Mendorong Proses Hukum kepada KKB Papua

Konflik di Papua adalah persoalan yang sangat rumit dan multidimensional.

Antara/Nova Wahyudi
Personel Polisi Polda Sumatera Selatan mengusung peti jenazah personel Batalyon C Res III Pas Pelopor Korbrimob Polri Bharada I Komang Wira Natha kedalam mobil jenazah di terminal kargo Bandara Internasional Sultan Mahmud Badaruddin (SMB) II Palembang, Sumatera Selatan, Rabu (28/4/2021). Anggota Satgas Nemangkawi Bharada I Komang Wira Natha tersebut gugur akibat tertembak oleh Kelompok Separatis dan Teroris (KST) Papua di Kampung Makki, Distrik Ilaga Utara, Kabupaten Puncak, Papua pada Selasa (27/4) lalu.
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ronggo Astungkoro, Antara

Pemberian label teroris kepada kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua dinilai kurang tepat. Pemerintah didorong untuk mengedepankan proses hukum bagi pihak-pihak yang terbukti melakukan gangguan keamanan atau tindak pidana di Tanah Papua.

Mantan Wakil Ketua Komnas HAM, Stanley Adi Prasetyo, menyatakan, daripada melabeli kelompok KKB sebagai teroris, pemerintah semestinya memproses hukum mereka. Menurut dia, itu merupakan tugas negara beserta aparat hukumnya terhadap pihak-pihak yang menimbulkan gangguan keamanan atau bertindak pidana.

"Karena memang tugas negara itu, tugas aparat penegak hukum, adalah menangkap, mengadili, dan kemudian memidanakan mereka yang melakukan perbuatan pidana," ujar Stanley dalam diskusi daring dengan tema "DOM Terselubung di Papua", Jumat (7/5).

Stanley mengaku tidak mengerti mengapa pemerintah mengambil jalan dengan melabeli KKB sebagai teroris. Padahal, kata dia, hal tersebut justru akan menambah permasalahan yang sudah ada dalam upaya penyelesaian konflik di Papua, terlebih dalam upaya diplomasi dengan dunia internasional.

"Akan muncul pertanyaan dari negara-negara internasional yang mengakomodasi perwakilan OPM di negara mereka. Dan kemudian menimbulkan masalah juga di dalam diplomasi internasional yang akan dilakukan oleh Indonesia," kata dia.

Selain itu, Stanley melihat, status keadaan di Papua saat ini juga tidak jelas. Pada Orde Baru, kata dia, wilayah Papua ditetapkan sebagai wilayah daerah operasi militer (DOM). Status tersebut berakhir pada 1998 dan hingga kini tidak ada kejelasan lebih lanjut mengenai status tersebut.

"Apakah tertib sipil, darurat sipil, darurat militer, atau darurat perang? Ada perbedaan-perbedaan di antara stages keempatnya ini. Kalau darurat perang memang seluruh resources nasional harus dikerahkan untuk mempertahankan negara dan wilayah," jelas dia.

Ketidakjelasan status tersebut menyebabkan ketidakjelasan beberapa hal yang terjadi di Papua. Hal-hal itu, yakni terkait sulitnya pers asing untuk meliput di Papua. Menurut dia, pers asing mengalami banyak hambatan untuk memasuki wilayah Papua.

"Kemudian, kenapa ada operasi-operasi baik yang gabungan dari TNI-Polri maupun operasi khusus yang dilakukan oleh Densus 88 Polri," ungkap Stanley. "Kalau darurat perang memang seluruh resources nasional harus dikerahkan untuk mempertahankan negara dan wilayah," jelas dia.

Stanley mengatakan, berdasarkan pengalaman di Aceh, pemerintah kala itu menetapkan Aceh sebagai DOM. Dalam penetapan itu, pemerintah memberlakukan status tersebut selama enam bulan dan setelahnya akan ditinjau apa saja yang sudah dilakukan.

"Bagaimana dengan Papua? Militer banyak hadir di sana, operasi juga banyak tapi tidak ada kejelasan status, hambatan-hambatan terhadap freedom of speech, freedom of the press itu jadi pertanyaan banyak pihak," kata dia.

Hal itu juga berdampak pada dikotomi terhadap KKB. Dia menjelaskan, pihak kepolisian menyebut mereka dengan sebutan KKB, sementara TNI menyelipkan separatis menjadi kelompok kriminal separatis bersenjata (KKSB). Perbedaan dikotomi itu membuat kegamangan terkait siapa yang akan berada di barisan depan untuk melakukan operasi.

"Ini belum padu. Nah, apakah nanti stelah penetapan OPM ini sebagai teroris kemudian tidaklah lagi ada dikotomi itu jadi pertanyaan-pertanyaan saya," jelas dia.

Menurut Stanley, jika ingin memenangkan hati orang-orang Papua, pemerintah semsetinya tidak menetapkan KKB sebagai teroris. Pemerintah semestinya melakukan penindakan hukum dengan sasaran yang tepat dan presisi. Dalam prosesnya pun jangan sampai mengorbankan atau menimbulkan ketakutan pada masyarakat.

"Karena OPM melakukan prinsip perang gerilya. Mereka juga mencoba memenangkan hati masyarakat. Mereka menyebarkan ideologi tentang kemerdekaan Papua dan seterusnya. Indonesia harus memberikan upaya lebih untuk memenangkan hati masyarakat Papua," tutur dia.

Selain itu, Stanley menyatakan, pemerintah Indonesia juga harus lebih memerhatikan upaya diplomasi. Menurut dia, penetapan KKB sebagai teroris jutru memperunyam diplomasi internasional yang sedang Indonesia lakukan demi mencegah adanya intervensi negara asing terhadap wilayah Indonesia.

Pelabelan terorisme dilihat Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, yang menjadi bagian dari Koalisi Masyarakat Sipil, sebagai jalan pintas dari konflik di Papua. Dia menyatakan, alih-alih menghentikan kekerasan seperti yang dibutuhkan oleh masyarakat Papua, pemerintah justru mencari jalan pintas.

Jalan pintas tersebut melegitimasi kekerasan yang selama ini dilakukan di Papua. Atas dasar itu Koalisi Masyarakat Sipil menilai kebijakan pelabelan ini memiliki banyak permasalahan. "Dan justru akan semakin memperburuk kondisi konflik di Papua," jelas Usman.

Menurut Usman, kebijakan pemerintah yang memberikan label teroris kepada KKB justru semakin mempertegas pendekatan keamanan bagi penanganan konflik Papua. Itu juga mengabaikan pendekatan keamanan manusia yang sejatinya dibutuhkan dalam penyelesaian konflik.

Atas dasar itu, dia menyatakan, selain berpotensi kontraproduktif dan memperburuk spiral kekerasan, kebijakan tersebut justru akan semakin memperpanjang daftar pelanggaran HAM di Papua. Kebijakan itu juga akan berujung pada instabilitas kondisi keamanan.

Koalisi Masyarakat Sipil memandang pemerintah sebetulnya memiliki modal serta pengalaman historis untuk menyelesaikan konflik Papua dengan pendekatan damai dan bermartabat melalui jalan dialog. Mereka berkaca pada penyelesaian Konflik Aceh dan Konflik Poso. Koalisi memandang pengalaman penyelesaian konflik-konflik tersebut semestinya dapat menjadi pelajaran penting bagi pemerintah untuk penyelesaian Konflik Papua.




Baca Juga

Konflik yang terjadi di Papua harus diurai dari akar persoalannya dan diambil langkah-langkah penyelesaian secara holistik dan kolaboratif. Direktur Eksekutif IPI, Karyono Wibowo, mengatakan, konflik Papua harus dipahami dalam spektrum yang lebih luas karena di Papua tak berlaku solusi tunggal. Masalah di Papua sangat heterogen, multidimensi dan rumit.

"Konflik Papua ini tergolong paling alot, sangat lama dibanding di wilayah lain. Maka perlu kajian mendalam untuk mengidentifikasi akar persoalan konflik," kata Karyono.

Anggota Komisi I DPR, Bobby Adhityo Rizaldi, mengatakan, sebenarnya pembangunan di Papua sudah terlegislasi dan teregulasi dengan baik, antara lain, dengan adanya UU 21/2001 tentang Otsus Papua. Kemudian Perpu No. 1 Tahun 2008 yang mengamanatkan agar Papua mewujudkan keadilan; penegakan supremasi hukum; penghormatan HAM; percepatan pembangun ekonomi; dan peningkatan kesejahteraan dalam rangka kesetaraan.

"Bicara konflik Papua, perlu dilihat, apakah masalah ada pada regulasi, perda, ataukah secara taktis implementasinya. Sebab dengan dana otsus yang ratusan triliun pasti indeks manusianya meningkat," kata Bobby.

Dia mencontohkan, ketika Presiden Jokowi menggenjot pembangunan infrastruktur jalan lintas, BBM satu harga, dan program lainnya, ternyata masih ada kendala di lapangan berupa pertentangan antara yang mendukung dan melawan kebijakan itu. "Pembangunan jalan ruas Papua, masih banyak diganggu. BBM satu harga ternyata masih ada biaya tambahan. Maka secara taktis harus dilihat. Mana yang mendukung program pemerintah dan mana yang menolak dan menghambat kemajuan," katanya.

Sedang staf Khusus Presiden/Pengusaha Muda Papua, Billy Mambrasar menilai pembangunan Papua sebenarnya sudah berjalan baik, khususnya dengan basis sumber daya manusia. Dan sejak berlakunya Otsus Papua tahun 2001, upaya itu sudah dilakukan.

"Saya menerima beasiswa Otsus dan saya hanya satu cerita dari ribuan cerita lainnya. Kami ikut dalam human centered development process," tutur Billy.

Ia menilai konsep membangun bersama masyarakat Papua telah membuka peluang kemajuan yang sangat potensial. Jika dulu pemerintah pusat membangun ke Papua, maka sekarang waktunya mengkapitalisasi SDM anak Papua yang sudah siap ikut membangun daerahnya.

Billy juga menyebut pembangunan di Papua harus berbasis potensi lokal. Mengembangkan potensi itu tentunya bersifat terstruktur melibatkan masyarakat asli Papua."Orang asli Papua adalah mitra pembangunan pemerintah," katanya.

Sementara itu pengamat politik President University, Dr AS Hikam, menilai Papua mestinya dilihat dengan cara pandang yang berorientasi pada humanistik dan kebudayaan karena masalah Papua bisa diselesaikan dengan pendekatan yang khas masyarakat sipil. "Jadi bagaimana masyarakat sipil bisa terlibat secara sukarela dalam menyelesaikan masalah. Ini kedengarannya sederhana tapi tidak mudah. Apalagi jika mereka masih ada trauma," jelas Hikam.

Bagi Hikam, apa yang sudah dilakukan pemerintah memang sangat baik. Tapi kalau tidak berbasis fakta riil di lapangan, maka hasilnya mungkin tak akan terlalu efektif.

Sebagai contoh, Otsus Papua dan dana triliunan rupiah yang mengikutinya juga masih jadi pertanyaan, sejauh mana efektivitasnya. "Memang secara normatif sudah dilakukan pembangun Indonesia untuk Papua. Tapi persoalan paling krusial adalah pada penanggulangan masalah korupsi. Inilah yang membuat masyarakat dengan mudah kecewa. Entah benar atau tidak, bagaimana pejabat yang menikmati dan masyarakat masih miskin," kata Hikam.

Daftar Korban Kekerasan KKB - (Infografis Republika.co.id)
 



 
Berita Terpopuler