Bersikap Demi Jilbab: Dari Turki Hingga Indonesia

Berkaca pada pengalaman pemakaian jilbab di Turki hingga Indonesia

Republika.co.id
Sekelompok siswa berjilbab di Jakarta pada tahun 1982 yang di larang masuk sekolah.
Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Uttiek M Panji Astuti, Penulis Buku dan Traveler.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Cholil Nafis meminta kepada pemerintah untuk mencabut Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri tentang Penggunaan Seragam Sekolah yang telah diterbitkan. Karena, menurut dia, jika lembaga pendidikan tak boleh melarang dan mewajibkan soal pakaian atribut keagamaan, maka tidak lagi mencerminkan pendidikan.

"Memang usia sekolah itu perlu dipaksa melakukan yang baik dari perintah agama karena untuk pembiasaan pelajar. Jadi SKB Tiga Menteri itu ditinjau kembali atau dicabut," ujar Kiai Cholil kepada Republika Jumat (5/2).

Polemik hijab untuk seragam sekolah kembali muncul di negeri tercinta. Sesuatu yang sebenarnya telah “selesai” sejak lama.  

Di awal tahun 2000-an jilbab tak lagi dipermasalahkan, seiring munculnya fenomena hijabers dan maraknya kesadaran Muslimah untuk menutup auratnya sesuai perintah syariat.

Setelah lebih dari dua puluh tahun, tetiba isu itu dimunculkan lagi. Memang tak terlalu “bergejolak”, karena secara kebetulan masih banyak pelajar yang bersekolah secara daring.

Fenomena pelarangan hijab untuk seragam sekolah di negeri mayoritas Muslim pernah terjadi di beberapa negara. Yang paling diingat adalah apa yang terjadi di Turki.

Salah satu yang dicatat sejarah adalah yang dialami Khadijah, seorang siswi berusia 16 tahun yang mempertahankan hijabnya ke sekolah hingga syahid. 

Di tahun 2000, Turki masih memberlakukan pelarangan pemakaian hijab ke sekolah. Khadijah menyuarakan keteguhan hatinya dengan berdemo di depan sekolah, karena peraturan tak memperbolehkannya melangkah melewati gerbang.

Di saat berdemo itulah sebuah bus menabraknya, hingga malaikat maut menjemputnya dalam keadaan berjihad mempertahankan kewajiban menutup aurat. Innalillahi wa innailaihi rojiun.

 

 

Tak hanya Khadijah, jilbab di Turki juga pernah “memakan” korban seorang anggota parlemen.

Setahun sebelum peristiwa Khadijah, tercatat nama Merve Kavakci, anggota parlemen yang datang ke gedung parlemen untuk pengambilan sumpah jabatannya dengan mengenakan pakaian yang menutup aurat.

Alih-alih diangkat menjadi anggota parlemen, yang ada ia malah dicabut kewarganegaraannya gegara selembar hijab yang dikenakannya.

Rentetan peristiwa yang terjadi di Turki itu kini menjadi catatan sejarah. Sejak tahun 2010, di bawah kepemimpinan Presiden Erdogan, secara bertahap aturan itu dihapuskan. 

Diawali dengan diperbolehkannya hijab dikenakan di kampus-kampus. Lalu diikuti pegawai negeri di tahun 2013, kepolisian di tahun 2016 dan militer di tahun 2017.

Saat ini beberapa negara dengan mayoritas penduduk Muslim yang masih memberlakukan aturan larangan memakai hijab ke sekolah maupun kantor pemerintah, di antaranya adalah Tajikistan, Kyrgistan dan Tunisia. 

Di Kyrgistan sempat viral video anak-anak yang bergerombol di depan gerbang sekolah. Mereka tidak diperkenankan masuk sebelum melepaskan hijabnya.

Di Tajikistan, pemerintahkan mengeluarkan buku panduan berpakaian. Tak hanya seragam sekolah, namun juga pakaian sehari-hari yang diatur tanpa hijab. 

Di Tunisia, polisi sempat melakukan razia di jalan-jalan untuk mencegat Muslimah yang mengenakan hijab dan meminta mereka melepaskannya.

Namun, semenjak Revolusi Tunisia pada 2010/2011 yang kita kenal sebagai Arab Spring, perempuan Tunisia semakin longgar menggunakan hijab, tak lagi dirazia di jalan.

Apa yang terjadi di Turki harusnya menjadi pelajaran berharga, bagaimana negeri dengan 96% mayoritas pendudukannya beragama Islam, namun membuat UU yang justru mencederai umat Islam. 

Butuh waktu 85 tahun untuk menghapus peraturan itu. Sebuah pesan dititipkan: Jangan sampai hal serupa terjadi di negeri tercinta.

 
Berita Terpopuler