Inggris dan Nasib Muslim Bengali

Pertemuan Islam dengan Bengal berlangsung lama dan tenang

Mohamed Ponir Hossain/Reuters
Muslim Bangladesh melaksanakan Shalat Jumat di Masjid Nasional Baitul Mukarram, Dhaka, Bangladesh, Jumat (18/5).
Rep: Umar Mukhtar Red: Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA -- Direktur Jenderal Yayasan Gyantapas Abdur Razaq di Dhaka, Ahrar Ahmad memberi penjelasan tentang sejarah Islam dan di Bangladesh. Profesor dari Universitas Negeri Black Hills AS itu mengungkapkan salah satu paradoks besar yang dihadapi orang Bangladesh yang diekspresikan dalam negosiasi dan kontestasi.

Baca Juga

Terutama terkait siapa mereka dalam konteks ketegangan yang disebabkan oleh klaim Universalis tentang agama mereka di satu sisi dan tuntutan partikularis dari etnisitas mereka dan budaya di sisi lain. Misalnya dalam pemilihan Legislatif Bengal tahun 1937, mereka memberikan suara yang sebagian besar mendukung orang-orang independen.

Pada tahun 1946, sebagian besar populasi memberikan suara yang sangat banyak untuk mendukung Liga Muslim dalam dukungannya untuk Pakistan sehingga merangkul kekhasan agama dari identitasnya.

Namun, pada tahun 1970-71 sebagian besar dari orang yang sama memilih untuk menolak gagasan itu, dan akhirnya terjadi ketegangan untuk menegaskan kesadaran baru diri yang berlabuh pada determinan bahasa dan budaya.

 

Ini mengungkapkan sifat lengkap dari identitas Bangladesh, dualitasnya, skizofrenia-nya. Masalah ini berakar pada sejarah dan pada abad ke-19 yang panjang (1793-1905) ketika banyak dari ketegangan dan kontradiksi ini berkembang.

Islam di Bangladesh datang dari luar, tetapi Muslim di wilayah tersebut sebagian besar adalah penduduk setempat (meskipun beberapa non-Bengali juga datang, memerintah, berdakwah, dakwah dan menetap). Yang mengejutkan adalah tidak ada konflik yang jelas antara Islam dan keragaman keyakinan dan ketaatan agama lokal yang sudah ada di sini di bawah payung Hinduisme.

Fakta bahwa Hinduisme tidak menegaskan satu Tuhan, satu Gereja, satu doktrin, satu teks, atau satu praktik yang menentukan iman, mungkin telah menyebabkan toleransi relatif terhadap beragam tradisi dan praktik. Meskipun secara internal, stratifikasi kasta bisa sangat keras meruncing.

Demikian pula, para penguasa Muslim di India, sebagian dari mereka lebih tertarik meningkatkan pendapatan dan mengelola kerajaan daripada memikirkan nasib rakyatnya, terutama yang ada di provinsi yang jauh seperti Benggala. Sebagian besar masyarakat di wilayah Benggala adalah petani miskin, dan rentan diperas oleh pemungut pajak.

Mereka juga diikat oleh sistem ekonomi yang tidak menguntungkan kaum tani. Kerjasama dan kebersamaan ditentukan oleh keadaan hidup mereka, kepentingan kelangsungan hidup dan kesejahteraan kolektif. Akhirnya, seperti yang dicatat oleh Akbar Ali Khan, keadaan desa di Bengal ditentukan oleh alam sekitar dan geografis. Sehingga, tak sedikit dari mereka yang berpindah tempat tinggal dan mengubah praktik pertaniannya.

 

Kedatangan Islam mungkin memiliki konsekuensi yang dalam dan bertahan lama di tempat lain di India. Tetapi di Bengal, hal itu tidak menyebabkan penyimpangan atau perpindahan yang signifikan dalam kesinambungan praktik dan ritme pedesaannya.

Faktanya, pertemuan Islam dengan Bengal berlangsung lama dan tenang, kemajuannya yang merayap hampir secara diam-diam. Jadi, semua orang terkejut ketika ditemukan pada akhir abad ke-19 bahwa di Bengal jumlah Hindu (18 juta) dan Muslim (17,5 juta) hampir sama. Beberapa preferensi makanan yang unik, bahasa dan masakan pada dasarnya tetap sama.

Kemudian, kedatangan Inggris secara signifikan memperburuk kondisi keberagamaan di Bangladesh. Inggris mengintervensi struktur agraria Bengal melalui Permanent Settlement Act tahun 1793 sangat mempengaruhi dinamika ekonomi, sosial dan politik di wilayah tersebut.

Seharusnya dengan didasarkan pada kebutuhan untuk memaksimalkan dan merasionalisasi pendapatan tanah, strategi yang diadopsi adalah mengubah beberapa pemungut pendapatan de facto menjadi pemilik tanah de jure (zamindars) yang setuju untuk menyetorkan penilaian yang sangat ditingkatkan yang dikenakan oleh hutang Inggris pada waktu yang ditentukan. 

Zamindar ini, dan pemegang hak perantara (berdasarkan proses pertanian sewa dan sub-infeudasi), adalah non-Muslim yang memiliki sejumlah uang, pendidikan dan pengalaman. Mereka memanfaatkan kesempatan ini dan menjadi makmur dengan cara yang luar biasa. Sedangkan kaum Muslimin sebagai "musuh" yang baru ditaklukkan dengan cara mengasingkannya, mengambil tempat tinggalnya, dan menciptakan kelas masyarakat yang tidak memiliki tanah dan kelas artisanal.

Muslim Bengali juga terpinggirkan oleh kelompok "modernis". Dorongan progresif yang diharapkan dari cita-cita pencerahan yang dianut oleh kelompok ini tidak menyebabkan pelukan sekuler terhadap yang lain. Kesenjangan dalam pendidikan juga tercermin di sektor ketenagakerjaan. Muslim telah terwakili dengan baik dalam profesinya hingga di awal abad ke-19.

 

 
Berita Terpopuler