Legislator: Vaksinasi Mandiri Jangan Ada Motif Terselubung

Seharusnya Pemerintah cukup fokus pada target dan strategi vaksinasi dalam satu tahun

EPA-EFE/HOTLI SIMANJUNTAK
Seorang petugas kesehatan menyiapkan dosis vaksin selama kampanye vaksinasi COVID-19, (ilustrasi).
Rep: Febrianto Adi Saputro Red: Gita Amanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi IX DPR Netty Prasetiyani menyoroti soal vaksinasi mandiri yang tengah dipersiapkan pemerintah. Netty mempertanyakan motif pelaksanaan vaksinasi mandiri tersebut.

"Jika sekarang muncul lagi isu melibatkan sektor swasta untuk mengadakan dan melaksanakan vaksinasi secara mandiri atau gotong royong, saya perlu mempertanyakan apa motif dibalik usulan tersebut? Benarkah untuk meringankan biaya dan mempercepat kekebalan kolektif, atau ada motivasi lain? Demi asas keadilan, jangan sampai ada motif terselubung," kata Netty dalam keterangan tertulisnya kepada Republika, Ahad (14/2).

Ketua Tim Covid-19 Fraksi PKS DPR RI tersebut mengatakan sebelumnya Pemerintah telah menugaskan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk menyelesaikan program vaksinasi dalam masa satu tahun dengan target, sasaran dan strategi vaksinasi yang terukur. Seharusnya Pemerintah cukup fokus pada target dan strategi tersebut.
 
"Fokus saja pada target, sasaran dan strategi yang dibuat agar kinerja Kemenkes dalam program vaksinasi ini terukur dengan jelas. Wacana vaksin mandiri, selain membuat pemerintah tampak plin plan dalam membuat kebijakan, juga berpotensi mencederai rasa keadilan masyarakat sebagai penerima vaksin. Jangan sampai ada kesan pemerintah meninggalkan masyarakat miskin yang tidak mampu membayar vaksin," ujarnya.  

Netty menambahkan, apalagi hingga saat ini belum ada payung hukum yang mengatur tentang vaksin mandiri, kecuali terkait proses pengadaan yang dapat dilakukan oleh badan usaha dengan menggunakan Perpres nomor 99 tahun 2020. Ia menilai Perpres tersebut memberi ruang pengadaan vaksin, termasuk jenis dan jumlahnya, melalui penunjukan langsung badan usaha penyedia, bahkan melalui kerjasama dengan lembaga/badan internasional dengan persetujuan Menteri Kesehatan.

"Jangan sampai pemerintah memainkan celah hukum tersebut untuk memberikan prioritas pada kelompok pengusaha yang memiliki dukungan finansial dan mengabaikan masyarakat lainnya. Apalagi jika di dalamnya ada motif tersembunyi berupa mengambil keuntungan di tengah kesulitan," jelasnya Netty.

Baca Juga

Selain itu dirinya juga mengkritisi pernyataan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia yang menyatakan perusahaan farmasi swasta  dalam negeri berpeluang menjadi importir vaksin untuk program Vaksinasi Gotong Royong dengan mendatangkan dari beberapa produsen di seluruh dunia, kecuali Sinovac. Ia menjelaskan sejauh ini skema pengadaan vaksin di Indonesia selain Emergency Use Authorization (EUA), ada juga  standar kehalalannya.

"Sejauh ini baru Sinovac yang dapat approval BPOM dan MUI. Jangan sampai dengan dalih mempercepat, justru merusak skema dan tata aturan vaksin," ujar Netty.
 
Netty juga mengingatkan pentingnya satu komando dalam program vaksinasi. Ia berpandangan negara harus memastikan program vaksinasi berada dalam kendali satu pintu agar transparan, mudah dievaluasi dan dilakukan pengawasan.

"Jangan sampai keran vaksin mandiri ini  menimbulkan ‘potong kompas’  pengusaha dengan beli langsung dari produsen. Akibatnya, potensi konglomerasi dan komersialisasi sangat terbuka. Jika sudah masuk skema konglomerasi, bagaimana nasib rakyat miskin untuk mendapat vaksin?" ungkapnya.

 
Berita Terpopuler