Tekanan Eksternal Meningkat, BI Disarankan Tahan Suku Bunga

BI harus lebih berhati-hati terhadap peningkatan risiko eksternal.

IST
Suku bunga Bank Indonesia
Rep: Lida Puspaningtyas Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonom dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) menyarankan Bank Indonesia untuk mempertahankan suku bunga kebijakan yang akan diumumkan hari ini. Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan LPEM FEB UI, Teuku Riefky menyampaikan dalam kondisi yang tidak menentu ini, LPEM FEB UI melihat bahwa BI harus lebih berhati-hati terhadap peningkatan risiko eksternal.

Baca Juga

"BI perlu mempertahankan suku bunga kebijakan di 3,50 persen bulan ini," katanya dalam laporan Seri Analisis Makroekonomi untuk Rapat Dewan Gubernur BI Maret 2021 yang ditulis bersama ekonom FEB lain, Rabu (17/3).

Meningkatnya ekspektasi inflasi di AS telah memicu arus modal keluar dari negara berkembang, termasuk Indonesia. Meskipun inflasi masih rendah, tren penurunan kasus harian Covid-19, peningkatan IKK dan neraca perdagangan mengindikasikan awal pemulihan.

Meskipun inflasi rendah masih terus berlanjut yang menandakan permintaan agregat masih lemah, BI dinilai harus memprioritaskan stabilitas Rupiah di bulan ini. Kebijakan moneter ekspansif apapun disebut akan terlalu merugikan BI saat ini karena kinerja kondisi ekonomi juga masih jauh dari pulih.

"Oleh karena itu, kami melihat bahwa BI perlu menahan suku bunga kebijakan pada 3,50 persen bulan ini sebagai langkah pencegahan untuk menstabilkan Rupiah," katanya.

 

Setelah melalui periode apresiasi sejak November tahun lalu, Rupiah mulai terdepresiasi kembali menjadi Rp 14.400 pada minggu keempat Februari dari sekitar Rp 14 ribu pada minggu sebelumnya. Kondisi pelemahan Rupiah terutama didorong oleh kondisi pasar AS yang tidak terduga.

Pasar cukup terkejut pada akhir Februari karena tingkat inflasi yang lebih baik dari perkiraan di AS mencerminkan prospek pemulihan yang optimis setelah pandemi Covid-19. Inflasi yang lebih tinggi ditambah dengan paket stimulus Biden, sebesar 1,9 triliun dolar AS, telah menciptakan gejolak besar di pasar obligasi AS.

Terlepas dari tanda-tanda pemulihan ekonomi yang membaik dan lebih cepat di AS, kekhawatiran pasar akan lonjakan inflasi lebih lanjut karena kondisi ekonomi yang lebih baik telah memicu aksi jual besar-besaran di pasar obligasi AS sejak Februari.

"Kondisi tersebut mendorong investor memindahkan asetnya dari obligasi ke aset lain yang tidak terlalu rentan terhadap inflasi dan biaya pinjaman utang," katanya.

Akibatnya, rata-rata imbal hasil obligasi pemerintah AS bertenor 10 tahun naik ke level sebelum pandemi di 1,6 persen pada pertengahan Maret. Kenaikan imbal hasil obligasi AS mendorong dolar AS ke level yang lebih tinggi dan menahan minat investor pada pasar negara berkembang karena semakin menipisnya perbedaan imbal hasil.

Alhasil, obligasi berdenominasi mata uang lokal di pasar negara berkembang mengalami volatilitas tertinggi di minggu ini di tahun 2021. Terlepas dari sentimen positif ekonomi Indonesia, yang ditunjukkan oleh peningkatan IKK dan perbaikkan kasus harian Covid-19, dampak negatif justru didorong oleh arus modal keluar yang masif.

 

 
Berita Terpopuler