Mengapa Pasal Penghinaan Lembaga Negara Patut Ditolak?

Warga bisa dipidana karena menghina lembaga negara, bagaimana jika terjadi sebaliknya

Foto : MgRol112
Ilustrasi Gedung DPR
Red: Karta Raharja Ucu

Oleh : Abdul Rachman Thaha, Anggota Komite I DPD RI

REPUBLIKA.CO.ID, Ada tiga argumentasi mengapa pasal penghinaan lembaga negara patut ditolak. Pertama, kita memakai istilah niat jahat (mens rea). Mens rea perlu dipilah lagi, menjadi intent dan motive.

Contoh, Jaka sengaja menghina presiden. Ira juga sengaja menghina presiden. Karena ada kesengajaan, terdapat intent di dalam perbuatan mereka. Polisi dan jaksa harus membuktikan keberadaan intent itu, tapi tidak cukup sampai di situ.

Kedua lembaga tersebut juga harus buktikan motive. Dan, setelah didalami, ternyata Jaka menghina presiden sebagai ekspresi kekesalannya atas kegagalan bertubi-tubi presiden dalam memimpin negara.

Penghinaan dianggap Jaka sebagai kecaman keras agar kondisi negara bisa berlangsung lebih baik. Sebaliknya, Ira menghina presiden sebagai pelampiasan karena ia diceraikan oleh suaminya yang merupakan pendukung presiden. Penghinaan dilakukannya semata-mata untuk melegakan hati.

Dari contoh itu, bisa dilihat bahwa dalam perbuatan yang disengaja, intent bisa sama, tetapi motive antarmanusia bisa berbeda. Hukum, sekali lagi, tidak boleh memukul rata.

Dalam contoh di atas, Jaka bisa dipahami sebagai orang yang sesungguhnya beriktikad baik dan peduli terhadap kondisi bangsanya. Penghinaan bukan sesuatu yang ada dalam konteks relasi personal. Ira, sebaliknya, tidak punya iktikad positif di balik penghinaannya itu.

Penghinaan adalah ekspresi pribadinya terhadap pribadi orang lain. Hukuman pidana, jika pasal dimaksud jadi disahkan, hanya patut dikenakan kepada Ira.

Argumentasi kedua mengapa pasal penghinaan terhadap lembaga negara patut ditolak, kedudukan semua pihak di hadapan hukum adalah sama. Dengan asas seperti itu, ketika warga bisa dipidana karena menghina lembaga negara, apakah pejabat lembaga negara juga bisa dipidana ketika--misalnya-- melakukan penghinaan terhadap warganya. Bayangkan pejabat yang saking emosionalnya sampai mengeluarkan hinaan terhadap warga?

Jika tidak berlaku dua arah, asas kesamaan di hadapan hukum sudah dinihilkan. Pasti, ini bukan konstruksi hukum yang benar.

Argumentasi ketiga, ketika sesama anggota masyarakat bertikai dan menghina satu sama lain, otoritas penegakan hukum acap melakukan mediasi antarkeduanya. Nah, bagaimana ketika penghinaan itu dilakukan masyarakat terhadap lembaga negara?

Akankah otoritas penegakan hukum juga memediasi keduanya? Adakah kesanggupan dari otoritas terkait untuk menjadi mediator ketika pihak pelapor adalah mitranya sendiri sebagai sesama lembaga negara?

Apabila mediasi hanya dikenakan pada konflik antaranggota masyarakat, tetapi otoritas penegakan hukum mengalami kecanggungan (bahkan meniadakan) untuk memediasi lembaga negara dan masyarakat. Maka, pantaslah dikhawatirkan instrumen hukum itu memang diadakan sebagai alat pengaman diri oleh pemegang kekuasaan.

 
Berita Terpopuler