CIPS: Kebijakan HET tidak Efektif Stabilkan Harga Beras

Harga beras di pasar ritel Indonesia secara konsisten selalu di atas HET.

Republika/Yasin Habibi
Pedagang beras dengan bermacam harga.
Rep: Dedy Darmawan Nasution Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga riset Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) menilai, kebijakan Harga Eceran Tertinggi (HET) tidak efektif dalam menekan harga beras di tingkat konsumen. Kebijakan HET yang diterapkan sejak September 2017 tidak membuahkan hasil karena terbukti harga beras selalu lebih tinggi dari HET.

Baca Juga

Harga beras di pasar ritel Indonesia secara konsisten selalu di atas HET. Sementara HET beras medium ditetapkan sekitar Rp 9.450-Rp 10.250 per kilogram dalam Permendag Nomor 57 Tahun 2017, harga beras domestik rata-rata antara Januari 2018 sampai Maret 2020 sudah mencapai Rp14.076 per kilogram.

Head of Research Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta mengatakan, kesenjangan antara HET dan harga pasar akan merugikan para pelaku usaha. "Kalau pelaku usaha dipaksa untuk mengikuti harga HET dengan menekan margin, maka dikhawatirkan tidak ada pelaku pasar yang akan menjual beras domestik," katanya dalam webinar, Kamis (25/2).

Menurutnya, hal itu akan berdampak pada berhenti berproduksinya petani gabah. Dampak selanjutnya adalah bukan tidak mungkin penggilingan menengah juga akan berhenti berproduksi.

“Langkah yang perlu dipastikan saat ini bukan fokus pada penyerapan dan penetapan HET lagi, tetapi bagaimana membantu petani meningkatkan produktivitas di tengah berbagai tantangan yang ada pada sektor pertanian, seperti perubahan iklim dan pandemi Covid-19," katanya menambahkan.

Felippa mengatakan, kebijakan HET juga dikhawatirkan akan dapat memicu adanya pasar gelap dan meningkatkan risiko kelangkaan beras.

Idealnya, lanjut Felippa, pemerintah harus bisa menyederhanakan rantai distribusi yang panjang sebelum menerapkan HET. Rantai distribusi beras yang panjang memunculkan berbagai biaya tambahan yang harus diredam di titik akhir sebelum akhirnya beras sampai ke tangan konsumen.

 

Selain harga jual yang rentan tidak stabil, konsumen juga dihadapkan pada risiko mengonsumsi beras yang tidak berkualitas karena memungkinkan adanya upaya percampuran yang dilakukan pihak-pihak tertentu untuk menekan kerugian.

"Untuk di sisi hilir, pemerintah sudah seharusnya membuka mekanisme impor beras untuk memenuhi kebutuhan beras tanah air dan juga untuk menahan tingginya harga di pasar yang diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan pesatnya laju pertumbuhan penduduk. Saat ini pemerintah tidak bisa memenuhi jumlah seluruh permintaan beras dengan harga yang terjangkau," katanya.

Permasalahan beras Indonesia secara umum, lanjutnya, adalah tidak sebandingnya jumlah permintaan (demand) dengan penawaran (supply).

Cepatnya laju penambahan penduduk tidak diimbangi dengan memadainya jumlah ketersediaan beras. Data BPS pada 2018 menyebut, dari 270 juta orang di tahun 2020, populasi Indonesia diproyeksi akan meningkat hampir 12 juta orang dalam lima tahun ke depan dan mencapai 319 juta orang pada tahun 2045.

Besar populasi di masa yang akan datang tersebut akan memiliki daya beli yang lebih tinggi. Sebanyak 30 persen populasi Indonesia tahun 2020 atau sebanyak 85 juta orang adalah bagian dari kelompok masyarakat kelas menengah.

Data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada 2019 memperkirakan angka tersebut akan meningkat sebanyak dua kali lipat pada tahun 2045 menjadi 70 persen dari populasi atau sekitar 223 juta orang. Sementara, BPS mencatat produksi GKG menurun dari 59,2 juta ton di 2018 menjadi 54,6 juta ton di 2019, atau setara 33.9 juta ton beras di 2018 menjadi 31,3 juta ton beras di 2019.

“Peningkatan jumlah populasi dan juga pendapatan berarti juga peningkatan permintaan makanan, terutama beras sebagai bahan makanan pokok. Kesinambungan kebijakan seputar harga beras sangat diperlukan untuk memastikan keterjangkauan dan akses konsumen terhadap beras," katanya.

 

 
Berita Terpopuler