Alasan Muhammadiyah Larang Pernikahan Siri dan Usia Dini

Muhammadiyah menilah pernikahan siri hanya merugikan wanita

Pixabay
Muhammadiyah menilah pernikahan siri hanya merugikan wanita. Ilustrasi Pernikahan Dini
Rep: Zahrotul Oktaviani Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pernikahan anak usia dini di Indonesia disebut-sebut mengalami peningkatan. Berdasarkan survei yang dilakukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dari 20 anak rata-rata tiga sampai empat di antaranya telah menikah.

Baca Juga

Menanggapi hal ini, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu'ti, menyebut pernikahan yang dilakukan anak usia dini bisa disebabkan beberapa faktor. Di  antaranya faktor budaya, dimana sebagian masyarakat menilai laki-laki maupun perempuan yang terlambat menikah adalah perjaka atau perawan tua.

"Ini merupakan beban sosial yang berat. Karena itu, orang tua cenderung menikahkan anaknya pada usia muda," kata dia dalam pesan yang diterima Republika.co.id, Ahad (27/6) malam.

Faktor berikutnya adalah masalah ekonomi. Seorang anak yang belum menikah oleh beberapa keluarga dianggap sebagai beban ekonomi bagi orang tua, serta pernikahan dinilai sebagai jalan bagi orang tua agar merasa terbebas dari tanggung jawab. 

Faktor lainnya adalah agama yang dilatar belakangi oleh pemahaman yang sempit, khususnya tentang konsep baligh. Selama ini, kondisi baligh dikaitkan dengan fungsi reproduksi seperti mimpi basah bagi laki-laki dan menstruasi bagi perempuan.

"Laki-laki dan perempuan boleh menikah apabila telah baligh. Sebagian juga mengaitkan pernikahan Nabi Muhammad dengan Aisyah RA yang pada waktu menikah baru berusia sembilan tahun," lanjutnya.

Di sisi lain, banyak orang tua yang menikahkan anak mereka di usia muda karena khawatir anaknya berbuat zina. Sebagian masyarakat lantas menjalankan pernikahan siri, mengingat Undang-Undang Perkawinan Nomor 16 Tahun 2019 melarang pernikahan di bawah 19 tahun.

Abdul Mu'ti menyebut sebagian masyarakat Indonesia menyebut nikah siri sebagai nikah agama, sementara pernikahan yang didaftarkan di Kantor Urusan Agama (KUA) sebagai nikah negara. Pemahaman dikotomis seperti ini disebut sering menimbulkan masalah hukum. 

Faktor terakhir adanya pernikahan usia dini adalah faktor moralitas. Orang tua merasa malu jika anak atau ada anggota keluarga lainnya yang hamil sebelum menikah.

"Karena alasan tersebut, mereka mengajukan dispensasi atau izin pernikahan ke KUA. Karena hampir semua pengajuan dipenuhi oleh KUA, maka kehamilan sering menjadi 'modus' untuk menikah di usia muda," kata dia.

Dia mengingatkan masalah yang kerap timbul akibat pernikahan di bawah umur ini. Salah satunya ketidakharmonisan keluarga yang berujung pada perceraian.

Selain faktor ekonomi, perceraian banyak muncul...

 

Selain faktor ekonomi, perceraian banyak muncul mengingat belum ada kematangan secara kejiwaan yang dimiliki kedua belah pihak.

Permasalahan kedua yang timbul akibat pernikahan ini adalah masalah kesehatan, khususnya kesehatan anak yang nanti dilahirkan. Belum matangnya jiwa orang tua juga bisa mengakibatkan masalah dalam pengasuhan anak.

"Secara fisik, laki-laki dan perempuan yang berusia di bawah 20 tahun masih dalam masa pertumbuhan. Kehamilan di usia tersebut berpotensi menimbulkan masalah stunting karena kekurangan asupan gizi pada saat kehamilan," katanya.

Masalah pendidikan menjadi hal yang juga perlu dipahami. Pernikahan yang dilakukan di usia muda cenderung mendorong mereka keluar dari sekolah dan kesulitan mendapat pekerjaan yang baik karena hal ini.

Bagi keluarga tertentu, dia menyebut masalah tersebut bisa diatasi apabila orang tua berasal dari keluarga berada. Namun kebanyakan di lapangan, banyak pasangan yang menikah dini justru berasal dari keluarga tidak mampu.

Terkait penanganan pernikahan dini yang terjadi, Abdul Mu'ti menyebut bisa dilakukan dengan memberikan sosialisasi dan pendidikan yang baik. Kasus kehamilan sebelum pernikahan terjadi antara lain karena masalah pendidikan dalam keluarga dan masyarakat.

"Perhatian orang tua terhadap pergaulan anak cenderung terlalu longgar atau bebas. Diperlukan pendidikan moral di dalam keluarga, sekolah dan masyarakat," lanjutnya.

angkah lain yang bisa dilakukan menurutnya adalah pemberlakuan UU Perkawinan dan sanksi hukum yang lebih tegas. Dispensasi atau izin yang dikeluarkan KUA untuk pernikahan diri dirasa perlu dievaluasi. 

Di sisi lain, yang tidak kalah penting adalah pembaharuan pemahaman agama yang lebih berkemajuan. Perlu diingatkan, tujuan pernikahan adalah kebahagiaan dan membangun keluarga sebagai basis membangun ketahanan dan kekuatan masyarakat.

"Tujuan pernikahan bukanlah semata-mata untuk sarana reproduksi. Perlu ada fatwa terkait pernikahan siri. Beberapa organisasi Islam, salah satunya Muhammadiyah, melarang pernikahan siri," ujar Sekum Muhammadiyah ini.

Walaupun tidak haram, pernikahan siri disebut dapat dihukumi makruh. Dia menyebut diperlukan sosialisasi hukum dan perundang-undangan untuk mengatasi pemahaman yang dikotomis antara hukum agama dengan hukum negara.

 

Pemerintah, khususnya Kementerian Agama, juga disebut tidak seharusnya membiarkan tradisi pernikahan siri apalagi tidak disertai dengan dokumen yang sah. 

 
Berita Terpopuler