Mantan Komandan Kapal Selam Buka Suara Soal Radiasi

Ada sejumlah isu yang coba dia luruskan, mulai penyakit hingga ditelantarkan TNI AL.

Dispenal
Mantan Komandan Satuan Kapal Selam (Dansatsel) Koarmada II Iwa Kartiwa.
Rep: Ronggo Astungkoro Red: Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID, Sembari terisak, pria berbadan kurus dengan mengenakan masker dan seragam TNI Angkatan Laut (AL) mencoba meluruskan isu-isu tak sedap mengenai dirinya di media maupun media sosial. Masker berlapis yang ia kenakan membuat suaranya tak begitu terdengar dan bicaranya tidak begitu cepat.

Pria tersebut bernama Iwa Kartiwa, seorang prajurit TNI AL dengan pangkat Kolonel Laut (P) yang namanya belakangan santer terdengar dikaitkan dengan kapal perang Republik Indonesia (KRI) Nanggala-402. Dia disebut-sebut mengidap penyakit akibat terkena radiasi selama bertugas di kapal selam.

"Pada hari ini kami hadir untuk klarifikasi," ungkap Iwa yang hadir di Rumah Sakit TNI AL dr Mintohardjo, Jakarta Pusat, dengan menggunakan kendaraan pribadi dari Tasikmalaya, Jawa Barat, Selasa (4/5).

Ada sejumlah isu yang coba dia luruskan, mulai dari penyakit yang dia derita, penyebab penyakitnya tersebut, kondisi badan, kondisi tempat tinggal, dan isu yang menyebut dia ditelantarkan oleh TNI AL. Dia memulai, dengan isu yang menyebut dia terbaring sakit sampai tak dapat berbicara sama sekali.

"Ada pernyataan tentang kondisi saya yang terbaring sakit tidak bisa berbicara, hanya bisa di tempat tidur. Saya sampaikan pada media, saya seperti ini. Kalau dikatakan sakit, saya masih bisa beraktivitas, biarpun terbatas," ungkap dia.

Kemudian, terkait isu dia terkena radiasi sebuk besi karena terlalu lama berada di kapal selam selama berdinas di Satuan Kapal Selam. Ali menceritakan, dia bertugas di kapal selam sejak berpangkat letnan dua bersama rekan-rekannya.

"Kami bagian yang tak bisa terpisahkan. Kalau dikatakan lama, adapun radiasi, buktinya beliau yang bertugas dengan kami masih sehat," ujar Iwa sembari menahan tangis dan melihat kepada Asisten Asisten Perencanaan dan Anggaran Kepala Staf Angkatan Laut (Asrena KSAL), Laksda Muhammad Ali.

 

Mantan Komandan Satuan Kapal Selam (Dansatsel) Koarmada II Iwa Kartiwa (kiri) dan Asisten Asisten Perencanaan dan Anggaran Kepala Staf Angkatan Laut (Asrena KSAL), Laksda Muhammad Ali (kanan) saat memberikan keterangan pers, Selasa (4/5). - (Dispenal)

Menurut pria yang pernah menjabat sebagai Komandan Satuan Kapal Selam (Dansatsel) Koarmada II itu, kapal selam didesain oleh para ahli untuk membawa personelnya di kedalaman air dengan aman. Sehingga, personel yang berada di kapal selam dia sebut akan aman kondisinya selama menyelam sesuai spesifikasinya.

"Jadi, kondisi saya saat ini memang sejak lama karena kurang disiplin diri. Jadi saya kondisi sedang perawatan, tapi bukan karena dinas di kapal selam," tutur Iwa.

Iwa juga disebut-sebut sakit hingga menjual rumah pribadinya. Dia menampik kabar tersebut. Dia mengaku, memiliki dua rumah, satu rumah dinas dan satu rumah pribadi di Tasikmalaya. Menurut Iwa, dia tidak pernah menjual apapun saat mengalami sakit itu.

"Saya tidak pernah jual apapun karena angkatan laut selalu berikan segalanya untuk saya. Saya diberikan kemudahan, sampai terakhir Februari masih diberikan obat oleh AL. Tidak ada masalah," jelas dia.

Masih terkait rumah pribadinya, dia menerangkan, rumah yang ia tinggali sekarang ini dipilih berdasarkan perhitungan yang keluarganya lakukan dan bukan di gang sempit. Soal kelayakan, rumah yang dia tinggali itu sudah sangat nyaman dia rasakan.

"Buat kami itu rumah yang sangat nyaman. Kami bisa bermain di halaman, di belakang. Kiri-kanan masih ada halamannya, ada empat kamar. Buat kami sudah lebih dari cukup," kata Iwa.

Menurut dia, dinas di kapal selam memang memiliki risiko yang tinggi. Tapi, risiko tinggi bukan saja dimiliki oleh prajurit di kapal selam, tetapi juga prajurit lain yang bertugas di luar kapal selam, baik itu di matra laut, darat, maupun udara.

"Para prajurit lain yang ada di medan tempur darat, laut udara, punya risiko yang sama," jelas Iwa.

 

Iwa kemudian menerangkan, dia tidak pernah bertemu media sebelumnya. Dia baru berhadap-hadapan dengan media saat sakit ketika berada di RS TNI AL dr Mintohardjo saja. Sehingga, apa yang ramai dibicarakan belakangan bukan berasal dari dirinya.

"Kami tidak ingin mencari sensasi apa-apa, apalah artinya kami, saat ini kami sedang berduka, saudara kami gugur, kami tidak mau mencari sesuatu yang tidak pantas. Saya merasa malu. Bukan saya bela diri, tapi saya tidak mengeluarkan (pernyataan) apapun," ungkap mantan komandan KRI Cakra-401 itu.

Dia kemudian menekankan, TNI AL sangat memperhatikan kondisinya. Para pimpinan TNI AL sampai mengirimkan dokter pribadi untuk memeriksa kondisi kesehatannya ke rumah yang berada di Tasikmalaya tersebut. Sehingga, dia tidak mengalami kesulitan untuk berobat.

Syaraf Kejepit

Lebih lanjut Iwa menerangkan, soal penyakit sebenaenya yang ia derita. Semua berawal pada sekitar hari raya Idul Fitri 2017 ketika dia masih menjabat sebagai Dansatsel Koarmada II. Iwa ingat, ketika itu dia berada di rumah pribadinya menjalani libur saat izin lebaran. Di suatu ketika, dia tiba-tiba terjatuh saat batuk dengan posisi badan menunduk.

"Pada waktu itu memang tidak bisa berdiri sampai satu bulan. Kami terbaring di tempat tidur. Kami pulang ke Surabaya dan saat itu kami masih memakai tongkat. Itu awal mulanya," tutur Iwa.

Melihat kondisinya yang seperti itu, Iwa diperintahkan untuk lekas memeriksakan diri ke RS TNI AL. Dari hasil observasi yang dilakukan, ternyata Iwa terkena hernia nukleus pulposus (HNP) atau sering dikenal dengan sebutan syaraf kejepit.

"Syaraf kejepit di nomor empat dan lima. Sejak saat itu, saat kami beraktivitas membutuhkan tongkat. Kami berjalan, kaki kiri kami tidak bisa mengayun, seperti tidak bisa mengayun," jelas dia.

Meski dalam keadaan tersebut, Iwa masih dapat melaksanakan tugas hingga akhir masa jabatannya sebagai Dansatsel Koarmada II. Dia mengaku, ketika itu hanya kaki kirinya saja yang tak dapat digerakkan sehingga untuk melaksanakan aktivitas lainnya tidak ada gangguan.

 

"Jadi, awalnya kena syaraf kejepit kami punya riwayat lain dan itu sebabnya kami sudah jarang berolahraga. Kami hanya bersepeda, berenang. Setelah kami ke Komandan Pusdikpel karena ada situasi pandemi, kami yang harus mawas diri, setelah itu aktifitas kami semakin berkurang untuk olahraga," kata dia.

Mendengar penjelasan Iwa, Asrena KSAL meminta agar kejadian tenggelamnya KRI Nanggala-402 tidak dipolitisasi. Jangan kemudian kejadian tersebut dibawa atau dihubungkan dengan hal-hal yang berada di luar fokus pengevakuasian dan pencarian penyebab tenggelamnya kapal tersebut.

"Kita sedang berduka, jadi konsentrasi kita adalah pada keluarga korban dan proses evakuasi ini," ungkap Ali.

Pada kesempatan itu, dia juga menerangkan, soal proses evakuasi KRI Nanggala-402. Ali, mengungkapkan, proses pengangkatan KRI Nanggala-402 agak sulit untuk dilakukan. Karena itu, dia menyatakan, proses evakuasi tidak dapat ditentukan batas waktunya.

"Untuk mengangkat memang agak susah mungkin, karena untuk menempelkan pengait (kapal) dengan barang yang akan diangkat itu butuh tangan," ujar Ali.

Menurut Ali, tangan yang dimaksud bisa tangan penyelam atau tangan robot bawah laut. Namun, untuk penyelam memerlukan pakaian khusus yang dapat mencapai kedalaman 838 meter di bawah laut, lokasi KRI Nanggala-402 berada.

"Kalau penyelam dia harus pakai baju khusus yang bisa sampai kedalaman segitu. Nah ini agak sulit, mungkin akan dibantu robot untuk pasang itu (pengait)," jelas Ali.

Ali menerangkan, kapal yang memiliki pengait itu merupakan kapal milik SKK Migas. Kapal tersebut memang biasa beroperasi untuk memasang pipa-pipa bawah laut. Pengait tersebut, kata dia, dapat mengangkut barang yang cukup berat dari bawah laut.

 

Selain kapal milik SKK Migas, ada juga tiga kapal milik AL China yang akan membantu proses pengevakuasian KRI Nanggala-402. Kapal-kapal itu, yakni PRC Navy Ship Ocean Tug Nantuo-195, PRC Navy Ocean Salvage & Rescue Yong Xing Dao-863, dan Scientific Salvage Tan Suo II. Kapal terakhir dikabarkan masih dalam perjalanan.

Spesifikasi kapal-kapal salvage tersebut, yakni Ocean Salvage and Rescue Yongxingdao-863 memiliki panjang 156 meter, lebar 21 meter dan tinggi 7,5 meter. Kapal ini memiliki robot, sonar, side scane sereta boat rescue. Sementara itu,  Ocean Tug Nantuo-185 memiliki  panjang 119 meter, lebar 16 meter dan tinggi 6,5 meter.

Sedangkan Scientific Salvage Tan Suo II memiliki panjang 87,2 meter, lebar 18 meter dan tinggi 7 meter. Kapal-kapal salvage AL China  ini memiliki kemampuan untuk melaksanakan evakuasi  sampai kedalaman 4500 meter.

"Jadi ada tiga kapal China kemudian ada satu kapal dari SKK Migas itu siap akan berupaya terus menerus untuk mencoba mengevakuasi KRI Nanggala yang telah ditemukan posisinya di dasar laut Bali," kata dia.

Ali menyatakan, hingga saat ini hanya bagian-bagian kecil dari KRI Nanggala-402 saja yang dapat diangkat ke permukaan. Untuk bagian-bagian yang besar belum dapat dilakukan. Meski begitu, Ali menyatakan, upaya pengevakuasian secara keseluruhan akan terus dilakukan.

"Masalah batas waktu itu tidak bisa ditentukan batas waktu karena tergantung medan, situasi. Di mana di laut Bali kita ketahui juga ada internal wave," kata dia.

Sejauh ini, dua kapal China yang sudah tiba di perairan Bali adalah PRC Navy Ship Ocean Tug Nantuo-195 dan PRC Navy Ocean Salvage & Rescue Yong Xing Dao-863. Saat tiba pada Ahad (3/5) lalu, kedua kapal itu disambut KRI Layang-635.

 

Dukungan  PLA Navy kepada Indonesia ini berawal dari tawaran Duta Besar China untuk Indonesia kepada Menteri Pertahanan RI. Tawaran diberikan berkaitan dengan bantuan kemanusiaan pihak China dalam penanganan KRI Nanggala-402 berupa kapal salvage.

 
Berita Terpopuler