103 Sekolah di Myanmar Jadi Sasaran Serangan

Alat peledak improvisasi dan granat tangan digunakan dalam sebagian besar serangan.

EPA-EFE/STRINGER
Para siswa tiba di sekolah dasar Min Gan pada hari pertama tahun ajaran baru, di Sittwe, Negara Bagian Rakhine, Myanmar, 01 Juni 2021.
Rep: Kamran Dikarma Red: Nur Aini

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON – Kelompok Save the Children mengatakan sekitar 103 sekolah dan fasilitas pendidikan di Myanmar menjadi target serangan pada Mei lalu. Hal itu menimbulkan kekhawatiran di tengah gejolak yang terus berlanjut pasca-kudeta militer pada awal Februari.

Baca Juga

Save the Children mengatakan alat peledak improvisasi dan granat tangan digunakan dalam sebagian besar serangan. “Kami terkejut dengan serangan-serangan ini, yang tidak hanya membahayakan nyawa anak-anak, tetapi juga lebih jauh membahayakan apa yang sudah menjadi situasi bencana ketika menyangkut pembelajaran anak-anak di Myanmar,” katanya dalam sebuah pernyataan, dikutip laman Aljazirah, Senin (14/6).

 

Mereka menekankan sekolah adalah tempat belajar yang terlindung bagi anak-anak. Oleh sebab itu, ia harus terbebas dari serangan setiap saat. “Serangan terhadap sekolah merupakan pelanggaran berat terhadap anak-anak, dan tidak boleh ada sekolah yang sengaja dijadikan sasaran,” kata Save the Children.

Save the Children menyebut tak ada informasi kredibel tentang siapa yang bertanggung jawab di balik serangan-serangan tersebut. Badan PBB untuk anak-anak, Unicef, juga mencatat peningkatan jumlah ledakan di sekolah, fasilitas pendidikan, dan kantor. Mereka menegaskan hal itu tak dapat diterima.

“Sekolah dan fasilitas pendidikan lainnya harus dilindungi dari konflik dan kerusuhan. Penyerangan terhadap tempat-tempat belajar dan staf pendidikan serta pendudukan fasilitas pendidikan merupakan pelanggaran terhadap hak-hak anak,” kata kantor Unicef di Myanmar.

 

Anak-anak di sekolah negeri mulai kembali ke ruang kelas pada awal bulan ini. Namun banyak dari mereka yang masih takut untuk pergi. “Saya tidak bisa pergi ke sekolah sepanjang tahun lalu karena virus (Covid-19). Dan tahun ini saya tidak berani pergi,” kata murid perempuan berusia 10 tahun yang tinggal di wilayah tengah Magway.

“Saya ingin pergi ke sekolah, tapi saya takut. Meskipun gerbang sekolah ditutup, ada tentara di dalam, dan saya takut pada tentara. Saya khawatir akan ada ledakan bom di sekolah kami saat kami berada di sana,” ujar murid tersebut.

Menurut Save the Children, pasukan keamanan Myanmar telah menduduki setidaknya 60 sekolah dan kampus atau universitas di seluruh negeri sejak Maret. Mereka menekankan tentara bersenjata tidak memiliki tempat di sekolah atau ruang belajar lainnya.

“Dalam keadaan apa pun anak-anak tidak boleh dipaksa memegang senjata dalam bentuk apa pun. Perilaku yang sangat tidak bertanggung jawab oleh personel bersenjata ini tidak dapat diterima, menempatkan anak-anak dalam risiko dan melanggar standar internasional untuk pendidikan yang aman,” kata Save the Children.

Myanmar adalah penandatangan UN Convention for the Rights of the Child. Konvensi itu menyatakan bahwa semua anak berhak atas pendidikan yang aman. 

 
Berita Terpopuler