Gara-Gara Ciliwung Kotor, Banjir Jakarta tak Terkontrol

Jakarta sudah kebanjiran dari sejak zaman VOC.

/UNIVERSITEIT LEIDEN
Banjir melanda Batavia
Rep: Meiliza Laveda Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemberitaan soal banjir di Jakarta tak pernah terputus. Hampir setiap hari, bahkan jika hujan tidak turun, di beberapa wilayah Jakarta, khususnya di dekat aliran Sungai Ciliwung seperti di wilayah Kampung Melayu, pasti terendam air karena mendapatkan kiriman dari Bogor atau Depok. Lucunya ada seseorang yang mengklaim bisa mengatasi banjir dalam tempo 24 bulan alias dua tahun. Padahal, sepanjang sejarah, banjir belum bisa diatasi meski Jakarta sudah berganti kepemimpinan dari Gubernur Jenderal VOC hingga Gubernur DKI Jakarta. Jakarta sudah jadi langganan banjir sejak masih bernama Batavia.

Jakarta yang secara letak geografis terdiri dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 7 meter di atas permukaan laut, sudah menjadi hukum alam menjadi tempat air berkumpul. Guna mengantisipasi banjir, banyak kanal yang dibangun Belanda untuk memisahkan aliran sungai dan masyarakat.

Penulis buku Jakarta: History of a Misunderstood City, Herald van Der Linde mengatakan tahun 1689, sudah ada kabar kualitas air di Sungai Ciliwung memburuk. Kala itu, banjir sudah terjadi. Kabar tersebut ditemukan dalam surat Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dalam buku “oud Batavia” oleh de Haan pada tahun 1921.

Herald menjelaskan beberapa banjir besar sempat terjadi antara tahun 1870 sampai 1880. Banjir terjadi sampai di kawasan Harmoni. Orang-orang saat itu sampai menggunakan kapal untuk menyelamatkan diri. “Saya tidak tahu pasti ketinggian banjirnya tapi orang saat itu naik menggunakan kapal, bisa dikatakan banjirnya sudah lumayan tinggi,” kata Herald kepada Republika.co.id, Ahad (21/2).

Tahun 1918 juga sempat terjadi banjir yang besar sampai pemerintah setempat memutuskan untuk membuat pintu air Manggarai dan kanal banjir barat yang didesain oleh van Breen. Penyebab banjir kata Herald bervariasi.

Ketika banjir melanda Batavia sekitar tahun 1700-an atau 1690-an, banjir disebabkan karena pembuangan sampah dari pabrik gula yang terletak di luar Batavia. Antara tahun 1650 sampai 1700-an pabrik gula dan perkebunan mulai banyak bermunculan di luar Batavia.

Nah pabrik gula membuang sisa dari gula yang mereka ambil. Mereka membuang saja ke sungai. Selain itu, juga banyak pohon yang dipotong untuk dibawa ke Batavia dan dimanfaatkan di Batavia,” ujar dia.

Selain pembuangan sampah pabrik gula, kondisi Sungai Ciliwung juga bisa menjadi penyebab banjir. Kala itu, Sungai Ciliwung dipenuhi berbagai macam benda, mulai dari kotoran sampai tumbuh-tumbuhan.

Kondisi tersebut sangat mengganggu dan membuat Tuan Tanah di Depok, Cornelis Chastelein meminta untuk dibersihkan aliran sungai. Sebab, semua kotoran itu menyebabkan banjir di sekitar Depok. Chastelein harus menunggu setidaknya empat hari sampai sungai dibersihkan.

“Pembuangan sampah ke sungai dari dahulu sudah ada. Awalnya tidak menjadi masalah besar tapi semakin lama tidak sadar menjadi masalah besar. Mulai dari air kotor sampai air tidak bisa mengalir dengan lancar,” tambah dia.

Karena kondisi Sungai Ciliwung yang buruk, ada dugaan itu menjadi faktor penyebab wabah yang melanda Batavia tahun 1730-an. Wabah tersebut menelan banyak korban jiwa.

Untuk mengatasinya pun, saat itu masih sulit karena ilmu pengetahuan masih terbatas. Ada beberapa orang yang datang dan shalat untuk memohon kepada Tuhan agar wabah berhenti. Tak tahan dengan kondisi itu, orang-orang kaya di Batavia mulai pindah ke wilayah luar Batavia yang disebut weltevreden.

Untuk menangani masalah banjir, Belanda memberlakukan beberapa upaya. Dimulai dari Gubernur VOC, JP Coen yang membuat kanal dan sodetan Ciliwung tahun 1600-an. Kanal tersebut dibuat untuk mengaliri air Sungai Ciliwung ke Laut Jawa. Di tahun 1664 mereka mengadakan “college van heemraden” atau district council untuk mengatur kanal-kanal dan wilayah di luar Batavia.

Setelah JP Coen, Gubernur Jenderal VOC selanjutnya juga mengatasi masalah tersebut dengan membangun banyak kanal. Hanya beberapa kali upaya tersebut berhasil dan banjir masih kembali melanda Batavia.

“Di tahun 1679 mereka membuat kanal baru untuk membantu air sungai mengalir ke laut. Tapi banjir tetap kembali,” kata dia.

Insiden banjir tentunya membuat VOC mengalami kerugian besar. Misal, beberapa kapal yang sudah direncanakan untuk pergi ke Amsterdam terpaksa tidak bisa berlayar. Sebab, orang yang bekerja atau nelayan tidak bisa berangkat karena banyak yang meninggal.

“Dampaknya ke ekonomi cukup besar. Tahun 1730 sampai 1735 menjadi masalah besar. Makanya di tahun tersebut orang kaya di Batavia mulai pindah ke daerah weltevreden,” kata dia.

 
Berita Terpopuler