Komodifikasi Perempuan: Alat Tukar Terlaris Sepanjang Masa

Citra perempuan sampai pada hari ini masih berkisar subordinat dibandingkan laki-laki

Pixabay
Ilustrasi Muslimah
Red: Karta Raharja Ucu

Oleh : Mega Waty, Ketua Umum PP Wanita Perisai; Founder sekaligus Direktur Program Indonesia Care

REPUBLIKA.CO.ID, Akhir-akhir ini publik disuguhkan oleh tayangan televisi bergenre sinetron di salah satu stasiun televisi. Public figur dan influencer yang fokus terhadap isu perempuan pun turut menyuarakan keresahan mereka. Pasalnya, sinetron yang bertajuk serial "Catatan Hati Seorang Istri" tersebut menyuguhkan beberapa bentuk pendiskriminasian dan pelanggengan konstruk budaya patriarki yang menjadikan citra perempuan sebagai komoditas “dagang” sepanjang masa.

Sinetron tersebut menyuguhkan alur cerita rumah tangga seorang suami yang memiliki tiga orang istri dalam satu rumah. Alasan si suami tersebut melakukan poligami ada beberapa sebab. Pertama, ingin mendapatkan keturunan. Hal ini disebabkan dari kedua istri sebelumnya sang suami tidak dapat memberikan keturunan.

Kedua, merasa dominan karena posisinya sebagai suami di dalam rumah tersebut. Yang lebih ironis lagi adalah istri ketiga dalam sinetron ini diperankan sebagai seorang anak di bawah umur yang polos dan baru lulus sekolah menengah atas, lalu ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang kuliah, tetapi terhambat dikarenakan faktor ekonomi yang tidak menunjang.

Alasan tersebutlah yang akhirnya membuat si pemeran utama, yaitu si istri ketiga, terpaksa menikah. Di samping juga ada tuntutan keluarga untuk menyelamatkan kondisi keluarga karena memiliki utang budi juga terhadap pihak si suami tadi.

Tidak berhenti di situ saja, eksploitasi penderitaan si pemeran utama di dalam kehidupan rumah tangganya. Ia cenderung mendapat perlakuan jahat dari kedua istri lainnya. Banyak adegan-adegan kedua istri lainnya berusaha berbuat jahat kepada si istri ketiga yang masih belia ini. Adegan tersebut, seperti berusaha mencelakai atau berusaha menyakiti dan menghilangkan nyawa bayi dalam kandungan si istri ketiga.

Atas aksi jahat dan culas dari masing-masing akting dua perempuan lainnya tersebut, khalayak berhasil tersulut emosinya dan mencaci maki kedua pemeran istri pertama dan kedua tadi sebagai perempuan jahat, ular berkepala dua, egois, dan lain sebagainya. Dari penggambaran sinetron tersebut, kita dapat melihat bahwa citra perempuan
sampai pada hari ini masih berkisar subordinat dibandingkan dengan laki-laki.

Ironisnya lagi adalah khalayak masih nyaman dan menikmati komoditas konstruksi budaya terhadap perempuan itu sendiri. Konstruksi yang terbangun bahwa laki-laki berpoligami memiliki alasan kuat dan juga dibolehkan oleh agama, dalam kasus ini ketidakberdayaan perempuan memberikan keturunan adalah pemicu utamanya.

Perempuan masih saja dinilai sebagai mesin reproduksi pencetak anak. Jika mesin tersebut tidak berfungsi dengan baik, boleh diganti atau bahkan dibuang, sementara bagaimana jika posisi infertile tersebut justru dimiliki oleh laki-laki? Tentu, tidak akan sedramatis itu karena laki-laki memiliki kuasa dominan atas hal tersebut.

Kemudian, yang disajikan dalam sinetron ini adalah perkawinan di bawah umur. Memang dalam UU Perkawinan masih disebutkan batas usia anak menikah adalah jika laki-laki berusia 18 tahun dan perempuan berusia 16 tahun, tetapi UU tersebut sudah seharusnya direvisi dengan tepat mengingat hal tersebut bertentangan dengan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa yang disebut anak-anak adalah yang berusia di bawah 18 tahun dan anak-anak berhak mendapatkan perlindungan serta mendapatkan hak-haknya.

Sementara, menikah di bawah umur cenderung menjadi alasan hak anak tersebut tidak terpenuhi. Banyak masyarakat prasejahtera menganggap bahwa menikah muda adalah alasan untuk mengurangi angka kemiskinan, namun pada realitasnya banyak yang menikah muda, tapi tidak juga menekan angka kemiskinan. Justru sebaliknya.

Di samping itu, menikah muda juga menghambat pendidikan. Dari persentase yang ada...

Di samping itu, menikah muda juga menghambat pendidikan. Dari persentase yang ada, dilaporkan persentase perempuan yang menikah muda lebih banyak mengalami putus sekolah dan tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Hal tersebut tentu karena konstruksi peran perempuan setelah menikah di masyarakat harus diterapkan. Yaitu, berfokus utama pada sumur, kasur, dapur.

Kemudian, yang disoroti dalam sinetron ini adalah kekerasan seksual yang dialami oleh si pemeran utama. Bahwa ketika pernikahan tersebut terjadi, tujuannya adalah untuk memperoleh keturunan. Karena itu, hubungan suami istri harus dilakukan walaupun si perempuan tidak menginginkan dan menolak.

Selanjutnya, pemaksaan hubungan suami istri adalah salah satu bentuk kekerasan seksual atau dapat dikatakan sebagai pemerkosaan. Bahwasanya perlu diingat, pemerkosaan juga dapat terjadi di dalam sebuah hubungan perkawinan (marital rape). Di mana ketika hubungan intim tidak dikehendaki oleh salah satu dari pasangan suami istri, namun tetap dilakukan biasanya disertai dengan pemaksaan. Dalam sinetron ini, tentu si pemeran utama harus melayani suaminya dengan tujuan untuk mendapatkan keturunan tadi.

Suka atau tidak suka dan tanpa tawar-menawar. Sisi ironis yang selanjutnya adalah sosok istri pertama dan kedua yang diperankan selalu berbuat jahat terhadap si istri ketiga tadi. Masyarakat awam tentu tidak akan ada habisnya dalam mencaci tokoh-tokoh tersebut.
Masyarakat akan beranggapan bahwa perempuan itu adalah perempuan dengan hati iblis, jahat dan culas. Sementara, tokoh laki-laki yang menjadi akar permasalahannya cenderung tidak masuk di dalam daftar caci masyarakat. Mereka melupakan bahwa hal tersebut tidak mungkin terjadi jika laki-laki itu tidak memiliki paradigma buruk terhadap perempuan dan ego yang tinggi terhadap relasi kuasa dominan yang dimilikinya.

Televisi sebagai media penyiaran memiliki peran sentral dalam mengedepankan tayangan harusnya dapat mengedukasi dan menginformasikan sesuatu. Termasuk pada persoalan perempuan yang hingga kini masih berkisar pada permasalahan bias gender karena pemahaman masyarakat yang sudah telanjur terpatri oleh budaya patriarki yang berkembang.

Dalam bukunya, Ishadi SK mengatakan sebagai media massa yang menggunakan frekuensi publik, televisi sebagai media penyiaran seharusnya lebih bijak dalam menayangkan isi siaran. Namun pada realitanya televisi sebagai industri media justru memainkan strategi “profit oriented” yang dilakukan dengan cara mengkomodifikasi segala bentuk tayangan.

Vincent Mosco menjelaskan bahwa hal tersebut dapat dikatakan sebagai komodifikasi isi atau konten dalam sebuah media dikarenakan komodifikasi tersebut lahir karena ada transformasi barang dan jasa beserta nilai gunanya menjadi suatu komoditas yang mempunyai nilai tukar di pasar. Artinya, konstruksi perempuan sebagai sosok manusia kelas dua yang tidak memiliki kuasa atas dirinya sendiri, juga citra buruk; diskriminatif terhadap perempuan langgeng menjadi komoditas yang tinggi bagi publik.

Rating ditukar dengan kepuasan masyarakat yang merasa bahwa tontonan tersebut adalah hiburan. Mengapa hal tersebut dapat terjadi? Hal tersebut terjadi karena masyarakat tidak juga bangun dari mimpi kuasa patriarki yang selalu meninabobokan kita pada realitas yang ada. Realitas yang dibentuk pada konstruksi pikir kolektif yang tidak juga tercerahkan.
Tayangan televisi pun tidak bijak dalam memberikan fungsi edukasi dan informasinya. Justru sebaliknya, tayangan televisi menyajikan semakin berkembangnya konstruksi pikir kolektif yang sesat dan tidak tercerahkan. Hal tersebut hanya demi sebuah keuntungan.

Baiknya, lembaga penyiaran atau yang mengawasi tayangan-tayangan televisi lebih ketat lagi dalam melakukan fungsi pengawasannya. Pun kepada stasiun televisi atau media massa lainnya harus menjalankan salah satu fungsi edukatifnya terhadap masyarakat luas.

Biar bagaimanapun masyarakat kita masih cukup jauh untuk diberikan keseragaman pikir tentang konstruksi yang harus dihancurkan tersebut. Konstruksi budaya patriarki yang melenggang langgeng ratusan tahun lamanya. Itulah tanggung jawab kita bersama.

*Penulis adalah Ketua Umum PP Wanita Perisai; Founder sekaligus
DIREKTUR Program Indonesia Care

 
Berita Terpopuler