Tunda Sekolah Tatap Muka!

Kondisi pandemi saat ini dinilai sangat tidak aman untuk pembelajaran tatap muka.

ANTARA/Galih Pradipta
Petugas menyemprotkan disinfektan di ruang kelas SD Kenari 08 Pagi, Jakarta, Jumat (18/6/2021). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memutuskan untuk menghentikan sementara proses uji coba sekolah tatap muka karena lonjakan kasus COVID-19 dalam sepekan terakhir pascalibur lebaran.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Inas Widyanuratikah, Gumanti Awaliyah, Santi Sopia

Baca Juga

Lonjakan kasus Covid-19 yang dibarengi dengan tingginya angka positivity rate yang mencapai 50 persen saat ini diminta menjadi pertimbangan pemerintah agar menunda pembukaan sekolah tahun ajaran baru 2021/2022 dengan sistem pembelajaran tatap muka (PTM). Kondisi saat ini dinilai sangat tidak aman.

"Kondisi ini sangat tidak aman untuk buka sekolah tatap muka," kata Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti, Selasa (22/6).

KPAI juga mendorong agar pemerintah pusat dan daerah segera menghentikan uji coba PTM yang saat ini dilakukan di sejumlah daerah. Khususnya bagi daerah yang rata-rata kasus positif hariannya di atas 5 persen.

Retno menambahkan, KPAI juga meminta agar kebijakan tatap muka di sekolah tidak diseragamkan. Misalnya untuk daerah dengan rata-rata kasus positif di bawah 5 persen, maka KPAI mendorong dilakukannya sekolah tatap muka. Menurut Retno, daerah-daerah yang sulit sinyal dan kasus Covid-19 rendah sebaiknya segera dilakukan PTM terbatas.

"Di wilayah-wilayah kepulauan kecil yang sulit sinyal justru kami sarankan dibuka dengan ketentuan yang sama sebagaimana disebutkan Presiden Jokowi, PTM hanya 2 jam, siswa yang hadir hanya 25 persen dan hanya 1-2 kali seminggu," kata Retno menambahkan.

KPAI mendorong pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sesuai Konvensi Hak Anak harus mengutamakan hak hidup nomor satu, hak sehat nomor dua dan hak pendidikan nomor tiga. Retno menegaskan, jika anak masih sehat dan hidup maka ketertinggalan materi pelajaran masih bisa dikejar.

"Kalau anaknya sudah dipintarin terus sakit dan meninggal, kan sia-sia. Apalagi angka anak Indonesia yg meninggal karena Covid-19, menurut data IDAI angkanya sudah tertinggi di dunia," ujar Retno.

Lebih lanjut, Retno mengatakan pihaknya meminta pemerintah pusat maupun pemerintah daerah menyediakan fasilitas ruang NICU dan ICU khusus Covid-19 untuk pasien usia anak. Ketiadaan ruang ICU dan NICU di berbagai daerah di Indonesia mengakibatkan pasien usia anak yang positif Covid-19 sulit diselamatkan ketika kondisinya kritis.

Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menilai rencana pembelajaran tatap muka Juli 2021 wajib ditunda. Total kasus positif Covid-19 di Indonesia mencapai 2 juta kasus, dari angka tersebut sebanyak 12,5 persen adalah usia anak.

Sekolah lagi (ilustrasi) - (republika)

 

 



Melonjaknya kasus seharusnya menjadi peringatan bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah  untuk segera menghentikan uji coba PTM di sejumlah daerah yang positivity rate-nya di atas 5 persen. Penghentian harus segera dilakukan agar jumlah anak yang berpotensi terinfeksi Covid-19 dapat ditekan, termasuk pendidik (guru) wajib juga dilindungi dari penularan Covid-19.

"Jika kasus terus melonjak dan sulit dikendalikan, maka pemerintah daerah wajib menunda pembukaan sekolah pada tahun ajaran baru 2021/2022 yang dimulai pada 12 Juli 2021, mengingat kasus sangat tinggi dan positivity rate di sejumlah daerah di atas 5 persen, bahkan ada yang mencapai 17 persen. Kondisi ini sangat tidak aman untuk buka sekolah tatap muka," ujar Sekjen FSGI Heru Purnomo, dalam keterangannya, Selasa (22/6).

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) juga merekomendasikan agar sekolah tatap muka terbatas, yang sedianya akan digelar Juli 2021, untuk ditunda. Ketua umum IDAI Prof Aman Pulungan menegaskan, pelaksanaan sekolah tatap muka belum aman digelar, mengingat saat ini lonjakan kasus Covid-19 semakin tajam.

“Melihat peningkatan kasus Covid-19 saat ini, saya tegaskan bahwa sekolah tatap muka masih belum aman dan sangat berisiko bagi anak,” kata Prof Aman dalam konferensi pers virtual, Jumat (18/6), pekan lalu.

Aman menjelaskan, sekolah tatap muka boleh dilakukan dengan syarat transmisi lokal sudah terkendali yang ditandai dengan positivity rate atau laju penularan kurang dari 5 persen. Tak hanya itu, angka kematian akibat Covid-19 juga harus menurun.

“Syarat pertama lihat positivity rate dulu. Ini berlaku untuk semua daerah, karena kami tetap menganggap bahwa zona hijau, merah itu enggak ada. Jadi tolonglah kita memang harus melihat ini secara bijaksana,” kata Aman.

Sebelumnya, pemerintah melalui surat keputusan bersama (SKB) 4 Menteri tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran di Masa Pandemi Covid-19 menyatakan bahwa sekolah harus mulai membuka opsi tatap muka mulai Juli 2021. SKB itu ditandatangani oleh Mendikbud-ristek Nadiem Makarim, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas dan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.

Dalam surat itu tertuang setiap sekolah wajib memberikan layanan belajar tatap muka terbatas setelah seluruh pendidik dan tenaga kependidikan menerima vaksin Covid-19. Selain itu, sekolah juga harus menerapkan protokol kesehatan dengan jumlah murid hanya 50 persen dari total. Pelaksanaan sekolah tatap muka terbatas juga harus melalui persetujuan tiap orang tua atau wali.

Ilustrasi Sekolah Tatap Muka - (republika/mgrol100)

Pemerintah hingga kini memang belum mengeluarkan keputusan terbaru soal rencana pembukaan sekolah secara terbatas pada Juli 2021. Pada akhir pekan lalu, Kemendikbudristek menyatakan, kolaborasi antarpemangku kepentingan jadi kunci untuk menyukseskan penyelenggaraan PTM terbatas.

"Jadi dalam SKB Empat Menteri sudah tertuang bahwa kalau menginginkan PTM terbatas, ada daftar periksa dan protokol yang harus dipenuhi, karena keselamatan warga sekolah menjadi prioritas utama," kata Sekretaris Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Ditjen GTK), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Nunuk Suryani dalam keterangannya, Jumat (18/6).

Setditjen GTK juga mengajak para guru untuk mengikuti berbagai pelatihan yang disediakan oleh Kemendikbudristek melalui laman ayogurubelajar.kemdikbud.go.id. Menurutnya, saat ini sudah ada 13 juta guru yang mengakses data-data di laman tersebut.

Sementara itu, Kasubdit Kurikulum dan Evaluasi, Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Kementerian Agama (Kemenag), Ahmad Hidayatullah menjelaskan , terdapat tiga hal yang bisa dilakukan oleh para guru dalam melakukan pembelajaran yang baik di masa pandemi ini. “Pertama, kita berharap para guru tetap terbuka untuk terus berinovasi dan berkreasi untuk memunculkan berbagai macam ide pelayanan, teknik pembelajaran yang efektif untuk peserta didik kita," kata dia.

Selanjutnya, di dalam PTM, guru-guru diharapkan tetap memperhatikan bahwa pembelajaran di masa pandemi ini adalah menjamin hak belajar anak-anak. Hak belajar peserta didik, jelas Ahmad, penerjemahannya harus ke arah yang paling esensial.

"Dengan membuka ruang kepada anak-anak untuk menjadikan proses pembelajaran bukan semata-mata transfer pengetahuan dan menghabiskan materi, tetapi lebih menekankan pada membangun proses berpikir, proses bersikap, proses bertindak untuk bisa berkembang," kata Ahmad.

IDAI memberikan beberapa syarat sekolah bisa dibuka kembali untuk melaksanakan PTM. Merujuk WHO, salah satu syaratnya adalah terkendalinya transmisi Covid-19 ketika positivity rate dari pemeriksaan swab PCR itu sudah rendah, kurang dari 5 persen.

“Kemudian angka kematian menurun, dan sepanjang ini kita jarang sekali mencapai positivity rate kurang dari 5 persen, selalu positivity rate kita sangat tinggi, padahal kalau kita bandingkan dengan jumlah tes nya, Indonesia juga masih sangat rendah, sehingga ini masih menjadi masalah,” kata Nastiti dalam sebuah diskusi, pekan lalu.

Terkait rencana pemerintah menggelar PTM terbatas mulai Juli nanti, Nastiti mengingatkan angka kasus Covid-19 pada anak. Menurut dia, per 17 Juni, angka kasusnya sudah 1,95 juta yang meninggal itu ada 53.753.

“Jadi angka case fatality rate atau angkat kefatalan dari pasien Covid-19 jika terkena Covid-19 untuk bisa meninggal itu 2,8 persen, nah ada data mengenai spesimen yang diperiksa dan juga mengenai data vaksinasi,” katanya.

Angka cakupan vaksinasi Covid-19 juga masih rendah. Dari data persebaran Covid-19, terlihat usia 0-18 tahun dengan jumlah 12,5 persen, atau satu dari delapan pasien Covid adalah anak-anak.

Apabila dihitung dari 1,95 juta, itu sudah hampir 250 ribu anak yang terkena Covid-19 dan berapa yang meninggal.

“Yang meninggal kontribusinya kecil hanya 1,2 persen dari keseluruhan kasus meninggal kalau dihitung tadi, kasus meninggalnya ada 53 ribu maka ada 645 anak usia dibawah 18 tahun meninggal karena Covid-19,” ujar Nastiti.

Sekolah Tatap Muka (ilustrasi) - (Republika/Mgrol100)

 
Berita Terpopuler