Dorongan untuk Membatalkan Olimpiade Tokyo Makin Menguat

Pembukaan Olimpiade tinggal dua bulan lagi tapi program vaksinasi berjalan lambat

EPA-EFE/FRANCK ROBICHON
Papan iklan Olimpiade Tokyo digantung di luar gedung Kantor Pemerintah Metropolitan Tokyo di Tokyo, Jepang, 27 Januari 2021.
Rep: Lintar Satria Red: Christiyaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, TOKYO - Saat Obor Olimpiade melewati Hiroshima pekan ini, panitia berusaha agar pawai menjauh dari jalanan. Upacara menyalakan obor digelar tanpa penonton. Kunjungan Ketua Komite Olimpiade Internasional (IOC) Thomas Bach ke Jepang dibatalkan. Hiroshima bersama tuan rumah Tokyo adalah salah satu dari tujuh prefektur yang berada di masa darurat Covid-19.

Olimpiade Tokyo menunjukkan langkah besar yang perlu dilakukan untuk menggelar ajang olahraga terbesar di dunia selama pandemi. Sejauh ini Jepang berhasil menghindari ledakan wabah terutama karena berhasil menjaga ketat perbatasan pada musim gugur tahun lalu.

Baca Juga

Namun dua pertiga kasus kematian dilaporkan pada tahun ini. Gelombang wabah terbaru yang didorong varian Covid-19 yang lebih menular telah membebani sistem kesehatan regional. Sementara program vaksinasi berjalan lambat, di sisi lain pembukaan Olimpiade tinggal dua bulan lagi.

Sekitar 15 ribu atlet dan mungkin 90 ribu kru dari 200 negara akan berkumpul di Jepang. Banyak warga Jepang yang khawatir Olimpiade memicu ledakan penularan Covid-19. Sekitar 60 persen responden menilai agar Olimpiade dibatalkan.

Pada Ahad (23/5) Economist melaporkan panitia yakin Olimpiade dapat digelar dengan aman. Mereka mencontohkan ajang olahraga internasional yang digelar selama pandemi lainnya seperti Master 2021, kompetisi golf di Amerika Serikat (AS).

Jepang ingin membuat wilayah terisolasi di sekitar desa-desa Olimpiade dan mewajibkan vaksin bagi para atlet. Bach mengeklaim ketika Olimpiade dibuka sudah sekitar 80 persen orang yang berada di desa Olimpiade sudah divaksin. Jepang sudah memutuskan untuk melarang penontong asing sementara penonton dalam negeri akan diputuskan bulan Juni.

Banyak dokter dan pakar kesehatan yang tidak yakin Olimpiade dapat digelar dengan aman. Jepang dapat menggunakan sumber daya untuk melakukan pemeriksaan, perawatan, atau memvaksin masyarakatnya daripada harus menggelar Olimpiade.

Pergerakan masyarakat selama liburan bulan Mei meningkatkan angka kasus positif di Jepang. Olimpiade rencananya digelar di sembilan prefektur termasuk Tokyo dan melibatkan kamp-kamp pelatihan dan sukarelawan dari seluruh negeri sehingga pergerakan hampir tidak mungkin dapat dihindari.

Kepala rumah sakit prefektur Mei dan salah satu editor British Medical Journal Taniguchi Kiyosu meminta Olimpiade dibatalkan. Puluhan kota membatalkan rencana mereka untuk membuka pintu bagi warga asing yang ingin berlatih.

Varian baru Covid-19 yang lebih menular juga memperumit masalah. Sementara varian B.1.1.7 sudah menyebar ke mana-mana. Taniguchi mengatakan konvergensi orang-orang dari seluruh di dunia di Jepang dapat membentuk virus bermutasi dan masuk.

"Jepang akan menjadi kendaraan untuk bercampur," kata Taniguchi seperti dikutip Economist.

Virolog yang menjadi salah satu pakar yang bertugas memberi saran pada pemerintah, Oshitani Hitoshi, mengatakan peserta Olimpiade dapat membawa virus ke negara asal mereka. Banyak negara di seluruh dunia yang sistem kesehatannya tidak sebaik Jepang.

"Satu saja kasus impor dapat memicu wabah yang lebih besar," kata Oshitani.

Rakyat Jepang mungkin merasa lebih aman jika ada proteksi dari virus yang mungkin berasal dari para atlet. Berdasarkan pelacak Covid-19 the Economist hanya 4,5 persen orang dewasa Jepang yang menerima setidaknya dosis pertama virus corona. Negeri Sakura masih di belakang Myanmar.

Perdana Menteri Yoshihide Suga ingin program vaksinasi untuk orang lanjut usia sudah selesai pada akhir Juni. Namun hanya dua pertiga warga Tokyo yang dapat melakukan vaksinasi. Masalahnya bukan pada pasokan vaksin sebab surat kabar Nikkie memprediksi ada sekitar 10 juta dosis vaksin yang tidak terpakai di dalam freezer.

Pada titik ini masalahnya juga bukan pada permintaan. Walaupun masyarakat Jepang cukup ragu pada vaksin umum tapi hal itu tidak berlaku pada vaksin Covid-19. Anggota gugus tugas Covid-19 pemerintah Shimoaraiso Makoto mengatakan pusat vaksinasi massal yang baru dibuka di Osaka pekan ini membuka 25 ribu vaksinasi dan sudah penuh dalam 25 menit.

Masalahnya pada kekusutan logistik dan birokrasi yang memperlambat proses vaksinasi. Situs pendaftaran dan saluran telepon vaksin mengalami masalah teknis.

Kementerian Kesehatan tertahan peraturan yang mengharuskan uji coba pada setiap vaksin asing. Sejauh ini Jepang hanya menyetujui vaksin dari Pfizer-BioNTech. Negeri Sakura juga kekurangan orang untuk mengatur vaksin karena undang-undang Jepang mengharuskan hanya dokter dan perawat yang boleh memberikan vaksin.

Pengecualian sudah diberikan pada dokter gigi sementara pemerintah mencoba untuk memberikan wewenang pada apoteker untuk menyuntikkan vaksin. Oshitani mengatakan kesalahan yang dilakukan praktisi yang tak berpengalaman dapat berakibat fatal.

"Kami di Jepang sangat, sangat sensitif terhadap kejadian buruk. Satu kejadian dapat menahan seluruh proses vaksinasi," katanya.

Akan tetapi tampaknya dalam beberapa pekan Jepang akan mempercepat program vaksinasi mereka. Sebab pemerintah diperkirakan akan menyetujui penggunaan vaksin Moderna dan AstraZeneca. Kementerian Pertahanan juga akan membangun lebih banyak fasilitas vaksinasi.

 
Berita Terpopuler