Menilik Standar Halal MUI dalam Menilai Vaksin Covid-19

Penentuan kehalalan vaksin lebih kompleks ketimbang produk pangan.

Republika/Fuji Eka Permana
Direktur LPPOM MUI, Dr. Ir. Lukmanul Hakim.
Rep: Sapto Andika Candra Red: Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Topik mengenai status kehalalan vaksin Covid-19 kembali ramai diperbincangkan khalayak. Apalagi, setelah Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyebutkan bahwa vaksin Covid-19 produksi Astrazeneca dari Inggris ternyata mengandung unsur babi. Kendati secara hukum terbilang haram, tapi MUI tetap membolehkan penggunaan vaksin Astrazeneca karena kondisi darurat penanganan pandemi.

Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI Lukmanul Hakim mengungkapkan, MUI punya standar dalam penentuan halal-haram sebuah produk, tentu berdasarkan ketentuan dalam Islam. 

"Ini kaidah-kaidah di dalam masalah halal haram, selain juga memang ada bahan-bahan yang lain yang memang selain daripada babi atau organ manusia yang memang tidak diperkenankan atau tidak boleh. Nah tentu waktu kami melakukan audit, standar ini yang menjadi pegangan," kata Lukmanul dalam keterangannya di kanal media sosial Sekretariat Presiden, Jumat (19/3). 

Secara rinci, ada empat standar halal MUI untuk produk pangan, obat, dan kosmetik. Pertama, tidak memanfaatkan (intifa') babi atau bahan yang tercemar babi dan turunannya. Kedua, tidak memanfaatkan bagian anggota tubuh manusia (juz/ minal insan). Ketiga, tidak bersentuhan dengan barang najis mutawassithah. Keempat, menggunakan fasilitas produksi yang suci. 

 

Vaksin AstraZeneca Covid-19. - (Jung Yeon-je / Pool via AP)

 

 

Khusus untuk vaksin, imbuh Lukmanul, penentuan kehalalannya memang lebih kompleks ketimbang produk pangan. Ia menjelaskan, vaksin menggunakan vero cell atau sel diploid yang digunakan sebagai inang virus. Hal ini sudah terbukti aman brfungsi sebagai inang virus dan disetujui Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). 

"Setelah dari inokulasi kemudian dikembangbiakkan tentu umumnya bahan-bahan itu apakah ada yang dari hewan, kalau hewan hewan apa, ya hewan babi atau tidak. Ada juga enzim ya, yang bisa memutus proteinnya kita cek apakah itu hewan, hewan babi atau bukan," kata Lukmanul. 

Berdasarkan kompleksitas pembuatan vaksin itulah, Lukmanul menambahkan, kajian mendalam terkait proses produksinya menjadi sangat penting. MUI, ujarnya, ingin memastikan apakah dalam proses pembuatan vaksin menemukan unsur babi atau organ manusia.. 

"Karena dia hanya jadi media, ketika dia bukan babi tidak terkena kaidah intifa dan ikhtilat tadi. Tidak bercampur atau pemanfaatan, maka tahap dalam proses itu menjadi penting. Jadi memang kita yang jelas tidak menemukan babi atau organ manusia." ujarnya. 

MUI juga melihat apakah ada proses pensucian yang memenuhi ketentuan pensucian secara syar'i. Berdasarkan berbagai proses kajian inilah, maka sebuah vaksin Covid-19 ditentukan apakah halal atau haram. 

Sebagai contoh, vaksin Covid-19 Sinovac dari China telah dinyatakan halal karena tidak ditemukan unsur babi dan poin-poin standar halal MUI lainnya. 

 

"Maka komisi fatwa ini mengeluarkan fatwa. Karena melihat bahan baku dan proses yang kita buka secara terbuka di dalam forum itu, komisi fatwa memutuskan itu. Ini untu pegangan vaksin yang bukan hanya sakadar halal tetapi suci. Atau bukan hanya sekadar suci tapi juga halal," ujarnya. 

 
Berita Terpopuler