Literasi Kebencanaan Sebagai Dasar Mitigasi Bencana

92 persen bencana adalah hidrometeorologi yang disebabkan oleh faktor antropogenik.

Dok Republika.co.id
Bencana alam (ilustrasi)
Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Heka Hertanto, Ketua Artha Graha Peduli

Dikuartal pertama tahun 2021 menjadi periode yang penuh keprihatinan, berdasarkan catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dalam kurun waktu 1 Januari 2021 sampai 17 April 2021 telah terjadi 1.134 kejadian bencana yang telah menelan korban sebesar 476 orang meninggal dunia, 12.892 Orang luka-luka. Salah satu bencana yang cukup menonjol adalah adanya bencana angin siklon tropis Seroja yang melanda provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) pada Ahad (4/4/2021) dan gempa bumi dengan kekuatan besar (6,7 SR) yang mengguncang Kabupaten Malang, Jawa Timur pada Sabtu (10/4/2021).

BNPB mencatat hampir seluruh wilayah NTT sebanyak 21 Kota dan Kabupaten terdampak oleh siklon Seroja ini, dengan jumlah korban 181 orang meninggal dunia, 241 orang luka-luka dan 14.290 orang mengungsi. Siklon ini juga mengakibatkan 20.032 rumah mengalami rusak berat.

Gempa bumi di Malang, Jawa Timur berakibat 10 orang meninggal dunia, 144 orang luka-luka dengan 1.929 rumah rusak berat dan 2.731 rumah mengalami rusak sedang. Banyaknya kerugian akibat bencana tentunya akan mewarisi nestapa bagi seluruh rakyat Indonesia.

Banyaknya bencana alam seperti yang kita alami selama empat bulan ini sepertinya rutin terjadi di bumi Ibu Pertiwi. Data juga menunjukkan 92 persen bencana yang terjadi adalah bencana hidrometeorologi yang disebabkan oleh faktor perubahan kondisi alam dan antropogenik.

Rusaknya kondisi alam berdampak pada perubahan iklim global di mana frekuensi hujan ekstrim makin meningkat dan kerentanan lingkungan. Pengaruh antropogenik meliputi tingginya degradasi lingkungan, permukiman di daerah rawan bencana, DAS kritis, urbanisasi, dan lainnya.

Belum lagi posisi Indonesia yang berada di garis ekuator yang menyebabkan sangat rentan terhadap terjadinya bencana hidrometeorologi, kita punya el nino yaitu musim kering dan la nina musim basah. Faktor-faktor tersebut merupakan penyebab banyak bencana seperti banjir dan tanah longsor karena adanya hujan dengan intensitas tinggi yang berlangsung selama berjam-jam.

Banyaknya bencana yang terjadi tentunya memunculkan banyak pertanyaan seperti apakah bencana tersebut dapat diprediksi, sehingga dampak korban dan kerugian yang dialami oleh bencana tersebut dapat dihindari atau dikurangi. Sebagai jawaban dari pertanyaan tersebut adalah kita harus bisa melihat penyebab dari bencana tersebut.

Bencana alam hidrologi seperti banjir semestinya dapat diprediksi akan melanda sebuah wilayah, karena adanya perkembangan teknologi radar cuaca sehingga BMKG dapat dengan rutin dan berkala memberikan prediksi kondisi cuaca di suatu daerah.

Bencana hidrologi pun dapat dikurangi dampak buruknya dengan cara melakukan pelestarian alam yang ada dilingkungan kita. Kegiatan penghijauan berupa penanaman pohon, pengelolaan sampah, membuat sumur resapan air dan sebagainya, tentunya bisa menjadi aktifitas penting dalam melakukan mitigasi terhadap bencana ini. Bencana tidak datang tiba-tiba karena alam mengirim pesan kepada seluruh makhluk untuk waspada terutama apabila lingkungan sekitar kita mulai rusak.

Gempa bumi merupakan bencana tidak dapat diprediksi kapan terjadinya, tetapi kita dapat melakukan mitigasi terhadap dampaknya dengan memperkuat struktur bangunan sehingga tidak rubuh atau cukup fleksibel menghadapi guncangan. Penguatan struktur bangunan tentunya didasarkan pada kondisi Indonesia yang terletak di 2 lempeng utama yaitu lempeng Asia dan lempeng Australia sehingga bisa berdasarkan peta kondisi geologis dan catatan terjadinya bencana di suatu lokasi.

Setiap bencana yang terjadi tentunya bisa menjadi data bagi kita untuk melakukan mengurangi dampak dari sebuah bencana. Indonesia memiliki catatan kejadian bencana alam yang banyak sekali yang seharusnya dapat menjadi bahan literasi kebencanaan yang sangat berguna untuk melakukan mitigasi dampak bencana.

Literasi kebencanaan erat kaitannya dengan penyampaian informasi kepada masyarakat agar mengerti bagaimana memitigasi bencana, membangun kewaspadaan dan kesiapsiagaan, kemudian tanggap terhadap pemulihan dalam berbagai aspeknya apabila bencana benar-benar terjadi.

Banyaknya kejadian bencana ini menjadi latar belakang bagi Artha Graha Peduli (AGP) untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi bencana. Pendiri AGP Tomy Winata di akhir tahun 2019 memiliki inisiatif untuk membentuk organisasi Rumah Sakit Lapangan (Rumkitlap) AGP, dengan tujuan sebagai sarana untuk pelatihan penyelamatan pada saat terjadi bencana alam. Lebih dari 5 unit tenda besar, 100 orang personil dan sejumlah peralatan/perlengkapan kesehatan yang dipersiapkan menunjukkan betapa AGP menyadari pentingnya mempersiapkan diri untuk menghadapi kejadian bencana. Tanpa disadari usaha mempersiapkan diri ini ternyata menjadi salah satu kegiatan penting dalam menghadapi pandemi Covid-19.

Kini Rumkitlap AGP telah berkembang menjadi fasilitas kesehatan untuk merawat pasien Covid-19, tempat pelayanan tes Swab PCR atau Swab antigen, hingga menjadi tempat pelayan vaksinasi Covid-19 kepada masyarakat umum. Rumkitlap AGP kini ada di bawah kendali dan koordinasi Suku Dinas Kesehatan Jakarta Utara.

Indonesia harus sangat peduli pada usaha untuk mempersiapkan diri untuk menghadapi bencana. Karena itu BNPB menginisiasi Hari Kesiapsiagaan Bencana (HKB) di tanggal 26 April setiap tahunnya untuk mengajak semua pihak meluangkan waktu satu hari untuk dapat melakukan kegiatan kesiapsiagaan bencana secara bersama. Momen HKB ini tentunya menjadi suatu kesempatan yang penting untuk seluruh lapisan masyarakat agar bisa mengantisipasi, menanggulangi dan pulih sehingga mampu segera bangkit ketika bencana terjadi dengan dukungan negara dan semua pihak.

HKB merupakan sebuah momen penting untuk dapat menggiatkan semua usaha tentang Literasi Kebencanaan terutama untuk mendukung adanya mitigasi terhadap bencana. Dengan adanya HKB ini masyarakat dapat lebih mudah dan intensif untuk menerima informasi tentang adanya resiko bencana yang sesuai dengan kondisi daerahnya. Setiap instansi pemerintah kiranya memiliki bahan/materi dasar informasi terkait dengan kebencanaan sejalan tugas pokok dan fungsinya.

Sebagai gambaran, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) menyampaikan mitigasi bencana menyangkut upaya-upaya pengurangan resiko serta penyelamatan diri saat kejadian bencana berlangsung. Apakah itu gempa bumi, banjir, kebakaran, tanah longsor, dan lain sebagainya.

Dengan adanya kegiatan aktif literasi kebencaan kepada masyarakat luas, tentunya menjadi langkah penting bagi semua pihak yang peduli terhadap masalah kebencanaan dan menjadi suatu kegiatan penting bagi peringatan HKB. Sehingga tidak terjebak kepada suatu kegiatan seremonial yang kurang memiliki dampak langsung kepada masyarakat.

 
Berita Terpopuler