Masjid Al-Thafar Damri, Peradaban Islam Era Mamluk di Gaza

80 persen bangunan masjid tersebut hancur selama perang Israel pada 2014.

Al Monitor
Halaman Masjid Al-Thafar Damri di Jalur Gaza. Keberadaan masjid tersebut membuktikan sejarah bergengsi peradaban Islam selama periode Mamluk.
Rep: Kiki Sakinah Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Jalur Gaza dikenal sebagai rumah bagi sejumlah situs dan monumen bersejarah. Salah satu peninggalan sejarah yang masih berdiri kukuh di Jalur Gaza ialah Masjid Al-Thafar Damri. Masjid ini terletak di dalam lingkungan Shajaiya di timur Kota Gaza.

Baca Juga

Keberadaan masjid tersebut membuktikan sejarah bergengsi peradaban Islam selama periode Mamluk. Bangunan masjid ini menunjukkan arsitektur gaya Mamluk yang khas.

Fasad dan halamannya menunjukkan ayat-ayat Alquran dan dihiasi dengan dekorasi yang diukir di batu ukir serta lengkungan runcing. Daerah sekitar Shajaiya dinamai sesuai nama Shuja al-Din al-Kurdi, seorang amir Ayyubiyah yang terbunuh dalam salah satu pertempuran antara Ayyubiyah dan Tentara Salib pada 1239 Masehi. Lingkungan ini dibangun pada era Ayyubiyah.

Daerah Shajaiya membentang seluas 14.305 hektare dan dihuni lebih dari 110 ribu orang. Sebagian besar penduduknya bekerja di industri ringan seperti produksi pakaian dan pertanian. Lingkungan ini pernah menyaksikan periode paling makmur selama era Mamluk.

Imam Masjid Al-Thafar Damri, Kamal Al-Afghani, mengatakan kepada Al-Monitor masjid ini dinamai sesuai dengan nama pendirinya, Pangeran Mamluk Shihab al-Din Ahmad bin Azafir al-Thafer Damri dari Thafer Damar di negara-negara Maghreb. Masjid itu dibangun pada 1360 M dan dianggap sebagai salah satu monumen Islam dan arkeologi tertua dan terpenting di Jalur Gaza.

 

Ia menuturkan, masjid ini terdiri dari dua bagian, satu modern dan satu kuno. Bangunan masjid terdiri dari tiga iwan (aula persegi panjang) yang menghadap ke ruang ibadah, yang dipisahkan oleh lengkungan runcing yang dipasang di dinding, ciri khas arsitektur Islam yang terkenal.

Sementara itu, lengkungannya dihiasi ornamen berukir batu pasir, sedangkan jendelanya berbentuk busur tapal kuda. Setiap jendela dipisahkan satu sama lain dengan pintu gerbang yang memungkinkan masuknya jamaah ke ruang ibadah.

"Luas area masjid diperkirakan lebih dari 600 meter persegi dan dapat menampung hampir 800 jamaah," kata Al-Afghani kepada Al-Monitor.

Afghani kemudian menyoroti tebal dinding masjid lebih dari 80 sentimeter, sesuai dengan arsitektur yang berlaku selama periode Mamluk. Ia mengatakan, masjid tersebut memiliki perpustakaan kecil dengan lebih dari 200 buku yang beragam, sebuah pusat untuk menghafal Alquran, dan ruang sholat untuk wanita. Di samping itu, terdapat sebuah ruangan yang berisi makam Pangeran Al-Thafer Damri.

Akan tetapi, 80 persen dari bangunan masjid tersebut hancur selama perang Israel di Jalur Gaza pada musim panas 2014. Ia mengatakan bagian modern dari masjid yang dibangun pada 2010 dihancurkan selama perang.

 

Namun, bangunan masjid telah dipulihkan (restorasi) pada 2015 dengan sumbangan dari para relawan. Pemulihan masjid tersebut termasuk perpustakaan, menara, beberapa tiang dan dua iwan yang dibangun dari lumpur dan batu yang terletak di sisi barat masjid.

"Pekerjaan restorasi mencoba untuk melestarikan detail arsitektur yang tepat dari era Mamluk kuno," lanjutnya.

Menurut panduan arkeologi yang dikeluarkan oleh Kementerian Pariwisata dan Purbakala pada 2013 yang menandai situs-situs semacam itu di Gaza, daerah kantong pesisir adalah rumah bagi 39 bangunan dan situs arkeologi, termasuk masjid, gereja, istana, tempat suci, dan rumah kuno. Direktur barang antik dan warisan budaya di Kementerian Pariwisata dan Purbakala di Gaza Jamal Abu Raida mengatakan masjid Al-Thafr Damri, yang secara lokal dikenal sebagai Qazmari, adalah salah satu monumen Islam dan arkeologi terpenting di Lingkungan Shajaiya pada khususnya dan Jalur Gaza pada umumnya.

Bangunan masjid tersebut menandai era Mamluk di Palestina. Menurutnya, orang Mamluk di Palestina sangat tertarik untuk membangun masjid, sekolah, istana, pemandian, dan penginapan bagi para pelancong.

Mereka juga membangun karavanserai (penginapan di tepi jalur perdagangan bagi para musafir) di jalan-jalan untuk melayani para kafilah yang berdagang, sambil memastikan melestarikan karakteristik Islam di kota-kota Arab. "Arsitektur pada masa itu memiliki tanda-tanda dari periode Mamluk, saat Tatar dan Tentara Salib dikalahkan," kata Abu Raida.

 

Abu Raida mengatakan Israel tidak hanya menargetkan Masjid Al-Thafer Damri selama perang pada 2014 di Gaza, tetapi juga menghancurkan masjid lain, seperti Masjid Mahkamah yang juga dibangun pada era Mamluk. Tidak hanya itu, menurutnya, operasi pengeboman Israel juga merusak situs arkeologi lainnya, seperti gereja Byzantium di Jabalia di Jalur Gaza utara.

Mereka juga menghancurkan tembok timur Gereja Katolik Roma Saint Porphyrius di Kota Gaza dan menyebabkan retakan pada struktur Biara Al-Khader di Deir al-Balah di Gaza tengah. Serangan ini disebutnya dimaksudkan untuk mendistorsi fakta sejarah dan menghancurkan peradaban di Palestina.

Abu Raida menambahkan kementerian pariwisata dan barang antik serta wakaf telah menyusun rencana merestorasi Masjid Al-Thafer Damri. Menurut Kementerian Pariwisata Gaza, sektor arkeologi dan pariwisata Gaza menderita kerugian besar sebagai akibat dari serangan Israel yang langsung dan disengaja terhadap fasilitas pariwisata dan situs serta bangunan arkeologi selama perang di daerah kantong yang terkepung.

Dalam pernyataan pada 2014, kementerian menunjukkan sektor barang antik mengalami kerugian yang diperkirakan mencapai 850 ribu dolar AS. Sejarawan dan peneliti Palestina Salim al-Moubayed mengatakan Jalur Gaza adalah rumah bagi beberapa situs dan monumen arkeologi dan sejarah, dengan lokasinya yang strategis sebagai gerbang utara ke Asia dan gerbang selatan ke Afrika.

"Daerah kantong itu adalah tempat singgah bagi orang Romawi, Byzantium, dan Tentara Salib, yang mengarah ke selatan menuju Mesir dan Semenanjung Sinai," ujarnya.

 

Moubayed melanjutkan, Gaza memiliki sejarah kuno yang terkenal. Penyair dan sejarawan Mamluk Khalil Ben Shaheen Zaher menyebutnya 'ruang depan Raja', sementara Napoleon Bonaparte menganggapnya sebagai pintu gerbang ke Asia dan garnisun di Afrika. Sedangkan orang Arab menyebutnya 'Gaza Hasjim' mengacu pada makam Hashim ibn Abd al-Manaf, kakek buyut Nabi Muhammad SAW.

"Jalur Gaza adalah tempat terjadinya beberapa pertempuran selama periode Babilonia, Asiria, dan Firaun," katanya.

Dia menambahkan lingkungan Shajaiya mencakup beberapa masjid kuno, seperti Masjid Othman Bin Affan dan Masjid Mahkamah. Daerah ini juga menjadi tuan rumah bukit Al-Montar, yang berada di ketinggian lebih dari 85 meter di atas permukaan laut. Bukit itu adalah tempat pasukan Napoleon serta pasukan Turki dan sejumlah tentara Arab ditempatkan.

Ia menjelaskan, ada banyak harta sejarah dan arkeologi di Jalur Gaza, khususnya di daerah yang dikenal sebagai Gaza Tua yang membentang dari Masjid Shamaa di selatan hingga Masjid Al-Sayed Hashim di utara, dan dari pemakaman Sheikh Shaaban di sebelah barat hingga pemakaman Shajaiya di sebelah timur.

"Semua bukti kota itu dibangun di atas reruntuhan masjid dan gereja kuno dari ribuan tahun yang lalu," tambahnya.

https://www.al-monitor.com/pulse/originals/2021/02/gaza-mosque-history-islamic-civiliation-mamluk.html

 
Berita Terpopuler