Benarkah Ada Ikatan Ideologi Hamas dan Ikhwanul Muslimin?

Hamas memiliki ikatan ideologi dan sejarah dengan Ikhwanul Muslimin

Hamas memiliki ikatan ideologi dan sejarah dengan Ikhwanul Muslimin. Pejuang Hamas, ilustrasi
Rep: Hasanul Rizqa Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, - Hingga kini, perjuangan Palestina dalam merebut kemerdekaan masih berlangsung. Sejak Hari Katastrofe (Yawn an-Nakbah) 14 Mei 1948, Israel mengukuhkan penjajahannya atas negeri tersebut. 

Baca Juga

Entitas Zionis ini pun menghadapi resistensi dari pelbagai kelompok. Salah satunya adalah Hamas. Nama organisasi iniyang terdiri atas huruf Arab ha, mim, dan sin merupakan akronim dari Harakatu al-Muqawwamah al-Islamiyah, 'Gerakan Perlawanan Islam.' Sesuai namanya, ideologi yang diusungnya adalah Islam. 

Hamas berdiri sejak 1987, tidak lama sesudah Intifadah Pertama pecah. Namun, cikal bakal eksistensinya sudah bermula beberapa dekade sebelumnya. 

Menurut Tiar Anwar Bachtiar dalam Hamas: Kenapa Dibenci Israel? (2008), benih yang menumbuhkan organisasi tersebut adalah Ikhwanul Muslimin (IM) Cabang Palestina. IM sendiri merupakan sebuah gerakan yang diinisiasi oleh Hasan al-Banna di Mesir pada 1928.

Konteks kemunculannya terjadi pada era 1920-an ketika kendali Britania Raya atas Mesir mulai memudar. Bagaimanapun, pengaruh Barat di Negeri Piramida telah memasuki tatanan sosial dan politik setempat. 

Saat mendirikan Ikhwanul Muslimin, pemuda 22 tahun itu bervisi agar Islam selalu mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat. Karena itu, yang ditekankannya ialah rasa persaudaraan Islam (ukhuwah Islamiyah), yang diwujudkan terutama melalui inisiatif-inisiatif dakwah dan pendidikan.

Dengan visi ukhuwah tersebut, fokus Ikhwanul Muslimin tidak sebatas pada Mesir saja, tetapi juga nasib umat di berbagai penjuru. Sebagai tetangga dekat, Palestina tentu tidak luput dari perhatiannya. 

Apalagi, sejak Deklarasi Balfour yang dicanangkan pemerintah Inggris pada 1917, semakin banyak imigran Yahudi menempati wilayah Palestinawaktu itu masih bernama Mandat Britania atas Palestina (Mandatory Palestine). Rakyat setempat terus tergusur arus kedatangan orang-orang Yahudi, terutama dari Eropa.

Bachtiar mengatakan, Ikhwanul Muslimin termasuk gerakan di Arab yang pertama kali memperlihatkan perhatian serius terhadap masalah Palestina. Pada 1935, Hasan Al Banna mengutus unsur-unsur pimpinan IM, yakni Muhammad As'ad Al Hakim dan Abdurrahman Al Banna ke Palestina. Tujuannya untuk menjajaki kemungkinan apa saja yang bisa dilakukan organisasi tersebut di sana.

Kira-kira setahun kemudian, cabang Ikhwanul Muslimin di Palestina terbentuk. Awalnya, kantor cabang tersebut berada di Haifa, tetapi kemudian berpindah ke Gaza. Kepindahan itu atas usulan Ayash Umairah yang memandang perlunya konsolidasi atas kelompok-kelompok kecil simpatisan Ikhwanul Muslimin.

 

Sejak awal 1930-an, mereka tersebar dari Yafa hingga Yerusalem. Dalam jangka waktu beberapa tahun, puluhan ranting Ikhwanul Muslimin berdiri di banyak daerah se-Palestina. Jumlah anggotanya terus menanjak hingga sekira 20 ribu orang pada saat Hari Nakbah terjadi. Semuanya patuh pada arahan dari markas pusat IM di Kairo, Mesir.

Hingga periode 1940-an, Ikhwanul Muslimin sangat dekat dengan pergerakan radikal Palestina yang dimotori Syekh Izzuddin al-Qassam. Beberapa tahun sebelumnya, pejuang Palestina itu mendirikan Jam'iyyat asy-Syubban al-Muslimin dengan tujuan mengusir imperialisme Inggris dan pendudukan bangsa Yahudi dari Palestina. Dialah yang memulai seruan pergerakan bersenjata dalam melawan kolonialisme di Bumi al-Quds.

Pada 1948 menjadi tonggak penting dalam sejarah penjajahan yang dilakukan Zionis. Pada 14 Mei 1948, Britania Raya secara resmi mengakhiri mandatnya di Palestina. Pada hari yang sama, Dewan Nasional Yahudi di Tel Aviv meng umumkan proklamasi negara Yahudi Israel (Eretz-Israel). Hanya berselang beberapa jam kemudian, Amerika Serikat (AS) mengakui secara de facto negara baru itu.

Keesokan harinya, 15 Mei 1948, koalisi militer negara-negara Arab menyerbu Israel. Mereka datang dari pelbagai penjuru, seperti Mesir, Tran syordania, Iran, dan Lebanon. Kira-kira sembilan bulan lamanya aliansi Arab bertempur melawan Zionis, yang didukung negara-negara adidaya. Dalam Perang Arab-Israel 1948, tutur Bachtiar, tidak hanya Ikhwanul Muslimin Palestina yang terjun ke medan perjuangan.

Cabang-cabang Ikhwanul Muslimin di pelbagai negeri Arab, seperti Transyordania, Suriah, dan Irak, pun turut serta. Adapun para anggota Ikhwanul Muslimin dari Mesir bergabung menjadi prajurit sukarela dalam pasukan militer yang dikirim pemerintah Mesir ke Israel. Dari Negeri Piramida, sebanyak tiga batalion pasukan sukarela Ikhwanul Muslimin dipimpin Ahmad Abdul Aziz.

Namun, pada tahun yang sama di Mesir mulai merebak rumor-rumor tentang Ikhwanul Muslimin. Organisasi ini dituding hendak menggulingkan pemerintahan yang sah. Perdana menteri Mesir saat itu, Mahmoud El Nokrashy Pasha, lalu membekukan aktivitas gerakan tersebut di seluruh negeri. Kurang dari tiga pekan kemudian, sang perdana menteri di tembak oleh seorang simpatisan Ikhwanul Muslimin.

Kejadian nahas itu membuat rezim setempat memusuhi Hasan Al Banna dan para pendukungnya. Bahkan, pada 12 Februari 1949, sang perintis IM dibunuh seseorang yang diduga merupakan anggota biro intelejen Mesir. Dalam situasi demikian, cabang Ikhwanul Muslimin di Palestina pun terimbas.

 

Akan tetapi, tokoh-tokohnya tidak berniat menghentikan perjuangan. Mereka lantas mendirikan Jam'iyyah at-Tauhid. Organisasi ini tidak hanya berfokus pada jihad dengan persenjataan dalam melawan Zionis, tetapi juga melakukan gerakan-gerakan dakwah dan pendidikan. Semuanya sevisi dengan Ikhwanul Muslimin, sebagaimana dicanangkan Hasan Al Banna.   

 
Berita Terpopuler