Sinyal Positif Hubungan AS dan Iran

Amerika Serikat mengisyaratkan Perjanjian Nuklir Iran bisa kembali dihidupkan

Amerika dan Iran
Rep: deutsche welle Red: deutsche welle

Upaya menghidupkan kembali Perjanjian Nuklir 2015 atau JCPOA kini dipercepat menyusul kekhawatiran terhadap pergantian kekuasaan di Teheran pada pemilihan umum, Juni mendatang.

Seorang pejabat senior di Kementerian Luar Negeri AS mengatakan perundingan antara Iran dan negara barat di Wina, Austria, berlangsung "serius” dan "produktif.”

"Apakah mungkin mencapai kesepakatan sebelum pemilu Iran? Tentu saja,” kata dia. "Hal ini mungkin karena bukan hal yang rumit. Kita tidak sedang menggodok perjanjian baru, melainkan hanya menghidupkan kembali perjanjian lama,” imbuhnya.

Sekutu dekat Iran, Rusia, juga dikabarkan ingin agar kesepakatan dicapai dalam beberapa hari ke depan, sebelum masa kampanye pemilu Iran dimulai pada 18 Mei. AS pun mengisyaratkan dukungan atas usulan Moskow.

Untuk mencairkan kebuntuan, pemerintah di Washington sebelumnya sudah menegaskan siap menaati semua butir dalam perjanjian nuklir, jika Iran melakukan hal serupa. Menurut Kementerian Luar Negeri AS, kini keputusan ada di tangan Iran.

"Jika Iran sanggup membuat keputusan politik untuk kembali berkomitmen pada Perjanjian Nuklir, maka kesepakatan bisa dicapai dengan cepat, dan implementasinya juga akan lancar”, tutur pejabat yang enggan disebut namanya itu.

Dalam perundingan di Wina, Jumat (7/5), Iran diyakini akan memberikan sikap terkait tawaran AS dan Rusia. "Kita harus melihat apakah perundingannya maju atau kita masih menerima tuntutan tidak realistis dari Iran.”

Pemilu berpotensi perkuat kubu garis keras

Pergerakan dalam perundingan dengan Iran mulai muncul ketika Dewan Wali Iran mereformasi UU Pemilu sejak April silam. Di antara amandemen yang disahkan adalah batasan usia bagi kandidat presiden antara 40 dan 75 tahun. Klausul ini secara otomatis menggugurkan pencalonan sejumlah tokoh moderat.

April lalu Ayatollah Khamenei juga melarang pencalonan cucu mendiang pemimpin revolusi, Ayatollah Khomeini, Hassan Khomeini. Dia dikenal kritis terhadap kekuasaan para mullah dan derasnya pengaruh militer dalam politik.

 

Dengan gugurnya pencalonan Hassan, kaum moderat kini berharap pada Menteri Luar Negeri Mohammad Javad Zarif. Namun sosok yang sejak awal mengawal perundingan nuklir itu dinilai tidak memiliki basis massa dan sedang bersitegang dengan Ayatollah Khamenei.

Sebaliknya kaum konservatif diwakili sejumlah figur favorit, antara lain Mohsen Rezaei, bekas kepala Garda Revolusi Iran.

Reformasi UU Pemilu sebabnya dinilai menguntungkan kaum garis keras Itan. Harian berhaluan moderat, Shargh, menuduh Dewan Wali "tidak hanya membuat amandemen, tetapi secara efektif membuat hukum.”

Amandemen teranyar dianggap "mempermudah upaya menggugurkan kandidat yang berafiliasi dengan gerakan-gerakan besar,” tulis harian tersebut, lantaran alasan samar seperti "kurangnya loyalitas pada Islam atau hubungan dengan kelompok musuh,” yang kian sulit divalidasi.

Sebaliknya, harian konservatif Vatan-e Emrooz, menyambut putusan Dewan Wali. Harian terbitan Teheran itu menilai amandemen UU Pemilu "mengakhiri praktik pelanggaran hukum.” Sementara harian garis keras lain, Kayhan Daily, menulis reformasi "menutup celah hukum,”

Sejauh ini sudah 20 calon kandidat yang telah mengumumkan pencalonannya untuk jabatan presiden. Presiden Hassan Rouhani sendiri tidak bisa mencalonkan diri karena sudah melewati dua kali masa jabatan.

rzn/hp (rtr, afp)

 
Berita Terpopuler