127 Muslim India Dituduh Teroris Dibebaskan Setelah 19 Tahun

Mereka ditangkap paksa karena diduga terkait dengan kelompok teroris Pakistan.

Republika/Kurnia Fakhrini
127 Muslim India Dituduh Teroris Dibebaskan Setelah 19 Tahun
Rep: Mabruroh Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI -- Desember 2001 mengubah hidup Mohammad Abdul Hai dan 126 Muslim lainnya. Sebanyak 127 Muslim di India ditangkap paksa karena diduga terkait dengan kelompok teroris bersenjata Pakistan.

Baca Juga

Kini, dilansir dari Aljazirah pada Rabu (10/3), Pengadilan Surat, India akhirnya membebaskan mereka setelah 19 tahun mendekam dalam penjara. Sebanyak lima orang meninggal dunia selama menjalani persidangan yang melelahkan itu.

Hari-hari berat dan panjang itu bermula pada 26 Desember 2001 ketika Hai mulai menaiki kereta dari Jodhpur di negara bagian Rajasthan barat laut India ke kota Surat, di negara tetangga Gujarat. Hai yang merupakan seorang profesor di Universitas Jai Narain Vyas Jodhpur, berniat menghadiri seminar tentang pendidikan Muslim.

Seminar tersebut diselenggarakan oleh Dewan Pendidikan Minoritas Seluruh India selama tiga hari. Acara tiga hari tersebut diharapkan dihadiri oleh hampir 400 cendekiawan Muslim, aktivis, dan tokoh masyarakat dari seluruh India.

Hai sangat antusias dengan seminar tersebut. Ia tidak tahu peristiwa itu akan mengubah hidupnya selamanya dan membuatnya mendapatkan gelar tambahan sebagai teroris dan anti-nasional. Keesokan harinya sekitar pukul 23.00, polisi tiba di Rajeshree Hall, sebuah bioskop tertutup di Surat di mana Hai dan 120 orang lainnya menghadiri seminar itu.

Polisi menangkap mereka semua dengan berbagai tuduhan, seperti Tindakan Melanggar Hukum (Pencegahan) Act (UAPA), undang-undang anti-teror yang ketat, dan mendakwa mereka sebagai anggota dari Gerakan Mahasiswa Islam India (SIMI) yang dilarang dan karena mengatur pertemuan untuk mempromosikan dan memperluas kegiatan SIMI.

Sebanyak 127 orang dan semuanya Muslim ditangkap. Selama 19 tahun lebih mereka digugat dan pengadilan di Surat pada Ahad (7/3) kemarin akhirnya membebaskan semua terdakwa dalam kasus tersebut. Jaksa Penuntut dianggap gagal membuktikan mereka bagian dari kelompok terlarang, SIMI.

Pengadilan Surat, dalam perintah 6 Maret, mengatakan jaksa penuntut telah gagal menghasilkan bukti yang meyakinkan, dapat diandalkan, dan memuaskan menetapkan terdakwa adalah anggota SIMI atau telah berkumpul mempromosikan kegiatan kelompok tersebut. Pengadilan memutuskan mereka tidak dapat dinyatakan bersalah berdasarkan UAPA.

 

 

 

"Kasus ini menimbulkan banyak masalah bagi kami dan keluarga kami. Beberapa korban kehilangan pekerjaan pemerintah, beberapa tidak bisa mendapatkan pekerjaan selama bertahun-tahun," kata Hai kepada Aljazirah.

 

Setelah menghabiskan 14 bulan di penjara, Hai diberikan jaminan oleh Mahkamah Agung India pada 2002. Tapi itu bukanlah akhir dari cobaan beratnya.

Setiap minggu selama bertahun-tahun Hai (66 tahun) harus melakukan perjalanan lebih dari 700 Km dari rumahnya di Jodhpur untuk melaporkan dirinya di hadapan polisi di Surat. Dua kali sebulan, dia melakukan perjalanan yang sama untuk menghadap hakim yudisial di kota Gujarat.

Sementara itu, tiga bulan setelah mendapat jaminan, ia diterima kembali di universitasnya tetapi tidak mendapat promosi karena kasus tersebut.

“Saya bekerja sebagai profesor madya pada 27 Desember 2001, dan saya pensiun pada posisi yang sama pada Juni 2015. Saya tidak bisa mendapatkan satu promosi pun selama ini dan kehilangan begitu banyak tunjangan moneter yang didapat pegawai pemerintah, termasuk gratifikasi di saat pensiun," ujarnya.

Asif Iqbal (53) bekerja sebagai petugas kesehatan primer di Perusahaan Kota Surat ketika dia ditangkap dalam kasus yang sama. Tidak hanya menghabiskan empat bulan di penjara, ia juga diskors dari pekerjaannya dan akhirnya diberhentikan pada 2018.

"Saya terus memberi tahu pejabat kasus ini masih menunggu di pengadilan dan saya belum dinyatakan bersalah, jadi biarkan saya tetap bekerja tetapi mereka tidak mendengarkan dan memecat saya," katanya kepada Aljazirah.

Kasus tersebut ucapnya, membawa kehancuran dalam hidupnya. Selama satu setengah dekade, ia tidak dibayar penuh dan ia merasa bersalah kepada ayahnya yang berusia 75 tahun, namun masih mengendarai becak untuk membantu keluarganya mencapai tujuan.

Sekarang pengadilan telah membebaskannya dari semua tuduhan, Iqbal menuntut agar dia dipekerjakan kembali dan diberi kompensasi atas kerugiannya. Asif Sheikh (51) ditangkap saat mengikuti kuliah komunikasi massa dan jurnalisme di Universitas Gujarat.

Meskipun menjadi mahasiswa terbaik di universitas, Sheikh mengatakan dia tidak dapat mengejar karier di bidang jurnalisme, profesi yang dia sukai itu. “Saya dicap sebagai anggota SIMI. Karena label ini, tidak ada perusahaan yang akan memberi saya pekerjaan," ujar Asif.

 

 

"Rumah kami digerebek seolah-olah kami adalah teroris yang ditakuti. Saya ingin menjadi jurnalis, tapi sekarang saya menjual rempah-rempah," tambahnya.

 

Dalam beberapa dekade terakhir, ratusan Muslim India telah didakwa dalam kasus palsu terkait teror. Kebanyakan dari mereka akhirnya dibebaskan namun mereka tetap menjalani hidup bertahun-tahun di penjara atau menghadapi persidangan hingga beberapa dekade.

Sebuah studi pada 2018 oleh lembaga nonprofit Common Cause and Lokniti, sebuah inisiatif penelitian oleh Center for the Study of Developing Societies (CSDS) yang berbasis di New Delhi, menemukan bahwa perasaan didiskriminasi oleh polisi di India adalah yang terkuat di antara Muslim. Studi tersebut mengatakan lebih dari 47 persen Muslim India takut dituduh melakukan kegiatan teroris.

Laporan lain oleh Lokniti pada 2019, berjudul Status Kepolisian di India: Kecukupan Polisi dan Kondisi Kerja, menemukan polisi di India menunjukkan bias yang signifikan terhadap Muslim, dengan setengah dari personel polisi mengatakan Muslim secara alami cenderung melakukan kejahatan.

Pada 2016, Innocence Network, sebuah kelompok hak asasi yang berkampanye untuk mereka yang dituntut secara tidak sah, merilis laporannya, menyerukan pemerintah untuk membayar kompensasi kepada mereka. Kelompok itu juga menuntut agar pejabat India di balik penangkapan dan penuntutan yang salah harus dimintai pertanggungjawaban.

 

Faktanya tidak ada kompensasi bagi mereka yang ditahan selama ini. Termasuk fakta bahwa tidak ada penuntutan terhadap polisi yang menanam, memalsukan, atau membuat bukti untuk menahan orang-orang ini di bawah persidangan begitu lama. "Dengan sendirinya menunjukkan bahwa sistem peradilan tidak berfungsi," kata Direktur Eksekutif Pusat Dokumentasi Hak Asasi Manusia Asia Selatan Ravi Nair.

 
Berita Terpopuler