Rekam Jejak Joe Biden Terhadap Islam dan Muslim

Joe Biden telah empat bulan lalu dilantik sebagai Presiden Amerika Serikat (AS).

AP/Evan Vucci
Presiden Joe Biden berbicara dalam acara vaksinasi COVID-19, di Auditorium Pengadilan Selatan di kampus Gedung Putih, Senin, 29 Maret 2021, di Washington
Rep: Fuji Eka Permana Red: Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Joe Biden telah empat bulan lalu dilantik sebagai Presiden Amerika Serikat (AS) ke-46 pada 20 Januari 2021. Joe Biden bersama pasangan Wakil Presiden AS Kamala Harris memenangkan pemilu presiden AS setelah mengalahkan petahana Donald Trump.

Baca Juga

Kemenangan Joe Biden disebut banyak kalangan di dalam negeri AS dan mancanegara sebagai pertanda berakhirnya era Trump yang penuh gejolak dan kekacauan. 

Hal tersebut disampaikan Cendekiawan Muslim, Prof Azyumardi Azra dalam bahan pemantik Webinar Internasional bertema Membaca Arah Kebijakan Presiden Joe Biden Terkait Muslim dan Dunia Muslim yang diselenggarakan Komisi Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Jumat (9/4) malam.

Ia mengatakan, Presiden Trump tidak hanya membangkitnya politik identitas, tapi juga pembelahan dan kegaduhan rasisme kulit putih terhadap kulit hitam, latino (hispanik), Asia dan China khususnya.

Prof Azyumardi mengkomparasi Joe Biden dan Trump. Ia menerangkan, secara retrospektif, Presiden Trump menampilkan sikap dan kebijakan anti-Muslim. Trump mengeluarkan Perintah Eksekutif Presiden (Executive Order 13769) yang secara resmi disebut untuk protecting the nation from foreign terrorist entry into the United States.

"Perintah eksekutif itu yang juga disebut sebagai Muslim Ban atau pelarangan Muslim, itu melarang masuknya Muslim dari tujuh negara, yakni Iran, Iraq, Libya, Somalia, Sudan, Syria, dan Yaman," kata Prof Azyumardi.

Ia mengatakan, ketika perintah eksekutif ini diberlakukan pada 27 Januari 2017, sekitar 700 pelancong yang sudah sampai di berbagai bandara AS dikembalikan ke negara masing-masing. Sekitar 700 ribu visa AS yang diterbitkan untuk warga ketujuh negara itu dibatalkan.

 

 

Terlalu Dini Menebak Kebijakan Joe Biden 

Menurutnya, sepertinya masih terlalu dini untuk membayangkan kebijakan Presiden Joe Biden secara komprehensif sepanjang masa pemerintahannya nanti. Oleh karena itu, negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim dan warga individu serta jamaah atau Muslim di negara-negara Eropa, Australia, India, China dan AS sebagai minoritas tidak perlu terjerumus ke dalam euforia penuh harapan pada pemerintahan Joe Biden-Kamala Harris.

"Meski demikian, rekam jejak Joe Biden dapat dilacak sejauh menyangkut Islam sangat berbeda dengan Donald Trump," ujar Prof Azyumardi.

Ia mengatakan, Trump jauh sebelum menjadi presiden AS ke-45 berulangkali mengeluarkan pernyataan tidak bersahabat terhadap Muslim dan Islam. Trump menyatakan masjid perlu ditutup, perlu membuat database Muslim untuk mengawasi dan migran Muslim mungkin saja laskar ISIS.

Namun, rekam jejak Joe Biden nampaknya tidak memperlihatkan sikap bermusuhan terhadap Islam dan Muslim. Selama dua kali masa jabatan sebagai Wakil Presiden AS ke-47 (2009-2017), Joe Biden bersama Presiden Barack Obama memberikan banyak gesture bersahabat dengan Islam dan dunia Muslim. 

"Presiden Trump sebaliknya dalam banyak kesempatan mengkritik Obama-Biden sebagai terlalu bersahabat pada Islam atau terlalu pro-Muslim," jelas mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini.

 

Meski Trump menganggap Joe Biden terlalu bersahabat dengan Muslim, hanya 69 persen pemilih Muslim yang memberikan suara kepada Biden-Harris dalam pilpres lalu. Artinya sekitar 17 persen dari jumlah pemilih Muslim yang masih pro-Trump. Tidak begitu jelas alasan pemilih Muslim yang pro-Trump itu.

Prof Azyumardi mengajak mengingat kembali ketika masa kampanye pilpres dan pencoblosan surat suara pada 4 November 2020. Penghitungan suara berakhir dengan kemenangan calon presiden Joe Biden, Presiden AS ke-46 ini menjadi tambah populer di kalangan Muslim. Ini tidak lain karena Joe Biden memberikan gesture yang sangat positif. 

"Popularitas yang meningkat karena gesture itu terkait ketika calon presiden Joe Biden mengucapkan Insya Allah di sela-sela debat dengan calon presiden petahana Donald Trump menyangkut pajak yang dia kemplang. Trump berdalih akan mengembalikan pajak itu ke kas negara, yang langsung ditukas Biden dengan ucapan Insya Allah," ujarnya.

Ia mengatakan, popularitas Joe Biden meningkat ketika di tengah masa penghitungan suara menyatakan akan bersungguh-sungguh memperlakukan Islam sebagaimana semestinya, seperti juga memperlakukan agama-agama besar lain di AS.

Joe Biden kemudian mengutip hadits yang sangat populer tentang kewajiban mengubah kemungkaran. 

"Hadits Nabi Muhammad, memerintahkan siapapun di antara kamu yang melihat kesalahan (kemungkaran), hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya, jika dia tidak mampu, dengan lidahnya, jika dia tidak mampu dengan hatinya," ujar Joe Biden.

 

 

Prof Azyumardi mengatakan, selanjutnya Joe Biden menyatakan akan mencabut Muslim Ban pada hari pertamanya. Pernyataan ini mendapat sambutan hangat dari berbagai penjuru dunia Muslim. Pernyataannya ini segera dia tepati, tidak lama setelah Joe Biden dilantik.

Dalam konteks lebih luas itu, Joe Biden dalam artikelnya Why America Must Lead Again (Foreign Affairs, Vol 99, 2; 2020) menyatakan akan menghentikan destabilisasi Timur Tengah yang meningkat di masa Presiden Trump, baik karena ancaman senjata nuklir maupun terorisme.

"Dalam konteks itu, Presiden Joe Biden menghentikan dukungannya pada koalisi militer pimpinan Arab Saudi dalam perang di Yaman. Presiden Joe Biden juga meminta pemerintah Arab Saudi menghentikan perang yang telah mengorbankan ratusan ribu warga Yaman, termasuk perempuan dan anak-anak," kata Prof Azyumardi.

Ia menyampaikan, Joe Biden juga bermaksud membawa pulang mayoritas tentara AS di Afghanistan dan wilayah Timur Tengah lain. Dia ingin menghentikan dukungan AS terhadap Arab Saudi dengan koalisi militernya yang menghancurkan Yaman.

Presiden Joe Biden juga mempersoalkan kasus pembunuhan jurnalis Kashogi. Pemerintah AS di bawah Presiden Joe Biden memperlihatkan sikap tidak berkenan terhadap penanganan kalangan penguasa Arab Saudi terhadap Kashogi.

"Terhadap Palestina, Presiden Joe Biden juga memberikan gesture positif. Pemerintahan Joe Biden menyatakan akan memulihkan proses perdamaian yang kredibel yang bisa diterima kedua belah pihak, Palestina dan Israel. Untuk itu, pemerintah AS segera memperbaharui hubungan dengan kepemimpinan Palestina," kata Prof Azyumardi.

Ia menambahkan, Presiden Joe Biden juga menyatakan akan memulihkan bantuan ekonomi dan kemanusiaan untuk Palestina. Bantuan semacam ini diperlukan untuk menciptakan situasi kondusif bagi perdamaian.

 
Berita Terpopuler