Jangan Dulu Bicara Sanksi Saat Dosis Vaksin Belum Mencukupi

Penerapan sanksi bagi para penolak vaksin Covid-19 belakangan menjadi perdebatan.

ANTARA/Feny Selly
Petugas bersiap menyuntikkan vaksin COVID-19 kepada tenaga kesehatan di Puskesmas Merdeka Palembang, Sumatra Selatan, Kamis (18/2/2021). Tercatat hingga kini pelaksanaan vaksinasi Tahap pertama di Sumsel mencapai sekitar 64 persen dari target 49.000 pemberian vaksin
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Flori Sidebang, Sapto Andika Candra, Zainur Mahsir Ramadhan, Fauziah Mursid

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pada hari ini enggan berkomentar terkait pemberian sanksi bagi masyarakat yang menolak disuntik vaksin Covid-19. Karena, menurut Anies, saat ini jumlah dosis vaksin yang diterima masih sangat terbatas.

Baca Juga

"Saat ini jumlah vaksinnya saja masih terbatas, jangankan yang mau dan tidak mau wong vaksinnya saja terbatas," kata Anies di Polda Metro Jaya, Kamis (18/2).

Menurut Anies, perbincangan mengenai sanksi bagi masyarakat yang menolak disuntik vaksin baru dapat dilakukan jika jumlah dosis yang diterima sudah melebihi total penduduk yang ada. "Kita ngomong begitu (sanksi) kalau vaksinnya sudah lebih banyak dari jumlah penduduknya. Sekarang vaksinnya masih sedikit kok yang mau aja yang divaksin gampang kan ngobrolnya nanti kalau sudah vaksinnya lebih banyak dari pada jumlah penduduk," jelas dia.

Diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 14 Tahun 2021 terkait Perubahan atas Perpres Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19. Perpres Nomor 14 Tahun 2021 juga mengatur sanksi administratif maupun pidana bagi orang yang menolak atau menghalangi pelaksanaan vaksinasi Covid-19.

Poin mengenai pengenaan sanksi administratif bagi penolak vaksin Covid-19 disebutkan dalam Pasal 13A Perpres nomor 14 tahun 2021. Dalam ayat 4 disebutkan, sanksi bisa diberikan berupa penundaan atau penghentian pemberian jaminan sosial atau bantuan sosial, serta penundaan atau penghentian layanan administrasi pemerintaha. Opsi saksi ketiga, diberikan dalam bentuk denda.

Lantas pada ayat 5 juga dijelaskan, bahwa pengenaan sanksi administratif dilakukan oleh kementerian, lembaga, pemerintah daerah, atau badan sesuai dengan kewenangannya. Kendati begitu, baik Kemkes dan Satgas Penanganan Covid-19 menggarisbawahi bahwa penerapan sanksi lebih lanjut akan diatur lewat perda.

Tak hanya itu, dijelaskan pula melalui Pasal 13B bahwa setiap warga yang memenuhi kriteria namun tidak mengikuti vaksinasi Covid-19 dan menyebabkan terhalangnya pelaksanaan penanggulangan Covid-19, bisa dikenakan sanksi sesuai ketentuan undang-undang (UU) tentang wabah penyakit menular.

Namun, pada hari ini, Pemerintah menekankan bahwa aturan pengenaan denda dan sanksi administratif bagi masyarakat penolak vaksinasi Covid-19 hanya diterapkan dalam kondisi mendesak. Kondisi mendesak ini terutama berupa penolakan vaksinasi yang cukup masif sehingga mengganggu program vaksinasi nasional.

Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menerangkan, kriteria 'mendesak' tersebut belum berlaku saat ini sehingga penerapan denda dan sanksi belum diberlakukan. Ia menambahkan, sanksi dan denda adalah opsi terakhir apabila langkah persuasif pemerintah tidak efektif dan ada hambatan serius terhadap program vaksinasi nasional.

"(Hambatan) yang mengancam pembentukan kekebalan komunitas. Ingat bahwa setiap detik yang ada sangat strategis dalam pengendalian Covid-19 dan mampu menyelamatkan jiwa," ujar Wiku dalam keterangan pers, Kamis (18/2).

Berkaca pada kondisi saat ini, Wiku melanjutnya, masyarakat dinilai masih cukup patuh dalam menjalankan vaksinasi Covid-19. Sampai hari ini, program vaksinasi memang baru menyentuh SDM kesehatan, lansia, dan pekerja publik. Dari kelompok tersebut, ujar Wiku, belum ada penolakan serius dari masyarakat.

"Maka dari itu kami melihat bawa masyarakat sementara ini masih patuh dan mendukung program vaksinasi, sehingga denda atau sanksi administratif pada saat ini belum perlu dilakukan," kata Wiku.

Epidemiolog UGM, Bayu Satria Wiratama, mengaku tidak sepakat soal sanksi bagi para penolak vaksin. Sebab, ia menilai, komunikasi dan edukasi terkait perlunya vaksin untuk penanggulangan covid-19 di Indonesia belum maksimal dilakukan oleh pemerintah.

"Saya termasuk yang kurang setuju ada denda untuk vaksin karena usaha komunikasi dan edukasi pemerintah belum terlihat maksimal. Yang paling utama tetap ketersediaan vaksin dulu," kata Bayu Satria, Kamis (18/2).

Bayu sepakat dengan usulan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Bagi mereka yang menolak divaksin saat ini sebaiknya dimundurkan saja jadwal mereka untuk menerima vaksin sambil edukasi dan vaksinasi orang lain yang dianggap lebih membutuhkan.

Menurut Bayu, mereka yang menolak disuntik vaksin saat ini bisa dimundurkan ke periode paling akhir. Tujuannya mungkin bisa berubah ketika semakin lama melihat mereka yang divaksin lebih banyak sekali efek positifnya daripada yang negatif.

Terkait target pemerintah menuntaskan vaksinasi akhir tahun ini, ia melihat dari ketersediaan vaksin saat ini target pemerintah itu akan sulit dicapai. Apalagi, belum diikuti usaha-usaha untuk memenuhi kebutuhan vaksin dalam jumlah banyak.

"Kalau tidak ada usaha sangat besar untuk memenuhi kebutuhan saya kira akan sulit karena untuk tahap dua saja kita masih kurang tersedia vaksinnya," ujar Bayu.

Epidemiolog dari Universitas Indonesia (UI), Pandu Riono mengakui, memang tidak 100 persen tenaga kesehatan bisa divaksinasi. Menurutnya, hal itu yang membuat vaksinasi tidak sesuai jadwal.

"Bisa (karena tenaga kesehatan) tidak layak atau masih ragu,’’ ujar dia kepada Republika, Kamis (18/2).

Pandu menambahkan, sisa dari tenaga kesehatan yang tidak bisa divaksin itu sebaiknya tidak perlu ditunggu untuk mendapatkan vaksin. Sebaliknya, Pandu meminta agar meninggalkan para nakes itu untuk divaksin.

"Tidak perlu ditunggu (jika tidak layak), tinggalkan saja,’’ tambah dia.

Menurut Pandu, tenaga kesehatan atau siapapun itu jika tidak layak mendapat vaksin, memang tidak bisa divaksinasi. Upaya itu dinilainya bisa dilakukan, mengingat proses vaksinasi tidak harus 100 persen, termasuk bagi tenaga kesehatan itu sendiri.

"Tidak harus 100 persen juga,’’ jelas dia.

In Picture: Pedagang Pasar Tanah Abang Terima Vaksin Covid-19 (1)

Vaksinator menyuntikan vaksin Covid-19 kepada pedagang pasar Tanah Abang di Pasar Tanah Abang Blok A, Jakarta, Rabu (17/1). Pemerintah pusat melalui Kementerian Kesehatan menggelar vaksinasi tahap kedua untuk pedagang pasar Tanah Abang dengan target 1.500 orang pedagang pada hari ini. Republika/Thoudy Badai - (Republika/Thoudy Badai)

 

 

 

Berdasarkan data dari Satuan Tugas penanganan Covid-19 di Jakarta, vaksinasi terhadap tenaga kesehatan, per Rabu kemarin, bertambah sekitar 28.976. Dari penambahan tersebut, ada sekitar 1.149.939 tenaga kesehatan yang telah mendapat suntikan vaksin Covid-19 hingga kemarin.

Diketahui, Pemerintah berencana menargetkan sekitar 1.468.764 tenaga kesehatan di Indonesia untuk divaksin. Dengan demikian, hingga 17 Februari kemarin, vaksinasi untuk tenaga kesehatan telah mencapai 78,29 persen dari sasaran.

Wakil Presiden Ma'ruf Amin hari ini mengingatkan masyarakat untuk siap divaksin. Bahkan, ia menyebut hukum vaksin wajib atau fardu kifayah bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim.

Menurutnya, kewajiban vaksin gugur sampai tercapainya kekebalan komunitas itu tercapai. Karena itu, sebelum tercapainya kekebalan komunitas, masyarakat akan berdosa jika menolak divaksin.

"Kalau pandangan agama (Islam), itu wajib, fardlu kifayah. Kalau belum tercapai apa yang mesti dicapai, itu dosanya belum hilang. Kalau sudah (tercapai) 182 uta orang, itu (dosanya) baru gugur,” katanya.

Secara khusus, Wapres juga mengajak kelompok usia lanjut (lansia) untuk ikut melaksanakan vaksinasi. Wapres menilai, vaksinasi sebagai upaya melindungi lansia sebagau kelompok yang berisiko tinggi terhadap Covid-19.

Pernyataan itu disampaikan Wapres, sehari setelah ia menerima suntikan vaksin Coronavac, pada Rabu (17/2) kemarin.

"Kemarin saya baru divaksin itu, ngantuk (efeknya) itu aja dampaknya, alhamdulillah baik-baik semua. saya bilang kepada manula-manula, mari kita supaya vaksin, karena kita kan ingin mengejar herd immunity, itu kan harus dicapai 70 persen, 182 juta (orang)," ungkap Wapres.

 

Kelompok Prioritas Vaksinasi Covid-19 - (republika/mardiah)

 
Berita Terpopuler