Kisah 4 Jurnalis Perang Palestina Saat Liput Pemboman Israel

Beberapa jurnalis Palestina menceritakan ketakutan dan kelelahan mereka

Mohamad Torokman/Reuters
Jurnalis berlarian menghindari gas air mata yang ditembakkan tentara Israel di Kota Ramallah, Tepi Barat, Palestina, Jumat (8/12)
Rep: Meiliza Laveda Red: Esthi Maharani

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Beberapa jurnalis Palestina menceritakan ketakutan dan kelelahan mereka saat meliput pemboman Israel di Jalur Gaza. Kekerasan ini meletus sejak 10 Mei lalu, ketika Israel melancarkan serangan udara di Gaza.

Serangan tersebut setidaknya lebih dari 200 orang tewas dalam pemboman Israel di Gaza. Selain itu, bangunan tinggi juga menjadi sasaran. Bahkan menara Al-Jalaa yang menampung kantor media internasional hancur. Para pendukung kebebasan pers mengutuk serangan itu sebagai upaya untuk membungkam jurnalis. Selama liputan, para jurnalis dari media lokal maupun internasional harus menahan ketakutannya selama pemboman berlangsung. Berikut enam kisah dari para jurnalis Palestina, dilansir Aljazirah, Jumat (21/5):

1. Ghalia Hamad
Selama liputan langsung, Ghalia Hamad selalu berkomunikasi dengan putrinya di rumah untuk memeriksa kondisi mereka. Setiap kali mendengar bom, ia selalu panik dan segera menelepon keluarganya. Pewarta berusia 30 tahun ini yang bekerja sebagai koresponden Aljazirah Mubasher di Jalur Gaza memiliki dua putri berusia lima setengah tahun.

“Ini adalah perang brutal. Ini adalah pertama kalinya kami mengalami serangan seperti ini dengan keganasan yang luar biasa. Perang terbaru tahun 2014 dan perang lainnya di tahun 2012, 2009 juga sulit, tapi yang ini paling sulit,” kata Hamad.

Sama dengan jurnalis lain, Hamad tidak berhenti bekerja sejak eskalasi. Dia harus menghadapi situasi berbahaya di sekitarnya dan tidak memiliki apa pun untuk melindungi diri. Setiap orang adalah target yang akan diserang.

“Saya mencoba melakukan pekerjaan saya tanpa memikirkan bahaya yang mungkin saya hadapi. Kami kehilangan kantor kami yang dibom beberapa hari yang lalu,” ujar dia.

Seperti ibu lainnya, Hamad ingin berada di samping keluarganya, terutama putrinya untuk meyakinkan mereka selama masa-masa sulit ini. “Ketika saya mendengar ada bom di dekat rumah saya, saya langsung menelepon untuk memeriksanya,” ucapnya.

2. Hossam Salem
Jurnalis Foto Hossam Salem tidak berencana untuk meliput kekerasan ini. Fotografer itu meninggalkan Gaza ke Turki dua tahun lalu. Namun, ia kembali mengunjungi keluarganya dan tiba pada hari yang sama ketika Israel mulai menyerang Gaza.

“Saya berencana untuk merayakan Hari Raya Idul Fitri bersama keluarga saya. Tapi secara mengejutkan, saya disambut oleh serangan besar dan pemboman pada saat kedatangan saya. Itu adalah kejutan besar bagi saya,” kata fotografer berusia 32 tahun.

Salem telah bekerja sebagai fotografer selama lebih dari sepuluh tahun. Dia meliput tiga perang terbaru di Gaza, Great March of Return, dan serangkaian protes pada tahun 2018. Karya Salem telah diterbitkan di AlJazirah English, New York Times, dan beberapa lembaga internasional.

“Pengalaman saya kali ini berbeda. Situasinya sangat sulit. Ada resiko besar pergi ke tempat-tempat yang dibom tanpa mengetahui apakah pemboman telah berhenti atau tidak,” tambah dia.

Dia menjelaskan serangan udara Israel memengaruhi semua fasilitas di Gaza. Menara, bangunan, jalan, rumah, bahkan kantor berita internasional pun menjadi target sasaran. Di balik kegigihannya selama liputan, Salem.

“Saya memiliki banyak ketakutan, terutama keluarga saya. Saya mencuri beberapa jam untuk pergi dan melihat mereka dan kembali ke lapangan. Ini adalah risiko pekerjaan. Saya harus menghadapi bahaya dari setiap serangan Israel,” ujar dia.


3. Samar Abu Elouf
Samar Abu Elouf (33 tahun) bekerja dari pagi hingga sore untuk meliput berita terbaru di Gaza. Dia adalah seorang fotografer lepas yang bekerja di New York Times. Bagi dia, liputan kali ini jauh lebih sulit dibandingkan sebelumnya. Pemboman ada di mana pun dan senjata yang digunakan berbeda-beda.

Ibu dari empat anak anak ini mengaku telah meninggalkan anak-anaknya untuk bekerja dan itu merupakan titik lemahnya. “Sangat sulit untuk meninggalkan anak-anak Anda sendirian sementara mereka sangat takut dengan suara bom yang keras di sekitar mereka,” ucapnya.

Beberapa hari yang lalu, Abu Elouf dan keluarganya mengevakuasi rumah mereka setelah rudal Israel menghantam rumah tetangga mereka.

“Itu adalah momen yang mengerikan. Anak-anak saya menangis dan kami meninggalkan rumah secepat mungkin. Rumah saya rusak parah akibat pemboman itu. Pecahan peluru dari rudal menembus atap,” ujar dia.

Terlepas dari tekanan ini, Abu Elouf mengatakan kesulitan tidak akan menghentikannya untuk melanjutkan pekerjaannya. Malahan itu meningkatkan tekadnya untuk meliput pertempuran ini.

4. Rushdi al-Sarraj
Rushdi al-Sarraj adalah seorang jurnalis dan pembuat film di perusahaan Ain Media. Pekerjaannya tidak hanya melaporkan apa yang terjadi tapi menggabungkan antara jurnalisme dan pembuatan film yang berfokus pada pemberitaan. Misalnya, situasi di balik pemberitaan.

“Saya selalu mencari orang-orang yang selamat dari reruntuhan bangunan mereka, berusaha menutupi cerita mereka dalam bingkai cerita pendek dan film,” kata pria berusia 29 tahun.

Menurut Sarraj, tugas ini sulit dilakukan dalam keadaan terlebih saat kondisi perang ini. “Anda dapat membayangkan bekerja di bawah serangan sengit yang tidak bisa membedakan antara jurnalis, warga sipil, atau pemimpin militer,” tuturnya.

Soal pemboman gedung media, al-Sarraj mengatakan Israel bekerja keras untuk membungkam gambar, suara, dan melarang berita atau informasi apa pun yang mengungkap kejahatannya.

Dia menceritakan Israel telah membunuh banyak jurnalis Palestina. Tugas seorang jurnalis di Gaza sangat berbahaya karena kurangnya alat pelindung seperti helm yang dilarang memasuki Jalur Gaza.

“Selalu sulit untuk memisahkan antara perasaan Anda sebagai jurnalis dan sebagai manusia ketika Anda melihat pemandangan darah yang mengerikan dan orang-orang di bawah reruntuhan. Keluarga saya tidak berhenti menelepon saya karena takut saya akan disakiti. Ini adalah lingkaran ketakutan dan kelelahan yang tak ada habisnya. Tapi di sisi lain kita harus tetap melaporkan berita,” kata dia.

 
Berita Terpopuler