-bike tidak membutuhkan banyak tenaga, dia bisa bersepeda kemana-mana, menghindari lalu lintas, namun tetap terlihat rapi.

Sementara Halawani ditunjuk sebagai perwakilan perusahan merek Sepeda Tripoli oleh perusahaan sosial BYCS yang berbasis di Amsterdam, yakin bahwa sepeda akan mengubah kota. Halawani masih ingat alasan membeli sepeda sekitar 20 tahun lalu. “Saat itu, sebagai mahasiswa muda, saya tidak mampu untuk memakai taksi untuk bepergian setiap hari, jadi saya berinvestasi dalam sepeda yang sangat murah. Warnanya merah cerah dan ada tulisan 'Coca Cola' di mana-mana.”

Alih-alih Halawani yang pada awalnya merasa minder, yang seolah-olah menggunakan sepeda yang membuatnya terlihat “miskin”. Namun, ketika sudah melakoni budaya bersepeda, malah ia merasa kemudian betapa cepat cepat jatuh cinta kepada sepeda. “Saya menyadari betapa pentingnya bersepeda yang sangat bermanfaat bagi tubuh, harga diri, dan kesehatan mental saya."

Keterangan foto: Budaya bersepeda di Lebanon menyebar di tengah bencana ekonomi dan kelangkaan BBM. [Courtesy: Natheer Halawani]

 

E-sepeda membuat gelombang 

Sebagai orang Belanda, pengusaha Jan Willem de Coo sudah menyadari manfaat bersepeda. Lagi pula, di Belanda, bepergian dengan cara ini adalah norma dan sama sekali bukan pengecualian atau dihindari. Bahkan perdana menteri diketahui mengendarai sepedanya bila ke parlemen.

Tinggal di Beirut, de Coo menjadi sangat frustrasi dengan perjalanan 90 menit hariannya yang “sama sekali tidak perlu” karena macet. Keadaan ini memaksa ia beralih ke sepeda.

"Saya berpikir. Saya tidak bisa menjadi satu-satunya yang ingin menghabiskan waktu itu untuk melakukan sesuatu yang menyenangkan, yakni dengan memakai sepeda,'' kata de Coo sambil tertawa.

Sadar sepenuhnya akan fakta bahwa bersepeda bukanlah bagian dari budaya Lebanon, de Coo dan tim Belanda-Lebanonnya melakukan penelitian ekstensif, menggabungkan umpan balik pelanggan dengan keahlian teknik. Ini dia lakukan sebelum mendirikan 'Wave', layanan berbasis langganan untuk menyewa sepeda listrik.

Dengan model ini, Wave sengaja memilih untuk menyimpang dari penyedia mobilitas berkelanjutan Lebanon lainnya – seperti Loop, perusahaan rental skuter listrik – yang fokus pada one-off rides.

“Tujuan Wave lebih dari sekadar menghasilkan keuntungan,” kata de Coo. “Kami ingin menciptakan perubahan budaya.” Maka, Wave kemudian diluncurkan pada bulan Maret dengan modal di awal sebanyak 75 buah e-bike.

Hasilnya sungguh kesan. Permintaan membludak dan pelanggan merasa puas. Malahan sekarang menghadapi daftar tunggu yang terus bertambah. Dan kini perusahaannya antusias  sudah menawarkan 200 e-sepeda masa depan.

Pada kesempatan yang sama, ketika ada pihak yang sementara masih skeptis dengan bercanda bahwa e-bike harus menjadi aksesori ekspatriat terbaru, de Coo ternyata dengan cepat menghilangkan mitos itu.

“Delapan puluh persen pelanggan kami adalah penduduk lokal, mulai dari pelajar hingga profesional berusia 60-an,” katanya.

Salah satu alasan mengapa penduduk setempat tertarik pada e-bike adalah bahwa Wave telah berhasil menjaga harga berlangganan tetap rendah, meskipun banyak kesengsaraan ekonomi Lebanon. Didorong oleh keberhasilan awal, Wave sudah mencari untuk memperluas ke negara-negara lain di kawasan ini, dimulai dengan Yordania dan Yunani dan bertujuan untuk Turki dan Mesir.

Keterangan foto: Kesadaran bersepeda tumbuh di Lebanon seputar mobilitas berkelanjutan [Courtesy: Natheer Halawani]

Wave pun kini telah berkolaborasi dengan perusahan mitra barunya, 'The Chain Effect'. Mereka pun sudah membuat video petunjuk untuk  menunjukkan kepada orang-orang tidak hanya cara berkendara dengan nyaman, tetapi juga cara menavigasi lalu lintas mimpi buruk Beirut dengan aman.

Apalagi, The Chain Effect adalah organisasi yang berfokus pada penciptaan kesadaran seputar mobilitas berkelanjutan dan memberikan solusi untuk memfasilitasi bersepeda.

Setelah itu, maka kampanye kesadaran bersepeda mulai muncul di mural grafiti kota. Aneka gambar warna-warni bermunculan mempromosikan kegembiraan bersepeda. Ini pun  mendapat perhatian yang signifikan semenjak dirintis antara tahun 2014-2016. Kala itu mulai ada kampanye 'Bike to Work' dengan tujuan untuk mendorong orang bersepeda ketika ke tempat bekerja. Budaya sepeda ini di Lebanon pun akhirnya mampu tumbuh secara signifikan.

“Kami menghadapi banyak sinisme, orang-orang mengatakan bahwa orang Arab tidak bersepeda atau itu tidak ada dalam budaya mereka,” katanya. “Tetapi jika kita dapat menempatkan orang Lebanon di atas sepeda, maka segalanya mungkin terjadi.”

Tantangan ganda 

Kampanye bersepeda 'The Chain Effect' mampu memiliki dampak yang signifikan. Ini misalnya, melalui kampanye yang menyediakan sepeda yang terjangkau bagi mereka yang tidak mampu secara finansial untuk bepergian. Mereka adalah warga terdampak karena krisis ekonomi dan krisis virus corona yang terjadi pada saat yang bersamaan ini.

Alhasil atas inisiatif itu, kemudian banyak pihak yang ingin melihat perubahan kebijakan yang lebih konkrit terkait untuk bersepeda di Lebanon.

Sayangnya, proses realisasi kebijakan dalam bersepeda di Lebanon itu kemudian terhenti selama satu setengah tahun terakhir. Semua ini terjadi karena adanya krisis ekonomi dan pandemi COVID-19. Syukurnya, keterlibatan serius oleh pemerintah kota dalam membangkitkan budaya bersepeda, telah ada yang sempat terwujud sebelum itu.

“Sebelumnya, pemerintah kota hanya memiliki rekam jejak membelanjakan uang di tempat yang tidak diperlukan. Mereka memang banyak membuat proyek. Tapi itu  hanya untuk melanggengkan kroni dan hanya menjadi peluang menghasilkan uang bagi perusahaan kontraktor tertentu saja. Sekarang lumayan,” kata Zein Hawa sambil tertawa masam.

Sementara Hawa dan rekan-rekannya di The Chain Effect telah mempunyai motivasi oleh keinginan nyata untuk berubah. Mereka pun sadar adanya kurangnya dukungan nyata yang dapat menurunkan moral mereka.

Dr Riyad Yamak, walikota di kota kecil di luar ibu kota Lebanon, Tripoli, mengaku sebenarnya semenjak dahulu memiliki kenangan indah mengendarai sepeda bila ke universitas ketika dia belajar di Italia.

“Salah satu tujuan utama saya sebagai walikota adalah mengubah Tripoli menjadi surga pengendara sepeda,” kata Yamak. Dan setelah pertemuan konstruktif dengan perkumpulan sepeda dan pihak lain, rencana konkretnya itu kemudian dikembangkan.

Keterangan foto: Para pengamat perkotaan di Lebanon menyatakan keterlibatan serius pemerintah kota untuk mempromosikan bersepeda memang sangatlah dibutuhkan.

 
 

Antusiasme awal di kota kecil di Lebanon

Antusiasme awal Yamak mereda ketika dia merangkum banyak masalah yang dihadapi negara itu, terutama kotanya, Tripoli, sebagai salah satu wilayah yang disebut termiskin di Lebanon.

“Masalah utama yang kami hadapi adalah bahwa pemerintah seharusnya berinvestasi pada kami, daripada mengabaikan kami. Ini penting, terutama ketika situasi negara belum memburuk,” kata Yamak. 

“Kami sekarang menghadapi lebih dari 50 persen pengangguran dan epidemi narkoba yang sedang berkembang,” tambahnya.

Keterangan foto: Jalur sepeda di kota legendaris Tripoli, Lebanon. 

Yamak mengatakan sebagai wali kota Tripoli, tangannya memang terikat sekarang. Namun, begitu situasi di negara itu memungkinkan dia berencana untuk menghormati janji yang dia buat yakni dengan membangun jalur sepeda di sekitar Tripoli. 

“Rencananya memang akan selalu ada. Tetapi kami membutuhkan ketenangan. Dan saya khawatir sebelum kita mencapai tahap itu, kita menghadapi situasi masalah yang eksplosif,'' ujarnya.

Terlepas dari banyak rintangan yang mereka hadapi dalam dua tahun terakhir, de Coo dan timnya memiliki harapan besar untuk budaya bersepeda yang berkembang di Lebanon dan wilayah lainnya.

 

 
Berita Terpopuler