Tes Wawasan Kebangsaan, Cara Halus Usir Pegawai Top KPK?

Tes pegawai KPK jadi satu upaya memperlemah lembaga antirasuah.

Indrianto Eko Suwarso/ANTARA
Ketua KPK Firli Bahuri (kedua kanan) bersama Wakil Ketua Nurul Ghufron (kanan), anggota Dewan Pengawas Indriyanto Seno Adji (kedua kiri) dan Sekjen Cahya Hardianto Harefa (kiri) memberikan keterangan pers mengenai hasil penilaian Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) dalam rangka pengalihan pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (5/5/2021). Dari 1351 pegawai KPK, sebanyak 1274 peserta berhasil memenuhi syarat dan 75 peserta tidak memenuhi syarat sementara dua orang tidak mengikuti tes.
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rizky Suryarandika, Haura Hafizhah, Dian Fath Risalah, Mimi Kartika

Tes wawasan kebangsaan yang dijalani pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai janggal. Setidaknya menurut Direktur Eksekutif Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago, tes wawasan kebangsaan terhadap para pegawai KPK sengaja dibuat-buat dengan tujuan tertentu.

"Ujian wawasan kebangsaan hanya akal-akalan saja," kata Pangi kepada Republika, Kamis (6/5). Pangi menganggap tes wawasan kebangsaan hanyalah siasat untuk mendepak pegawai KPK. Khususnya mereka yang selama ini berurusan dengan kasus korupsi berskala besar dan melibatkan pejabat penting.

"Ini jelas cara halus mengusir pegawai KPK yang selama ini teruji dan punya jam terbang yang moncer dan punya track record dalam menangani kasus kasus korupsi kelas kakap. Bukan kasus korupsi kaleng-kaleng di bawah Rp 1 miliar," ujar Pangi.

Pangi juga menyoroti soal yang ditanyakan dalam tes pegawai KPK terbilang aneh. Pangi menduga materi tes tersebut mengenai dasar negara dan konstitusi. Namun tes itu dikabarkan mempertanyakan soal agama Islam dan LGBT yang jauh dari isu pemberantasan korupsi.

"Pertanyaan ngawur dan tidak relevan, pertanyaan wawasan kebangsaan pikiran kita awalnya bahas Pancasila, UUD dan konstitusi. Setelah baca pertanyaan, mari kita ketawa bareng, lucu banget pertanyaan wawasan kebangsaannya," ucap Pangi.

Pangi menganggap tes wawasan kebangsaan tak bisa menjadi dasar penilaian pegawai KPK. "Pengangkatan status PNS dan ada ujian wawasan kebangsaan yang nampaknya ngawur pertanyaannya. Dagelan lelucon yang tak lucu, yang jelas makin nyata dari bentangan empiris semua adalah desain upaya pelemahan KPK," kata Pangi.

Pangi juga tak sepakat mengenai peralihan pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Menurutnya, peralihan ini akan membuat kinerja KPK melambat karena cara kerja ASN dianggap tak sesuai dengan kinerja KPK selama ini.

"Pengangkatan pegawai KPK menjadi PNS saja sudah kelihatan ujung dari lagu ini semua, dibuat bekerja seperti patron clean (patronase). Cara kerja antara komisioner atau ketua KPK ibarat ayah dan ibu sementara pegawai ASN KPK nanti anak. Bagaimana memberantas korupsi kalau hubungan seperti anak dan ayah?" singgung Pangi.

Pengamat Hukum sekaligus Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) dari Universitas Andalas, Feri Amsari, melihat materi tes wawasan kebangsaan tidak berhubungan dengan tugas-tugas KPK. "Tes asessment KPK itu sangat aneh dan janggal sekali. Hal-hal yang relatif berkeyakinan agama itu tidak ada korelasinya dipertanyakan dengan tugas-tugas dari KPK. Seolah-olah KPK tidak dibangun dengan rezim anti agama yang kemudian menggunakan pola ukur atau alasan nilai-nilai agama dianut dan diyakini KPK adalah terkait tidak Pancasialis," katanya saat dihubungi Republika.

Baca Juga

Baca juga : KPK tidak akan Pecat Pegawai yang Gagal Tes ASN

Hal tersebut menunjukkan terdapat rezim KPK baru di bawah kepemimpinan Ketua Komisi Firli Bahuri dan pemerintahan Joko Widodo (Jokowi). Ia pun merasa, tes sengaja dibuat untuk menyingkirkan pegawai-pegawai KPK yang selama ini membongkar kasus korupsi secara besar.

"Seluruh yang disingkirkan pegawai KPK terdiri dari tiga komponen yaitu kasatgas perkara-perkara megakorupsi, anggota satgas perkara korupsi politik dan pejabat yang sedang di posisi signifikan memperkuat KPK," kata dia.

Ketua Setara Institute, Hendardi, namun melihat tes wawasan kebangsaan yang membuat sejumlah pegawai KPK tidak lolos menjadi ASN seharusnya disikapi dengan wajar saja. "Ada yang lolos dan ada yang gagal adalah lumrah. Tes ASN biasa dilakukan secara kuantitatif dan obyektif, termasuk biasanya menggunakan vendor pihak ketiga," kata Hendardi dalam keterangan.

Menurut Hendardi, hal yang bisa dipastikan adalah justru bahwa pemerintah saat ini sedang giat menangani intoleransi dan radikalisme yang terus mengikis ideologi Pancasila. Yaitu di lingkungan ASN, TNI, Polri, Universitas dan sekolah-sekolah, termasuk di  KPK.

"Siapa pun yang dalam dirinya bersemai intoleransi dan radikalisme, maka bisa saja tidak lolos uji moderasi bernegara dan beragama," kata dia.

KPK mengadakan tes wawasan kebangsaan sebagai bagian dari revisi UU KPK terhadap 1.351 pegawai KPK. Hasilnya, kata Komisioner KPK Nurul Ghufron, sebanyak 1.274 pegawai lulus tes dan sisa 75 pegawai tidak lulus.

Ketua KPK Firli Bahuri kemudian menyerahkan hasil tes ke Kementerian ASN di bawah Menteri Tjahjo Kumolo. Namun Tjahjo menegaskan, hasil tes adalah kewenangan komisi itu sendiri.





Ketua KPK, Firli Bahuri, menilai pengalihan pegawai KPK sebagai ASN justru merupakan berkah. Dia bahkan berterima kasih kepada pemerintah karena telah diberi kesempatan lebih dulu beralih status dari pegawai independen menjadi ASN di tengah banyaknya pegawai honorer yang belum diangkat sebagai ASN.

"Meskipun dalam keadaan kita sangat paham bahwa negara kita memiliki beban yang sangat besar, banyak honorer yang belum diangkat menjadi ASN, KPK diberikan kesempatan untuk beralih menjadi ASN," kata Firli dalam konferensi pers yang digelar di Gedung Merah Putih KPK, (Rabu 5/5).

Peralihan status kepegawaian KPK mengikuti Undang-Undang nomor 19 tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Konstitusi hasil revisi itu mengharuskan seluruh pegawai KPK melepaskan status karyawan independen mereka menjadi pegawai pemerintah.

Para pegawai KPK pun kemudian mengikuti tes guna menjadi ASN. Firli mengatakan peralihan status pegawai KPK menjadi ASN telah disiapkan secara matang. Sebab, sambung dia, hal ini berdampak pada pelaksanaan perundangan.

"Karena sesungguhnya KPK adalah pelaksana undang-undang," tegasnya.

Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan, pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN. Mekanismenya harus sesuai ketentuan peralihan yang diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.

"Dalam pengalihan tersebut tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN dengan alasan apapun di luar desain yang telah ditentukan tersebut," demikian dikutip berkas putusan nomor 70/PUU-XVII/2019 yang diunggah laman resmi MK, Kamis (6/5).

Baca juga : Kami Bandingkan Tes di KPK dengan di Buku Soal, Ini Hasilnya

Dalam pertimbangannya, Mahkamah menilai, para pegawai KPK selama ini telah mengabdi di KPK dan dedikasinya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi tidak diragukan. Dalam ketentuan umum Pasal 1 angka 6 UU 19/2019, telah ditentukan nomenklatur pegawai KPK adalah ASN sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai ASN.

Dalam pelaksanaan proses peralihan pegawai KPK menjadi pegawai ASN masih harus didasarkan pada ketentuan peralihan UU 19/2019. Muatannya berkenaan dengan penyesuaian pengaturan tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan UU lama terhadap UU baru.

Tujuan adanya ketentuan peralihan tersebut untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum, menjamin kepastian hukum, memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan ketentuan undang-undang, dan mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara.

Oleh karena itu, ketentuan peralihan dalam Pasal 69B dan Pasal 69C UU 19/2019 telah menentukan desain peralihan dimaksud supaya tidak terjadi persoalan bagi mereka yang terkena dampak, apalagi sampai menimbulkan kekosongan jabatan dalam KPK. Bagi penyelidik atau penyidik KPK dan pegawai KPK yang belum berstatus sebagai pegawai ASN, dalam jangka waktu paling lama dua tahun terhitung sejak UU 19/2019 mulai berlaku, dapat diangkat sebagai ASN.

Dengan ketentuan untuk penyelidik atau penyidik KPK telah mengikuti dan lulus pendidikan di bidang penyelidikan dan penyidikan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagi pegawai KPK, pengangkatan dimaksud dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Peraturan perundang-undangan yang dimaksud tunduk pada UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, berikut peraturan pelaksananya. Berkenaan dengan status sebagai pegawai ASN bagi pegawai KPK sama sekali tidak menghilangkan kesempatan bagi mereka untuk berserikat dan berkumpul, sepanjang dilakukan sesuai ketentuan perundang-undangan dan semata-mata untuk mencapai tujuan KPK dalam desain pemberantasan korupsi.

Sebagai konsekuensi beralihnya status pegawai KPK menjadi ASN, maka pengaturan pemberhentian ASN dalam UU 5/2014 dan peraturan pelaksananya berlaku sepenuhnya bagi penyelidik atau penyidik KPK dan pegawai KPK, tanpa ada yang dikecualikan. Pasal 45A UU 19/2019 pada pokoknya mengatur mengenai syarat yang harus dipenuhi untuk pengangkatan penyidik KPK yang statusnya dalam Pasal 69B ayat (1) UU 19/2019 sebagai ASN.

"Dengan sendirinya apabila penyidik diberhentikan sebagai ASN maka diberhentikan pula dari jabatannya sebagai penyidik KPK. Pemberhentian PNS tersebut dapat karena diberhentikan dengan hormat atau diberhentikan tidak dengan hormat (vide Pasal 87 UU 5/2014)," kata Mahkamah.

Dengan demikian, jika terpenuhi penyebab diberhentikannya PNS, baik dengan hormat atau tidak dengan hormat, maka jabatan apapun yang melekat pada diri PNS tersebut ikut berhenti. Termasuk jabatan sebagai penyidik KPK.

Permohonan perkara nomor 70/PUU-XVII/2019 diajukan Anang Zubaidy dan kawan-kawan yang merupakan advokat/konsultan hukum di Pusat Studi Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Dalil permohonan terhadap pasal yang berkaitan dengan pengalihan pegawai KPK menjadi ASN dinyatakan tidak beralasan hukum oleh MK, tetapi hakim memberikan sejumlah pertimbangan hukumnya.

KPK - (republika/mgrol100)



 
Berita Terpopuler