Palang Merah Myanmar Dilaporkan Diintimidasi Junta Militer

Palang Merah Myanmar merawat korban yang terluka

AP/AP
Orang-orang mendorong tandu dengan tubuh seorang pria yang menurut seorang dokter ditembak dan dibunuh pada hari Selasa, 23 Maret 2021, oleh pasukan keamanan Myanmar dalam protes anti kudeta di Mandalay, Myanmar.
Rep: Fergi Nadira Red: Nur Aini

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- International Federation of Red Cross (IFRC) dan Red Crescent Societies melaporkan bahwa para pekerja Palang Merah Myanmar ditangkap, diintimidasi, dan terluka di garis depan. Mereka mencoba untuk merawat korban warga sipil atau pengunjuk rasa yang terluka dan jumlahnya kian meningkat.

Baca Juga

Badan internasional tersebut sangat prihatin dengan krisis kemanusiaan yang berkembangan dua bulan usai militer melakukan kudeta. Lebih dari 500 warga sipil pengunjuk rasa dilaporkan terunuh oleh aparat yang berupaya menindak gelombang protes.

Tim Palang Merah Myanmar tercatat telah merawat lebih dari 2.000 orang. Namun, mereka juga menjadi sasaran.

"Petugas pertolongan pertama Palang Merah Myanmar dan petugas medis telah ditangkap, diintimidasi atau terluka dan properti Palang Merah serta ambulans telah dirusak. Ini tidak dapat diterima," ujar Alexander Matheou, Direktur Regional Asia Pasifik IFRC.

"Tenaga kesehatan seharusnya tidak menjadi target. Mereka harus diberikan akses kemanusiaan yang tidak terbatas kepada orang-orang yang membutuhkan," ujarnya menambahkan.

 

Pernyataan tersebut tidak mengidentifikasi kelompok mana pun yang bertanggung jawab atas serangan itu. Juru bicara Palang Merah menolak berkomentar lebih lanjut.

Video di media sosial menunjukkan anggota pasukan keamanan menyerang dan menyalahgunakan petugas medis. Setidaknya aparat sempat terekam menembak satu kali ambulans. Reuters belum memverifikasi video itu secara independen.

Palang Merah mengingatkan bahwa krisis Myanmar menimbulkan ancaman kesehatan yang lebih luas dengan jatuhnya layanan dasar seperti transportasi dan perbankan yang dapat membuat sulit untuk mempertahankan program kemanusiaannya. Kerusuhan juga mengancam upaya untuk menahan epidemi Covid-19, sebab pengujian, penelusuran, dan pengobatan yang menurun tajam.

"Kita bisa menghadapi badai yang sempurna di Myanmar di mana gelombang infeksi Covid-19 lainnya bertabrakan dengan krisis kemanusiaan yang semakin parah yang menyebar ke seluruh negeri," kata Matheou.

 
Berita Terpopuler