Dua Pasal Revisi UU Otsus dan Suara Penolakan dari Papua

DPR telah menetapkan Pansus RUU Otsus Papua.

Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah massa yang tergabung dalam organisasi Ikatan Mahasiswa Papua melaksanakan aksi di depan gedung Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, Rabu (24/2). Aksi tersebut dilakukan untuk menuntut penolakan rencana perpanjangan otonomi khusus dan daerah otonomi baru di seluruh tanah Papua. Republika/Putra M. Akbar. (ilustrasi)
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febrianto Adi Saputro, Bambang Noroyono

Pimpinan panitia khusus (pansus) revisi Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (otsus) Papua telah ditetapkan. Ketua Pansus Otsus Papua, Komarudin Watubun mengatakan, pansus akan segera menggelar rapat mengingat DPR akan kembali masuk masa reses pada 9 April 2021 mendatang.

Baca Juga

"Salah satu hal yang penting dalam revisi UU Otsus ini kan soal waktu pemberlakuan dana otonomi khusus 2 persen dari DAU nasional yang berakhir bulan Mei kalau tidak salah tahun ini harus berakhir, itu yang pemerintah ajukan revisi itu, tapi kita tanggal 9 (April) kita sudah (reses), jadi kita selesai tadi pemilihan pimpinan kita langsung rapat pimpinan hari ini untuk besok kita lakukan rapat internal untuk menyusun jadwal kegiatan dalam waktu sisa ini apa yang bisa kita kerjakan," kata Komarudin di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (30/3).

Politikus PDI Perjuangan itu mengatakan, selama reses, DPR tidak ada aktivitas rapat pansus, oleh karena itu selama dua hari ini pansus akan memanggil pemerintah untuk menjelaskan rancangan undang-undang otsus Papua tersebut. Selain itu, pansus juga akan memanggil sejumlah pihak yang akan diajak bicara dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) sebelum akhirnya reses.

"Masuk reses baru kita lanjut lagi," ujarnya.

Komarudin menjelaskan, DPR mengajukan dua pasal revisi. Pertama terkait penambahan anggaran otsus Papua, dan kedua pemekaran wilayah. Terkait anggaran otsus Papua, ia menilai penambahan saja dinilai tidak cukup.

"Harus juga diperketat dengan regulasi, evaluasi, pengawasan supaya jangan kita mengulangi 20 tahun," ucapnya.

Sementara itu terkait pemekaran wilayah, Komarudin mengatakan, selama ini yang bisa mengusulkan pemekaran hanya DPRP dan MRP. Padahal aspirasi dari masyarakat juga sudah lama disampaikan.

"Faktanya ada (aspirasi), seperti Papua Selatan itu dari dulu, sudah puluhan tahun mereka usul untuk pemekaran. Tapi karena tadi dibatasi UU sampai DPRP MRP-nya tidak diproses, itulah kenapa pemerintah sekarang supaya selain dari usulan dari bawah, pemerintah juga ada ruang untuk melakukan atas usulan rakyat melakukan pemekaran, itu yang lagi diusulkan," jelasnya.

Selain itu, dirinya juga menyikapi adanya usulan agar pansus merevisi UU Otsus Papua secara keseluruhan. Menurutnya, pansus membuka ruang untuk tidak hanya membahas dua pasal revisi usulan yang diajukan pemerintah, tetapi juga membahas secara menyeluruh pelaksanaan otsus selama 20 tahun ini.

"Itu boleh saja aspirasi, dalam negara demokrasi kan boleh-boleh saja, tapi semua nanti lewat pembahasan di pansus dan sikap-sikap parpol di fraksi-fraksi akan lihat urgensinya," ungkapnya.

Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Cenderawasih, Yops Itlay menilai, pembentukan pansus revisi UU Otsus Papua terkesan sepihak tanpa melibatkan rakyat Papua. Menurutnya, banyak aspirasi rakyat Papua yang disampaikan, baik secara tertulis maupun tidak tertulis, untuk bagaimana mengambil langkah terbaik dalam pelaksaan otonomi khusus yang sudah berjalan selama 20 tahun ini.

"Mayoritas rakyat Papua memang tolak otonomi khusus di mana hal tersebut disampaikan oleh rakyat sendiri sesuai apa yang mereka rasakan selama ini. Tetapi, pemerintah (Pusat) terus memaksa untuk harus direvisi dengan catatan revisi pada dua pasal UU Otsus, kami berpikir hal ini sebetulnya bukan mau memperbaiki persoalan namun untuk memperkeruh situasi lagi," kata Yops kepada Republika, Selasa (30/3).

Ia menuturkan, tujuan hadirnya otsus yaitu untuk menjadikan orang Papua tuan di atas negeri sendiri. Namun, yang terjadi hingga saat ini angka kemiskinan di Papua menempati urutan pertama di Indonesia.

"Itu artinya tidak ada dampak positif dari pada otsus di Papua," tegasnya.

Mahasiswa Papua meminta pemerintah untuk mempertimbangkan aspirasi rakyat Papua. Ia berharap hal tersebut dapat dibicarakan dengan baik untuk menyelesaikan persoalan otsus Papua selama ini.

Tiga kekalahan jokowi atas gugatan rakyat - (Data Republika)

Sebelumnya, Mabes Polri mengungkapkan adanya penyimpangan keuangan negara total lebih dari Rp 2 triliun dalam penyelenggaran otsus di Papua dan Papua Barat. Karo Analisis Intelkam Mabes Polri Brigjen Achmad Kartiko pada pertengahan Februari lalu mengatakan, dugaan penyelewengan dana otsus tersebut dikatakan sebagai salah satu permasalahan hukum dalam penyelesaian beragam persoalan di Bumi Cenderawasih.

Kartiko mengatakan, Polri mencatat dana otsus yang digelontorkan ke Papua dan Papua Barat setotal Rp 93 triliun dan Rp 33 triliun. Dana otsus tersebut dikatakan untuk penyelesaian konflik di tanah Papua, dan kesejahteraan masyarakat di sana.

“Namun ada permasalahan penyimpangan anggaran,” kata Kartiko, dalam pemaparan isu-isu konflik nasional dalam rapat pimpinan (rapim) Polri, di Jakarta, Rabu (17/2).

Kartiko menerangkan, penyimpangan tersebut, ditemukan dalam laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). “Temuan BPK, menemukan adanya pemborosan, ketidakefektifan penggunaan anggaran,” terang Kartiko.

Bahkan, kata dia, berdasarkan temuan BPK tersebut, ada praktik memperkaya diri sendiri dalam bentuk penggelembungan anggaran belanja yang diambil dari dana otsus. Pun pembayaran fiktif.

Mark up (penggelembungan) dalam pengadaan tenaga kerja, tenaga listrik, dan tenaga surya. Kemudian pembayaran fiktif dalam pembangunan PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air),” kata Kartiko.

Ia menerangkan, dalam pembayaran fiktif pembangunan PLTA tersebut, ditemukan penggunaan dana otsus dalam proyek manipulasi sekitar Rp 9,67 miliar. “Ditemukan juga penyelewenangan dana (otsus) sebesar lebih dari Rp 1,8 triliun,” ungkap Kartiko.

Penyimpangan, dan indikasi praktik korupsi dalam penggunaan dana otsus Papua tersebut, menurut Kartiko menjadi salah satu permasalahan hukum, dalam penyelesaian konflik di Bumi Cenderawasih. Selain itu, terkait isu Papua, Polri, pun dikatakan dia merekam aksi-aksi penolakan perpanjangan otsus di Bumi Cenderawasih.

“Yang menyuarakan kontra untuk supaya otsus tidak diperpanjang, ada 45 organisasi,” kata Kartiko.

Kelompok-kelompok yang disebut menyuarakan perpanjang otsus, terekam menggalang opini, dan mengkampanyekan aksi ‘pembangkangan’ sipil. “45 organisasi penggerek agenda tersebut berupa mogok sipil nasional, yang membentuk petisi rakyat Papua untuk menolak otsus Papua,” kata Kartiko.

Menteri Kordinator Politik Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD memastikan pengungkapan kasus dugaan korupsi dana otsus Papua, tetap berjalan. Menurut Mahfud, tim di kementeriannya, sudah menginventarisir ragam menyimpangan dana otsus tersebut, dan meminta tiga institusi penegak hukum, meneruskan penyelidikan, dan penyidikan.

“Penyelidikan dugaan korupsi (otsus) Papua, tetap ke penegakan hukum. Tetap jalan. Itu sekarang, kita berbagi tugas, yang ditangani KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), Kejaksaan Agung, dan Kepolisian,” terang Mahfud saat konfrensi pers di Kejaksaan Agung (Kejagung), di Jakarta, Senin (15/3).

Menurut Mahfud, kementeriannya pun sudah menyerahkan, dokumen, dan data-data awal bukti adanya penyimpangan dana otsus Papua ke tiga institusi penegak hukum tersebut.

“Sudah kami berikan daftarnya, berdasarkan informasi-informasi yang masuk kepada kami (Kemenko Polhukam). Jadi sekarang sedang berjalan,” terang Mahfud.

In Picture: Aksi Dukung Otsus Papua di Kawasan Patung Kuda

Massa aksi memakai pakaian adat saat melakukan aksi di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Senin (1/3). Dalam aksi tersebut, massa yang mengaku warga Papua asli, menyampaikan dukungan kepada pemerintah untuk memperpanjang otonomi khusus jilid II di Papua. Republika/Thoudy Badai - (undefined)

 
Berita Terpopuler