Ganasnya Serangan Israel dan 212 Warga Gaza yang Gugur

Serangan Israel telah menyebabkan kerusakan berat di jalanan dan infrastruktur Gaza.

EPA-EFE/MOHAMMED SABER
Roket yang ditembakkan dari Gaza menuju Israel di Kota Gaza, Senin (17/5). Serangan roket Palestina merupakan balasan dari serangan udara yang bertubi-tubi diluncurkan Israel. Konflik yang sudah berlangsung sepekan setidaknya sudah menyebabkan lebih dari 200 orang meninggal di kedua sisi.
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Alkhaledi Kurnialam, Kamran Dwikarma, Dwina Agustin, Indira Rezkisari

Aksi gencatan senjata antara Israel dan Palestina agaknya masih jauh dari bisa terwujud. Padahal, Kementerian Kesehatan Gaza mencatat 212 warga Palestina sudah terbunuh selama sepekan serangan udara. Termasuk di antara warga yang gugur adalah 61 anak dan 36 perempuan. Sementara, 1.400 warga juga tercatat terluka akibat serangan udara.

Luka dan kematian tidak hanya terjadi di Palestina. Sebanyak 10 orang, termasuk anak laki-laki usia lima tahun, dan seorang tentara, tercatat meninggal akibat serangan udara balasan dari kawasan sipil di Gaza menuju kawasan sipil di Israel.

Dilansir dari AP, Selasa (18/5), eskalasi serangan udara yang terus meningkat ke Gaza, Palestina, sejak Senin mengakibatkan satu lagi bangunan rusak dan membunuh lima orang di dalam gedung. Serangan udara menghancurkan satu dinding ruang. Anak-anak di jalanan Gaza berjalan di antara puing-puing bangunan.

Mobil yang dilihat saksi menjadi korban serangan udara, tampak penyok dan rusak. Atap mobil seperti tercabik dan yang tersisa dari sisi pintu pengemudi dipenuhi dengan darah. Kafe tepi pantai yang baru disinggahi mobil tersebut sebelumnya terkena serangan rusak dan terbakar.

Wali Kota Gaza, Yahya Sarraj, mengatakan, serangan udara yang terbaru telah menyebabkan kerusakan berat ke jalanan dan infrastruktur. Akibat serangan udara pula pasokan air bersih ke ratusan rumah. "Kita berusaha keras bisa menyediakan air, tapi situasinya sangat sulit," katanya.

Warga Gaza terancam kesulitan makan, air, tempat tinggal, setelah sepekan serangan tak kunjung berhenti. Suheir al-Arbeed (30 tahun) salah seorang warga Gaza terlihat sedang membuat daftar kebutuhan dasar mereka yang terus kurang. Wanita itu sambil menggendong bayinya yang baru lahir di lantai sebuah ruang kelas, sementara lima anaknya yang lain keluar masuk ruangan.

“Kami membutuhkan makanan, pakaian, selimut, kasur, dan susu. Punggungku sakit karena tidur di atas selimut tipis di lantai,” kata al-Arbeed yang melahirkan dua pekan lalu dilansir dari Al Jazeera. "Saya harus meminta popok orang lain untuk anak saya. Aku mencoba menyusui dia, tapi dia masih lapar dan terus menangis,” katanya menambahkan.

Al-Arbeed adalah salah satu dari ratusan keluarga yang tinggal di Utara dan Timur Gaza yang meninggalkan rumah mereka pada Kamis (13/5) malam, ketika tembakan artileri Israel bom udara mengguncang wilayah mereka. Keluarga tersebut melarikan diri dengan berjalan kaki dan bergegas dalam kegelapan menuju sekolah Gaza al-Jadeeda yang jaraknya beberapa kilometer. Sebuah sekolah dari sekian banyak yang dikelola oleh UNRWA, badan PBB untuk pengungsi Palestina.

“Tidak ada mobil atau transportasi yang tersedia,” kata al-Arbeed, yang rumahnya terletak di daerah Shujaiyah di timur laut Gaza.

Ketegangan bermula Senin lalu ketika pasukan Israel menindak pengunjuk rasa di kompleks Masjid al-Aqsa di Yerusalem Timur yang dijajah, melukai ratusan warga Palestina. Ketika Israel gagal menarik pasukannya dari daerah sekitar situs suci, yang dikeramatkan bagi umat Islam dan Yahudi, Hamas menembakkan beberapa roket ke arah Yerusalem. Tak lama kemudian, Israel melakukan serangan udara di Gaza.

Menurut PBB, lebih dari 38 ribu warga Palestina di Gaza telah mengungsi secara internal dan mencari perlindungan di 48 sekolah UNRWA di seluruh wilayah pesisir.  Angka tersebut mencakup setidaknya 2.500 orang yang rumahnya hancur total dalam pengeboman Israel.

Dalam pernyataan singkatnya pada hari Senin, juru bicara UNRWA Adnan Abu Hassan mengatakan badan tersebut telah mulai menyediakan beberapa kebutuhan dasar bagi keluarga pengungsi. "Kami sangat membutuhkan dukungan," katanya mengacu pada penutupan perbatasan oleh Israel pada 10 Mei yang digunakan untuk membawa bantuan kemanusiaan.

Adapun Majda Abu Karesh adalah seorang ibu dari tujuh anak yang rumahnya di Beit Lahia telah dihancurkan. Ia mengatakan bahwa keluarganya harus mengurus diri sendiri terkait kebutuhan pokok.

“Ini adalah perang keempat kami harus mencari perlindungan di sekolah. Selama lima hari sekarang kami tidur di lantai kosong, dan kami belum menerima makanan atau persediaan apa pun dari UNRWA. Bahkan, tidak ada air minum yang bersih dan toiletnya berantakan,” ujarnya.

Sementara Shaher Barda, seorang warga Palestina lain terpaksa meninggalkan daerahnya hanya dengan pakaian di punggung mereka. Dia mengatakan, agen pengungsi tidak terlalu peduli dengan situasinya.

“Kami mengumpulkan sendiri, dan setiap orang membayar 1 syikal (Rp 430 ribu) agar kami dapat membeli cukup air. Kami di sini bukan karena pilihan, melainkan karena rumah kami bukan tempat perlindungan bom dan tidak ada yang selamat dari serangan gila Israel,” ungkapnya.

Rajai, kerabat Barda, mengatakan dia dan keluarganya tidak bisa kembali ke rumah mereka karena terlalu berbahaya. “Bagi banyak keluarga di sini, karena kami tinggal di daerah dekat pagar Israel, ini bukan pertama kalinya kami mengungsi,” katanya sambil duduk di atas selembar karton yang sekarang berfungsi sebagai tempat tidurnya.

“Kami ingin dunia mendukung kami. Dan, kami di Gaza berada di belakang Masjid Aqsa dan Palestina di Yerusalem dan di tempat lain. Kita semua harus berdiri bersama. Tapi, sekarang saya hanya perlu selimut untuk anak-anak saya, yang tidak bisa tidur semalam karena kedinginan,” ujarnya.

Baca Juga

 

Seorang juru bicara militer Israel pada hari Jumat mengakui intensitas pemboman dan penembakan. Ia mengatakan serangan dini hari termasuk 160 pesawat tempur menggunakan sekitar 450 rudal dan peluru untuk menyerang 150 sasaran dalam waktu 40 menit.

Juru bicara itu menyebut tentara Israel telah menargetkan jaringan luas terowongan bawah tanah yang digunakan oleh Hamas, tetapi banyak orang di daerah itu membantah pernyataan itu, dengan mengatakan mereka tidak melihat satupun pejuang.

Intensitas serangan Israel agaknya akan terus berlanjut setelah pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden dilaporkan telah menyetujui penjualan senjata berpemandu presisi senilai 735 juta dolar AS atau setara Rp 10,5 triliun ke Israel. Sumber senior Kongres AS yang mengonfirmasi kabar tersebut kepada Al Arabiya English pada Senin (17/5) mengungkapkan, anggota parlemen AS diberi tahu tentang penjualan senjata itu pada awal Mei. Seorang anggota Kongres dari Partai Demokrat yang dikutip Washington Post mengkritik langkah tersebut.

Washington Post adalah yang pertama kali menerbitkan laporan tentang penjualan senjata ke Israel. “Membiarkan penjualan bom pintar yang diusulkan ini dilakukan tanpa menekan Israel untuk menyetujui gencatan senjata hanya akan memungkinkan pembantaian lebih lanjut,” ujar anggota Kongres dari Demokrat yang dikutip Washington Post.

Menurut Washington Post, anggota parlemen AS telah mempertanyakan penjualan baru yang diusulkan, termasuk waktunya. Menurut mereka itu dapat digunakan sebagai pengaruh.

Setelah Kongres secara resmi diberi tahu tentang penjualan tersebut, mereka memiliki waktu 20 hari jika ingin menolaknya. Penolakan dilakukan dengan resolusi ketidaksetujuan yang bersifat tidak mengikat.

Sejak 10 Mei lalu, Israel membombardir Jalur Gaza dengan serangan udara. Menurut Kementerian Kesehatan Palestina, hingga Senin, setidaknya 200 warga Gaza, lebih dari 50 di antaranya anak-anak, telah tewas akibat agresi Israel. Sementara korban luka melampaui 1.000 orang.

Otoritas Palestina akan membawa masalah agresi Israel ke Majelis Umum PBB. Hal itu dilakukan setelah Dewan Keamanan PBB gagal menerbitkan resolusi terkait serangan terbaru Israel ke wilayah Palestina.

“Sayangnya, Dewan Keamanan PBB gagal mencapai resolusi untuk mengutuk dan menghentikan serangan Israel. Ini berarti kami akan pergi ke Majelis Umum PBB untuk mengadopsi resolusi di mana tidak ada negara yang memiliki hak veto,” kata Perdana Menteri Palestina Mohammad Shtayyeh dalam pertemuan kabinet pada Senin, dikutip laman Anadolu Agency.

Sebelumnya Shtayyeh menyerukan PBB segera menyatakan tindakan agresi Israel yang sedang berlangsung di Tepi Barat dan Jalur Gaza ilegal. “Serangan brutal Israel telah memusnahkan seluruh keluarga di Gaza,” ucapnya.

Militer Israel mengatakan, sekitar 2.900 roket telah ditembakkan dari Gaza ke Israel sejak awal pekan lalu. Israel mengatakan telah melancarkan serangan terhadap lebih dari 672 target militer di Jalur Gaza.

Biden namun disebut sudah menelepon Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu pada Senin (17/5). Menurut Gedung Putih, dia menyatakan dukungannya untuk gencatan senjata dalam pertempuran antara Israel dan Palestina.

"Presiden menyatakan dukungannya untuk gencatan senjata dan membahas keterlibatan AS dengan Mesir dan mitra lainnya untuk mencapai tujuan itu," kata Gedung Putih.

Biden mendorong Israel untuk melakukan segala upaya untuk memastikan perlindungan warga sipil yang tidak bersalah. "Presiden menegaskan kembali dukungan tegasnya untuk hak Israel untuk mempertahankan diri dari serangan roket tanpa pandang bulu," katanya, dilansir dari Reuters.

Eskalasi pertempuran antara Hamas dan Israel di Gaza berkaitan dengan memanasnya situasi di Yerusalem Timur, termasuk di sekitar kompleks Masjid Al-Aqsa. Warga Palestina di sana diketahui menggelar aksi demonstrasi menentang rencana Israel menggusur sejumlah keluarga Palestina yang tinggal di lingkungan Sheikh Jarrah.

 
Berita Terpopuler