Isra Miraj Hingga Sidratul Muntaha, Seperti Apa Gambarannya?

Rasulullah SAW menjalani isra miraj hingga Sidratul Muntaha

Republika.co.id
Rasulullah SAW menjalani isra miraj hingga Sidratul Muntaha. Ilustrasi Isra Miraj Rasulullah
Rep: Andrian Saputra Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Isra Miraj secara singkat dapat diartikan perjalanan Rasulullah Muhammad SAW, atas kehendak dan kekuasaan Allah SWT, pada suatu malam dengan waktu yang singkat dengan mengendara buraq dari Masjidil Haram ke Masjid Al-Aqsa (Isra) dan dari Masjid Al-Aqsa naik ke Sidratul Muntaha (Miraj) untuk kemudian menerima perintah sholat. 

Baca Juga

Apa sebenarnya Sidratul Muntaha itu? Apa saja yang dialami Rasulullah ketika dibawa ke Sidratul Muntaha? Dan apakah Rasulullah melihat dzat Allah ketika menerima perintah sholat?  

Berikut penjelasan pakar tafsir Alquran yang juga Dosen Quranic Studies Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Bayt Quran Jakarta, Ustadz Dr Syahrullah Iskandar, MA melalui pesan singkat yang diterima Republika,co.id pada Selasa (9/3). 

Menurut Syahrullah, kata Sidratul Muntaha tersebut sekali dalam Alquran, yaitu dalam surat An Najm ayat 14. Kata Sidratul Muntaha adalah kata majemuk yang terdiri dari sidrah  yang berarti sejenis pohon rindang dan muntaha yang bermakna tempat terakhir. Secara kebahasaan, gabungan keduanya bermakna tumbuhan atau pohon sidrah yang tak terlampaui. 

Dia mengatakan sidrah memang sejenis pohon yang kita di Indonesia mungkin menyebutnya dengan pohon bidara. Tentu saja, hakikatnya berbeda dengan yang kita ketahui ataupun bayangkan. Keterbatasan pengetahuan manusia tidak akan mampu menjangkau hakikatnya. 

Dalam sejumlah riwayat, kata Syahrullah, digambarkan daunnya lebar dan rindang, dan keindahannya sulit untuk dibahasakan. Sejumlah riwayat sahih lainnya menyatakan bahwa Sidratul Muntaha berada di langit ke enam, ada juga yang menyebutnya di langit ketujuh. Alquran tidak menjelaskan secara tegas tentang Sidratul Muntaha ini, kecuali dari sejumlah riwayat sahih tentangnya. 

“Kita harus meyakini bahwa Sidratul Muntaha itu ada, namun mengetahui deksripsi detailnya bukanlah sebuah keharusan,” kata dia.

Dia mengutip penjelasan Imam al-Nawawi yang menjelaskan alasan penamaan Sidratul Muntaha karena pengetahuan malaikat berakhir sampai di tempat itu, dan tidak ada lagi yang melampauinya kecuali Nabi Muhammad SAW.

 

Menurut Syahrullah, Rasulullah berada di tempat tertinggi ini ketika dimirajkan Allah SWT dan dijelaskan Alquran bagaimana keluhuran akhlaknya yang tidak memandang ke sana-kemari ataupun mengalihkan pandangan ke arah yang lain karena menyaksikan keindahan di dalamnya.  

Di Sidratul Muntaha itu terdapat Jannah Ma’wa, sebuah tingkatan surga yang indah nan lengkap tiada tara yang disediakan bagi hamba Allah SWT yang bertakwa. 

Syahrullah mengatakan sholat adalah satu-satunya kewajiban kepada Rasulullah SAW secara secara lisan (musyafahah) langsung di tempat itu. Di Sidratul Muntaha ini juga, Nabi Muhammad SAW juga melihat Jibril dengan rupa aslinya. 

Namun, menurut dia, sebuah persoalan kontroversial juga muncul, yaitu apakah dalam urusan diterimanya perintah sholat itu Rasulullah SAW melihat Allah SWT? 

Kalangan sahabat juga berbeda pendapat meresponsnya. Ibn Abbas mengiyakan, sedangkan Aisyah menolaknya. Syekh Mutawalli al-Sya’rawi menjelaskan bahwa Rasulullah SAW hanya melihat cahaya secara langsung, karena melihat Allah SWT secara hakiki itu hanya terjadi di akhirat kelak. “Adapun Rasulullah SAW melihat Allah SWT dengan mata hatinya semasa di dunia, itu dapat terjadi,” tutur dia.  

Dia menjabarkan, bahwa Imam Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW berjumpa dengan nabi dan rasul lainnya Ketika dimirajkan, seperti Nabi Adam di langit pertama, Yahya dan Isa di langit kedua, Nabi Yusuf di langit ketiga, Nabi Idris di langit keempat, Nabi Harun di langit kelima, Nabi Musa di langit keenam, dan Nabi Ibrahim di langit ketujuh. 

“Harus kita ingat bahwa para nabi dan rasul, meski lahir dari ibu yang berbeda, mereka bersaudara sama penyeru ketauhidan kepada Allah SWT dan meneladankan kebaikan,” ujar dia. 

 

Syahrullah mengatakan pengalaman mengemban dakwah oleh para nabi dan rasul sebelumnya adalah pelajaran bagi Nabi Muhammad SAW. Itulah salah satu hikmah kisah nabi-nabi di dalam Alquran, agar menjadi motivasi bagi diri Rasulullah SAW dalam menghadapi tantangan menebar dakwah Islam.  

 
Berita Terpopuler