Koin Emas Merajai Nusantara

Selain koin emas, koin perak juga menjadi alat tukar di era kerajaan.

tangkapan layar
Koin Emas Kerajaan Samudra Pasai.
Rep: Meiliza Laveda Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebelum mengenal uang kertas, masyarakat tentunya melewati segelintir proses transaksi. Mulai dari barter sampai penggunaan uang logam. Sejarawan Universitas Indonesia sekaligus penulis buku “Uang Indonesia Sejarah dan Perkembangnya”, Erwien Kusuma mengatakan sebelum mengenal emas, orang-orang pada saat itu mengenal sistem barter.

“Mula-mula barter. Kalau barter itu komoditas. Tentunya dilihat juga dari yang bernilai karena tidak mungkin saling menukar barang kalau tidak ada nilainya,” kata Erwien kepada Republika.co.id, beberapa waktu lalu.

Seiring berjalannya waktu, dari peredaran transaksi itu ditemukan barang yang menjadi primadona untuk dibarter. Misal, akar bahar yang menjadi volume standar. Kemudian, orang menemukan dari nilai barang tadi, ada suatu logam mulia yang dikenal emas.

Awal abad masehi orang mulai menemukan emas dan awal masa kerajaan di Nusantara sudah menggunakan emas seraya barter masih dilakukan. Sebagai efisien, emas akhirnya diubah menjadi koin.

“Awalnya itu emas yang lempeng dan logam sesuai dengan yang ditemukan. Agar praktis, akhirnya dijadikan koin,” ujar dia.

Mulai dari situ, orang-orang bertransaksi dengan uang emas. Sayangnya, semakin lama orang-orang susah mencari emas. Hal ini sesuai dengan teori umum, jika sebuah benda banyak diminta, maka produksinya akan semakin jarang dan nilainya semakin tinggi.

Di sisi lain, ditemukan fungsi lain dari emas selain untuk transaksi, yakni untuk perhiasan. Ditemukannya fungsi lain emas ini membuat pergeseran emas sebagai alat transaksi.

Orang-orang mulai menemukan uang logam lain, seperti perak. Pada prasasti terakhir Majapahit dituliskan sudah tidak berlaku lagi emas sebagai pembayaran denda atau hukuman. Namun, mereka sudah menggunakan uang kepeng yang bukan berbahan emas.

Erwien menjelaskan selama masa Jawa Kuno, emas masih berfungsi untuk pembayaran denda. Di Jawa, masa berlakunya emas sebagai alat transaksi lebih singkat daripada di Sumatra.

Abad 13 sampai 15, emas sudah tidak lagi digunakan di Jawa. Sedangkan di Sumatra, abad 15 sampai 17 emas masih beredar.

“Kerajaan-kerajaan Islam di Sumatra masih menggunakan emas lebih lama dibandingkan di Jawa. Hal ini dikarenakan kemungkinan jumlah volume manusia sedikit daripada di Jawa. Mungkin juga perputaran perdagangannya berkaitan dengan negara yang menggunakan emas, misal Turki Utsmani dan negara Islam lain di Afrika,” kata dia menjelaskan.

Berbeda dengan di Jawa, saat penetrasi uang Cina, kepeng semakin besar dan relasi dagangannya intens. Ada pula mata uang real Spanyol yang tak kalah intens di area Jawa. Ini pada akhirnya menggeser mata uang emas yang sudah mulai berkurang.

Dikutip Indonesia.go.id, Nusa Jawa: Jaringan Asia oleh Denys Lombard (1996) menyebut memasuki periode Majapahit di akhir abad ke-13, mata uang berbahan emas sudah tidak ditemukan. Sumber BI Institute mencatat, era itu muncul uang “gobog” yang berbahan tembaga dan berbentuk bulat dengan lubang di tengah. Gobog memiliki lingkar diameter 46 milimeter, berat 24,5 gram, dan tebal 2 milimeter.

Lombard mencatat sejak abad ke-12, mata uang logam Cina “kepeng” memiliki peran penting di Jawa. Sumber lain dari Analisis Hasil Penelitian Arkeologi II – Kehidupan Ekonomi Masa Lampau Berdasarkan Data Arkeologi (1991) mencatat sampai pertengahan abad ke-13 Masehi, kepeng belum menjadi mata uang dominan di Jawa. Sebab, tidak ada sumber tertulis tentang hal itu.

Satu abad kemudian, saat era Raja Hayam Wuruk yang memerintahkan Kerajaan Majapahit berlaku mata uang kepeng di Jawa. Istilah lokalnya disebut pisis.

Selain sumber berita dari catatan perjalanan orang-orang Cina, penggunaan uang kepeng dalam sistem moneter masyarakat di Tanah Jawa juga tercatat di banyak parasasti. Bahkan tercantum dalam kitab undang-undang Majapahit, Kutaramawana.

 
Berita Terpopuler