Menyoal Minusnya Kredit Bank Asing dan Bank Swasta

Pertumbuhan kredit bank asing minus 25 persen, bank swasta minus 5 persen.

dok. Republika
Logo OJK: OJK menyoal minusnya kredit bank swasta dan bank asing di Indonesia
Red: Elba Damhuri

REPUBLIKA.CO.ID -- Oleh Novita Intan, Elba Damhuri 

Baca Juga

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyentil bank swasta dan bank asing di Indonesia yang masih minus dalam penyaluran kreditnya. OJK mencatat per Februari 2021, pertumbuhan kredit bank masih kontraksi (minus) sebesar 2,15 persen secara year on year (yoy) menjadi Rp 5.419,1 triliun.

Kontraksi terbesar ada pada kredit bank asing yang mencapai minus 25,56 persen per Februari 2021 menjadi Rp 171,3 triliun. Untuk bank swasta, kontraksi kredit sebesar 5 persen. 

Sebaliknya, kata Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso, catatan positif justru diraih bank-bank BUMN dan bank daerah (BPD).

"Pertumbuhan kredit yang sudah positif itu Bank BUMN dan BPD, yaitu BPD 5,6 persen dan bank BUMN sampai 1,5 persen. Justru, bank swasta nasional dan bank asing yang kreditnya masih negatif," kata Wimboh saat acara Temu Stakeholder untuk Percepatan Pemulihan Ekonomi Nasional secara virtual, Kamis (25/3).

Pada Januari 2021, pertumbuhan kredit bank umum swasta nasional masih minus lima persen (yoy), sedangkan bank asing minus 25 persen (yoy). Menurut dia, otoritas akan tetap memantau penyaluran kredit perbankan untuk mendorong perekonomian domestik. 

“Saat ini, baru kredit sektor modal kerja saat yang tumbuhnya mulai positif. Jadi, kami menaruh perhatian betul yang bank swasta, mengapa demikian dan ini akan kami lihat secara lebih detail, bahkan debitur-debiturnya kenapa," ucapnya.

Baca juga : Pemerintah Dorong Pemulihan Ekonomi Lewat Dua Strategi

Wimboh mengaku optimistis sepanjang tahun ini pertumbuhan kredit akan membaik. OJK menargetkan pertumbuhan kredit tahun ini 7,5 persen (yoy). Dengan begitu, Wimboh memprediksi pertumbuhan ekonomi 2021 bisa mencapai kisaran target 4,5 persen sampai 5,3 persen.

Menyikapi minusnya kredit bank asing, Perhimpunan Bank-Bank Internasional Indonesia (Perbina) menilai terkontraksinya pertumbuhan kredit berkaitan erat dengan kondisi makroekonomi yang relatif lemah selama masa pandemi. Lemahnya kondisi ekonomi makro ini turut memengaruhi kebutuhan pembiayaan sektor riil. 

Ketua Perbina Batara Sianturi menjelaskan, setiap bank memiliki eksposur terhadap customer base yang berbeda-beda sehingga tingkat penurunan permintaan kredit yang dialami masing-masing bank pun berbeda-beda.

Jika program vaksinasi Covid-19 bisa melaju dan aktivitas perekonomian kembali normal, tentunya, kata Batara, kebutuhan pembiayaan sektor riil akan kembali meningkat dan pertumbuhan kredit akan cepat kembali positif.

“Di tengah ketidakpastian yang didorong oleh pandemi Covid-19, kami terus menjaga likuiditas dan memperkuat permodalan. Neraca kami memiliki kapasitas yang memadai untuk melayani para klien/nasabah kami,” kata Batara yang juga CEO Citi Indonesia itu.

Bank-bank asing saat ini berupaya menjaga permodalan perusahaan dengan baik dan kualitas aset yang masih berada pada tingkat sehat. Tercatat, non-performing loan (NPL) atau kredit macet bruto bank asing sebesar 1,66 persen dan non- performing loan bersih 0,41 persen.

Batara menegaskan, dengan penekanan yang kuat pada manajemen risiko, mereka akan terus melayani dengan hati-hati pada masa penuh tantangan ini. Ia menyatakan, Citibank sendiri masih kuat likuiditasnya.

Baca juga : Pemerintah Masih Susun Aturan Teknis Larangan Mudik

Ke depan, Perbina berupaya memantau dengan cermat kinerja debitur dan kapasitas pembayaran. Saat ini, kata Batara, ada beberapa klien dalam bisnis perbankan institusional yang telah mengajukan permohonan untuk mendapatkan program bantuan. 

“Kami akan terus berkoordinasi dan melakukan pelaporan ke OJK jika ada klien kami yang ikut dalam program bantuan. Dari sisi retail banking, kami telah melakukan restrukturisasi kepada nasabah yang terkena dampak Covid-19,” kata dia.

Selain program restrukturisasi, bisnis retail banking perusahaan juga telah memperpanjang program pembebasan bunga, biaya, dan skip-a-payment kepada para nasabah yang terkena dampak Covid-19. 

Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Piter Abdullah menilai, penyaluran kredit perbankan nasional yang saat ini negatif tidak perlu dikhawatirkan. Hal ini dikarenakan kondisi industri perbankan masih relatif terjaga.

Menurut dia, indikator-indikator perbankan lainnya masih menunjukkan kinerja yang baik. Memang, kata dia, pertumbuhan kredit bank umum masih minus di atas 2 persen, namun Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan masih tumbuh 11,1 persen.

Tingkat kredit bermasalah perbankan relatif terkendali di level 3,06 persen dan rasio kecukupan modal atau CAR berada di level 24,61 persen.

"Dengan NPL yang masih cukup terjaga, permodalan perbankan, laba perbankan, masih relatif bisa dikatakan baik-baik saja. Jadi, saya tidak melihat suatu persoalan besar di perbankan kita," kata Piter.

Piter menambahkan, sejauh ini perbankan tidak mengalami sesuatu persoalan yang berat. Di tengah pandemi, meski tekanan begitu besar, tetapi kondisi perbankan ternyata tidak terlalu mengkhawatirkan.

Reformasi pada sektor jasa keuangan yang sudah dijalankan selama ini sebenarnya sudah menghasilkan sesuatu yang cukup kokoh dan menyebabkan perbankan nasional masih bisa bertahan sampai saat ini.

Ia menyebut di tengah proses reformasi itu berdiri LPS, OJK, dan yang terakhir ada UU PPKSK, yaitu UU bagaimana kita menghadapi krisis sistem keuangan. Semua itu adalah modal untuk menghadapi krisis walau tidak berjalan sempurna.

Bagaimana dengan keampuhan penurunan suku bunga bank....?

Bagaimana dengan suku bunga bank yang terus didesak turun?

Pada 18 Maret lalu, Bank Indonesia memutuskan mempertahankan suku bunga BI 7-days Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 3,5 persen. Suku bunga deposit facility tetap sebesar 2,75 persen dan suku bunga lending facility tetap sebesar 4,25 persen.

"Setelah melihat berbagai penilaian atas berbagai hal, RDG 17-18 Maret 2021 memutuskan untuk mempertahankan BI 7DRRR sebesar 3,5 persen," kata Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo dalam konferensi pers virtual, Kamis (18/3).

Keputusan ini sejalan dengan perlunya menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dari meningkatnya ketidakpastian pasar keuangan global di tengah prakiraan inflasi yang tetap rendah. 

Untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional lebih lanjut, Bank Indonesia lebih mengoptimalkan kebijakan makroprudensial akomodatif, akselerasi pendalaman pasar uang, dukungan kebijakan internasional, serta digitalisasi sistem pembayaran.

OJK menyatakan, penurunan suku bunga kredit perbankan bukan satu-satunya solusi untuk mendorong pertumbuhan kredit. Sebab, penyaluran kredit masih kontraksi meskipun suku bunga kredit perbankan sudah mulai turun.

Wimboh Santoso mengatakan, berdasarkan data OJK, tren penurunan suku bunga selama pandemi belum mampu menjadi stimulus bagi pelaku usaha untuk menggunakan fasilitas kreditnya. Pantauan OJK menunjukkan penurunan bunga kredit modal kerja dan investasi tidak memengaruhi jumlah penyaluran kredit perbankan.

"Upaya pemulihan ekonomi akan berjalan dengan baik jika semua pihak tidak berjalan sendiri, tetapi senantiasa melakukan koordinasi dan komunikasi dengan pihak/lembaga terkait dalam mengeluarkan kebijakan," kata Wimboh.

Sejak Januari 2020, suku bunga acuan Bank Indonesia turun sebesar 150 basis poin (bps) menjadi 3,5 persen. Wimboh menyebut penurunan tersebut telah ditransmisikan oleh perbankan sehingga suku bunga dasar kredit (SBDK) periode yang sama turun sebesar 101 bps, dari 11,32 persen menjadi 10,32 persen.

Suku bunga kredit bank juga turun sebesar 95 bps dari 12,99 persen menjadi 12,03 persen. Namun, pertumbuhan penyaluran kredit masih melempem. Hal ini tecermin dari kontraksi kredit perbankan sebesar minus 2,15 persen (yoy) pada Februari 2021.

OJK terus mendukung kebijakan pemerintah untuk mendorong bangkitnya sektor usaha yang dapat memberikan multiplier effect (efek ganda) tinggi bagi pemulihan perekonomian.

OJK akan terus memperluas akses pembiayaan digital untuk UMKM sebagai daya ungkit bagi kegiatan perekonomian secara menyeluruh. Juga, melanjutkan kebijakan stimulus melalui sektor keuangan untuk mendukung pertumbuhan sektor-sektor yang menciptakan lapangan kerja.

 
Berita Terpopuler