Kisah Gurkha, Pusthun: Amerika Tergusur dari Afghanistan?

Kisah Amerika tergusur dari Afghanistan.

google.com
Pasukan Taliban masa kini.
Rep: muhammad subarkah Red: Muhammad Subarkah

IHRAM.CO.ID, -- Membayangkan Taliban dan Afghanistan hari-hari ini menjadi hal yang di luar nalar. Apalagi terkait pernyataan  komandan militer distrik Balkh, Baryalai, yang mengatakan Taliban kini menguasai Afghanistan.

Dia memang berkata singkat dan tegas bila pasukan superporwer Amerika Serikat bersama sekutu dalam negeri dan Eropanya telah kalah. Mereka terkepung dan hanya tinggal menguasai perkotaan.

"Pasukan pemerintah ada di sana dekat pasar utama, tetapi mereka tidak dapat meninggalkan pangkalan mereka. Wilayah ini milik para mujahidin," kata komandan militer distrik Balkh, Baryalai.

Seperti dikutip dari BBC, kondisi tersebut menjadi gambaran serupa di sebagian besar Afghanistan. Pemerintah mengawasi kota kecil dan kota-kota besar, tetapi Taliban mengepung dengan kehadiran di sebagian besar pedesaan.

Peryataan ini mengingatkan kunjungan saya dua kali ke perbatasan Afghanistan dan sempat bertemu dengan petinggi militer Pakistan di Lahore beberapa tahun silam. Waktu setelah setelah naik kendaraan, sekitar dua jam dari Islamabad pemandangan bila Taliban akan menang tak terlihat.

Jalanan memang masih ramai dan berdebu. Orang-orang lalu- lalang. Tak jelas mana yang Taliban mana yang tidak. Semua berwajah khas Afghanistan dan Pakistan serbaberjanggut lebat dan berjambang. Serban di kepala hal yang lazim.

Melihat itu seorang petinggi militer Pakistan pun sudah mengakui, bila membedakan mana Taliban dan bukan hal yang sulit. Mereka berwajah sama dan berperwakan tubuh yang sama.

''Anda harus tahu, para pendukung Mujahidin di Afghanistan adalah berbagai suku yang selama ini sangat tangguh berperang. Meski tanpa berlatih khusus, dari 'sononya kemampuan tempur mereka sangat tinggi dan berkualifikasi sebagai pasukan khusus. Mereka mempunyai bakat alam dan gen sebagai pasukan jempolan,'' ujarnya.

Salah satu contoh dari bakat alam tinggi sepagai pasukan tempur, terlihat pada kebiasaan keseharian mereka. Bayangkan mereka bisa tahan membawa sekadar air dan beberapa lipat roti sebagai makannya.

Mereka tahan berminggu-minggu, padahal kalau seorang pasukan khusus modern harus bawa perbekalan yang banyak. Suplai juga harus mendukung, sedangkan mereka begitu saja apa adanya. Begitu sederhana karena bisa tahan di pegunungan yang berbatu dan kerap menjumpai gumpalan es dan suhu udara superekstrem,'' ujarnya.

Selain itu, sejarah perang modern juga mengenal suku-suku yang menjadi penyokong perlawanan Mujahidin di Afghanistan. Pasti semua kenal leguin Inggris, Gurkha, pada perang dunia kedua yang legendaris. Khusus untuk Indonesia, sosok ini dikenal pada perlawanan 10 November Surabaya dengan komandannya yang kemudian menjadi salah satu Presiden Pakistan, Jenderal Zia Ulhaq

Dan, memang jarang yang tahu sosok Gurkha dengan komandannya Zia Ulhaq itu. Yang pasti, mereka yang bertempur dahulu bertempur di Surabaya akrab dengan Legiun Gurkha. Bahkan, ketika Zia Ulhaq jadi Presiden pada dekade 1980 awal, ketika berkunjung ke Indonesia sempat meminta  izin ke Pak Harto agar bisa datang ke Surabaya untuk kunjungan nostalgia.

Keterangan foto: Pasukan Gurkha di Surabaya pada tahun 1945.

 

Dan, bila melihat kelihatan mental para pendudukung Mujahidin juga kini terbukti tak beda dengan Legiun Gurkha. Selain punya kemampuan fisik alami yang tanggung sebegai tentara kelas satu, mereka juga akar sejarah sebagai suku penempur nomor wahid dunia.

Apa sejarah yang tercatat dan terwariskan itu? Jawabnya, para suku-suku itulah yang pada zaman Romawi dulu berhasil menahan gempuran tentara Iskandar Zulkarnain (Alexander The Great) pulang dan mengakhiri petualangan ekspansinya di India.

Nah, ketika mereka akan melawati suku yang kini dikenal dengan sebutan 'Pusthun', mereka harus balik ke Eropa. Mereka akhirnya gigit jari, dan seabad silam ekpspansi Eropa juga sempat hadir kembali.

Pada abad modern ini petualangan itu dicoba diulangi oleh Kaisar Jerman Adolf Hitler yang sibuk mengacak-acak wilayah anak benua Idoa itu untuk mencari ras Arya yang asli. Usaha ini pun gagal total. Hitler gigit jari.

Keterangan foto: Ratu Inggris Elizabeth menginspeksi Legiun Gurkha.

                       ***

Pada masa pandemi Covid-19 yang melanda dunia, tanda-tanda kesentosaan suku-suku penempur di perbatasan Afghanistan dan Pakistan muncul kembali. Tentara sekutu pimpinan Amerika Serikat ternyata lunglai. Keloyoan mereka seperti mengulang kisah tragis kala dibantai tentara Vietkong dalam perang Vietnam pada dekade 1970-an. Amerika tampaknya akan menyusul nasib Uni Soviet yang secara hina terusir dari Afghanistan pada tahun akhir 1980-an.

Fenomena ini jelas menjadi bukti, bila bala tentara Amerika Serikat terbukti hanya menang di film dan tumpul ketika berperang dalam masa panjang menghadapi perang gerilya. Keperkasaan dalam menyerbu secara kilat dengan merontokkan Sadam Husein di kawasan itu tak terbukti. Mereka hanya mampu efektif berperang secara keroyokan.

Dan, memang sama dengan perang di Vietnam, bala tentara Amerika Serikat dan barat pun mengalami frustrasi berat. Rakyatnya mulai menentangnya karena para ibu mereka hanya bisa meratapi kepulangan putranya yang dipaketkan dalam peti mati sebagai mayat.

Keunggulan peralatan perang mereka terbukti takluk di tangan legiun yang mempunyai spirit  tinggi, baik secara alami, spiritual, maupun bekal 'kegemilangan' sejarah.

 

Memang saat Amerika berhasil menggulung rezim Taliban pada masa awal, tepatnya setelah peristiwa robohnya menara kembar di New York --dan makin sempurna dengan tewasnya Usamah Bin Ladin-- mereka tampak akan bisa menguasai Afghanistan semudah membalik tangan. Ideologi liberal pun berhasil menguasai kota-kota di sana. Ideologi Islamis ala Mujahidin dan Taliban yang disebut sebagai terpengaruh ide Wahabi berhasil digerusnya.

Tapi, saat ini semua tak terbukti ampuh. Apalagi, nilai-nilai ultrakonservatif Taliban sampai hari ini di sana tidak terlalu berbenturan dengan nilai-nilai di daerah pedesaan. Ide mereka tetap eksis. Alhasil, situasi Afghanistan mirip kisah revolusi rakyat di China pimpinan Mai Tse Tung, di mana desa telah mengepung kota.

Dan, memang banyak di kota-kota yang kini dalam pengaruh Amerika, khawatir kelompok itu ingin menghidupkan kembali cara pemahaman keagamaan yang meremehkan kebebasan. Mereka takut itu akan kembali terjadi bila pasukan sekutu tergusur dari Afghanistan.

Keterangan foto: Sosok pasukan Taliban pada awal dekade 1990-an.

Dan, Taliban sendiri tidak melihat diri mereka sebagai kelompok pemberontak, tetapi sebagai pemerintah yang sedang menunggu. Mereka menyebut diri mereka sebagai "Imarah Islam Afghanistan". Nama yang mereka gunakan ketika berkuasa dari 1996 hingga digulingkan setelah serangan 9/11 itu.

Sekarang Taliban memiliki struktur bayangan yang canggih, dengan pejabat yang bertugas mengawasi layanan sehari-hari di wilayah yang dikendalikan.

"Taliban sebelumnya dan Taliban sekarang adalah sama. Jadi, membandingkan waktu itu dan sekarang tidak ada yang berubah. Namun, tentu saja ada pergantian personel. Beberapa orang lebih keras dan beberapa lebih tenang. Itu normal," kata wali kota bayangan Taliban di Dstrik Balkh, Haji Hekmat.

Para milisi menegaskan otoritas mereka di pedesaan dengan melalui pos pemeriksaan sporadis di sepanjang jalan utama. Taliban pun percaya kemenangan adalah milik mereka. "Kita telah memenangkan perang dan Amerika telah kalah," ujar Haji Hekmat.

Tapi, selama setahun terakhir, terlihat kontradiksi dalam pelawan Taliban. Mereka menghentikan serangan terhadap pasukan internasional setelah penandatanganan perjanjian dengan AS, tetapi terus berperang dengan Pemerintah Afghanistan.

Haji Hekmat menegaskan tidak ada kontradiksi. "Kami menginginkan pemerintahan Islam yang diatur oleh syariah. Kami akan melanjutkan jihad kami sampai mereka menerima tuntutan kami," ujarnya.

Seperti diketahui pemerintahan AS di bawah Joe Biden akan memulai menarik sisa pasukan AS di Afghanistan pada 1 Mei. Paling lambat pasukan sudah keluar pada 11 September 2021.

 
Berita Terpopuler